Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cemburu memang tanda cinta. Namun, cemburulah dengan cara yang wajar."

☁☁

Cattleya memotong sayur dengan cara yang terbilang 'kasar'. Potongan kentang, wortel dan buncis tampak amburadul. Seperti ada bom Hiroshima yang menghantam pantry.

Tak! Tak! Tak!

Jika ia tidak hati-hati, kemungkinan besar jarinya juga ikut terbagi-bagi. Mengingat ketajaman pisau dan juga kondisi hati yang tidak berkompromi. Pandangannya sedari tadi tidak lepas dari ruang tamu. Walaupun agak jauh, tetapi matanya dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan oleh seorang wanita dan seorang pria di sana.

Ia mendengus kesal. Kedatangan Ana, sang dosen menyebalkan itu ke kediamannya membuat ia naik darah. Entah karena harus membuat minuman untuk sang dosen atau karena hal lain yang tidak mau ia akui.

Hal lainnya, ia harus memasak untuk malam ini. Hanya untuk memperlihatkan pada Ana, seberapa bergunanya ia sebagai istri. Kenapa harus begitu? Karena Ana adalah rivalnya saat ini. Ia tidak mau menanggung resiko kedatangan pelakor dalam hubungan rumah tangga. Mertuanya boleh berpihak pada Ana, tapi tidak dengan Dava.

Jujur, ia penasaran akan maksud kedatangan Ana. Yah, memang Ana dan Dava sudah saling kenal sejak lama. Ada kemungkinan membahas sesuatu mengenai perkuliahan, mengingat keduanya adalah dosen. Namun, benarkah untuk hal itu?

Praduga lainnya, Ana dan Dava membahas tentang mereka di masa lalu atau istilahnya reunian. Praduga yang paling buruk adalah bahwa Ana sengaja diutus oleh mertuanya untuk merebut hati Dava. Oh, tidak bisa!

Cemburu? Cih, buang jauh-jauh kata itu. Karena sampai kapan pun, seorang Cattleya tidak mungkin merasa cemburu pada orang selevel Ana. Ia hanya merasa kesal dengan Ana yang merupakan dosen terburuk menurutnya.

"Aku lebih baik darinya."

Lagi, ia memandang ke arah ruang tamu. Tampaknya Dava dan Ana menikmati pertemuan mereka. Sesekali terdengar suara tawa Ana. Entah apa yang keduanya bicarakan.

Memasang wajah cemberut, tanpa sengaja Dava malah melirik ke arahnya. Sial, lelaki tersenyum. Entah karena ucapan Ana yang mungkin sedang berguyon, atau karena senyuman ejekan untuknya.

Suara beriak dari ketel pemanas air membuat Cattleya kaget. Tak sengaja, ujung pisau tajam yang dipegang mengiris jari telunjuknya.

Cattleya meringis, sementara jari telunjuknya terus mengeluarkan darah. Segera dipalingkan tubuhnya ke sink pantry. Menghidupkan keran air dan membersihkan darah yang tak kunjung berhenti.

Suara ketel kembali terdengar. Air sudah mendidih sedari tadi. Menyadari hal itu, Cattleya memburu langkahnya untuk mematikan kompor. Dan sialnya, darahnya malah menetes mengotori lantai.

"Ceya!!!"

Cattleya menoleh. Ia mendapati Dava yang berlari dengan raut wajah khawatir ke arahnya.

"Mana bagian yang berdarah?" tanya Dava.

Cattleya menunjuk jarinya. Dengan cekatan, Dava menuntun jari telunjuk Cattleya untuk masuk ke mulutnya. Jelas Cattleya menarik jarinya, tetapi Dava lebih kuat seperti yang ia duga.

Suaminya itu mengisap jarinya yang terluka. Membuang darahnya ke sink pantry, lalu terakhir, lelaki itu mengambil kotak P3K yang berada di kabinet atas pantry. Membukanya dengan tergesa-gesa dan mulai mengobati Cattleya.

Cattleya sesekali meringis. Tanpa sengaja, matanya menangkap Ana yang berekspresi kesal. Wanita itu berdiri tidak jauh dari mereka, sepertinya hendak menyusul Dava.

Entah kenapa, Cattleya merasa senang melihat wajah Ana seperti itu. Ditariknya sedikit sudut bibir, seolah mengejek Ana akan kekalahannya. Ya, kekalahan dalam menarik perhatian Dava.

