Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dava menghampiri Cattleya yang sedang sibuk memandang laptop di meja belajarnya. Ia tampak begitu serius, hingga tak menyadari sang suami kini telah berdiri di samping kursi.

“Lagi ngapain, Cey?” tanya Dava yang mengagetkan Cattleya. Untungnya wanita itu cepat menguasai diri. Tanpa menoleh, ia menjawab asal pertanyaan tersebut.

“Tidur.” Kening Dava berkerut. Mendesah pelan, lalu mendekat hingga deru napasnya terdengar di telinga Cattleya. Ternyata istrinya sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Jika dilihat dari raut wanita itu, sepertinya ia sedang kesulitan.

“Berdiri, Cey,” ucap Dava yang menarik atensi Cattleya.

“Apaan, sih, Pak. Mending tidur sana, dari pada gangguin saya.”

“Berdiri dulu sebentar,” ulang Dava lagi. Mengabaikan gerutu kesal dari sang istri, yang akhirnya tetap menurut.

Dava mendudukkan diri di kursi setelah wanita itu berdiri seperti permintaannya. Kali ini Cattleya pula yang menautkan alis. Namun, sebelum kekesalannya terlontar, Dava lebih dulu menarik lengannya. Mendudukkan wanita itu tepat di atas pangkuannya. Alhasil menjadikan Cattleya bak patung bernyawa.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Dava mengerjakan tugas-tugas Cattleya. Sementara wanita itu tak berkutik, saat kedua lengan polos sang suami mengurungnya.

“Kalau udah ngantuk, jangan dipaksa. Yang ada, tugas-tugas kamu nggak bener lagi jadinya,” tuturnya setengah berbisik yang hanya ditanggapi kebisuan dari wanita tersebut. “Padahal tugasnya mudah banget,” tambahnya. Tak berniat menjawab, Cattleya lebih memilih memandangi jemari Dava yang bergerak cepat di atas keyboard laptop.

“Kenapa kamu terima lamaran saya?” tanya Dava tanpa mengalihkan atensi dari layar. Cattleya menoleh sesaat wajah sang suami yang berada di sebelahnya.

“Saya sendiri tidak tahu,” ujar wanita itu. Dava diam, masih belum mengalihkan jemari maupun netranya dari laptop.

“Apa penting alasan saya melamar kamu?” tanya lelaki tersebut setelah beberapa detik membisu.

Cattleya bungkam. Tak kunjung mendapat jawaban dari sang istri, Dava memutuskan untuk berhenti sejenak lalu menoleh. Senyumnya mengembang, ketika mendapati istrinya ternyata tertidur dengan kepala tertunduk. Pelan dan hati-hati, ia meraih kaki Cattleya lalu menggendongnya ala bridal style menuju tempat tidur. Merebahkan tubuh wanita yang sudah pulas itu, mengecup keningnya lembut, kemudian menyelimutinya.

Cattleya memperhatikan kerumunan siswa-siswi berseragam putih abu-abu dari bangku yang terletak di lapangan basket, tak jauh dari papan informasi sekolah milik SMU yang berada satu gedung dengannya.

Raut cerah terpancar jelas di wajah para siswa yang kini menyandang status alumni. Kebahagiaan itu juga tercetak jelas di wajah pemuda yang sedang tersenyum lebar bersama sekelompok teman-temannya.

Saat netra keduanya bertemu, bergegas Cattleya memalingkan muka. Meraih sekeping keripik kentang dari bungkusan yang sudah tinggal setengah, menikmatinya seolah tidak terjadi apa-apa.

“Sedih, ya? Nggak ada kakak kelas ganteng yang ngangenin lagi?”

Cattleya mendecih, mendengar kalimat narsis yang terjun bebas dari seseorang di sebelahnya. Kemudian terdengar suara tawa tertahan dari seseorang yang ternyata duduk di bangku yang sama dengannya. Beberapa detik setelahnya, Cattleya memutuskan untuk menoleh. Namun, orang tersebut sudah tak lagi berada di sana. Berjalan santai, kembali menemui teman-temannya.

Dan, kalimat narsis tadi mengakhiri pertemuan mereka. Ia tidak lagi melihat seseorang itu sejak hari kelulusan.

Cattleya mengerjapkan matanya. Pandangan yang samar-samar, kini tampak jelas. Setelah nyawa yang berhamburan mulai terkumpul kembali, barulah ia menyadari beban berat di pinggangnya. Diiringi hembusan napas di punggung, menyentak penuh kesadaran wanita tersebut. Refleks ia bergerak menghindar. Namun, gagal saat lengan berat di pinggang menahan tubuhnya.

“Selamat pagi,” tutur suara berat di belakang. Dari nada ‘bantal’-nya, jelas pemilik suara itu baru saja bangun tidur. Belum menyerah, Cattleya kembali berusaha melepaskan diri.

“Masih pukul enam, Cey. Nggak perlu buru-buru. Nanti kita berangkat bareng ke kampus. Temani aku di sini sebentar,” lanjut suaminya lagi. Pasrah, ia pun menurut. Berbaring membelakangi, tak menolak tubuhnya dijadikan guling oleh Dava. Mata yang masih berat, membuat Cattleya enggan membantah.

“Cey,” bisik suara di belakangnya pelan. Menginterupsi Cattleya yang hampir terlelap kembali.

“Kamu tidak ingin pernikahan kita normal? Seperti pasangan-pasangan lainnya.” Cattleya masih enggan untuk mengeluarkan suara. Membiarkan suaminya berdialog sendiri.

“