Selesai menempelkan plester luka di jari Cattleya, Dava langsung menuntun wanita itu untuk duduk di meja makan. Ia bahkan mengabaikan kehadiran Ana di sana.

"Kamu enggak boleh ngapa-ngapain. Biar saya yang bikinin minuman untuk Ana."

"Saya bis--"

"No comment."

Oke. Cattleya menyerah. Ia membiarkan Dava menguasai dapur. Dengan begitu, ia tidak perlu susah payah membuatkan wanita ular itu minuman. Namun, tetap saja ia merasa sedikit jengkel. Karena ia berniat menambahkan garam ke teh buatannya. Lalu membiarkan Ana meminumnya dan ia hanya perlu beralibi jika tak sengaja memasukkan garam yang terlihat mirip dengan gula. Rencana yang bagus, tetapi tidak bisa ia lakukan sekarang.

Ia kira, Ana akan kembali ke ruang tamu. Siapa yang menyangka jika wanita itu malah menawarkan diri untuk membuat minumannya sendiri. Makin panaslah hati Cattleya.

"Aku bisa buat sendiri, kok."

"Tap--"

"Mas Dava, aku mau duduk di ruang tamu aja, boleh?"

Sementara Ana mengerucutkan bibirnya tanda kesal, Dava justru mengernyit. Lelaki itu mengabaikan Ana dan menghampiri Cattleya.

"Kamu bisa jalan, kan?" tanya Dava yang mulai khawatir lagi.

"Kayaknya kakiku sedikit kram karena kelamaan berdiri. Bu Ana bisa buat minuman sendiri, kan?" tanya Cattleya pada Ana yang masih berdiri mematung.

"Bisa, kok."

Cattleya bisa melihat dengan jelas, raut wajah Ana yang sama sekali tidak bersahabat. Ana mungkin kesal karena Cattleya mencuri start darinya.

Sedikit kaget, Cattleya buru-buru melingkarkan tangannya di leher Dava tatkala lelaki itu mengangkat tubuhnya. Ia sengaja melakukan hal ini agar Ana bisa cemburu. Dan benar saja, wanita itu semakin jengkel.

Dava membawanya ke ruang tamu. Menurunkan tubuhnya untuk duduk di sofa. Percayalah, sebenarnya Cattleya merasa gugup. Ini pertama kalinya ia digendong oleh Dava dengan gaya bridal style. Belum lagi dengan jarak yang sangat dekat.

"Cey, lain kali, kalau cemburu, gunakan cara yang lebih tepat," bisik Dava yang secara tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Cattleya.

Wajah Cattleya tampak memerah malu. Ternyata niatnya sudah diketahui Dava lebih dahulu.

"S-sok tau," balas Cattleya tidak ingin terlihat cemburu. Dava terkekeh, ia mengusap kepala Cattleya dengan lembut.

"Saya suka panggilan 'Mas' tadi. Pertahankan."

Cattleya mendengus. Pertahankan? Memangnya kemerdekaan RI yang harus dipertahankan? Ia juga melakukannya dengan terpaksa untuk mengisengi Ana. Tidak ada niat lain.

"Tadi itu cuma---"

"Ya, Sayang? Mau diantar ke kamar?"

Prank!!!

Cattleya kaget dan menolehkan wajahnya pada sumber suara. Ternyata Ana yang menjatuhkan cangkir minumannya. Ia terlihat kalut.

"Ah, maaf. Biar aku bereskan."

Dava segera menghampiri Ana, mencegah tangan wanita itu untuk menyentuh cangkir yang sudah pecah berkeping-keping di lantai.

Ana terlihat senang dengan kepedulian Dava padanya. Sementara Cattleya mendengus kesal. Ia yakin, Ana sengaja berniat menarik perhatian Dava.

"Biar aku saja, Na. Aku enggak mau ngambil resiko untuk bawa kamu ke rumah sakit. Istriku juga sedang sakit, jadi ia lebih membutuhkanku saat ini."

Bolehkan Cattleya baper? Ia mengulas senyum bahagianya. Ah, ternyata Pak Dosen lebih tahu situasi dan kondisi.

Bolehkah kuucapkan I love you, Pak Suami?

❤❤❤



Basmi pelakor!!!

Salam hangat:
@tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro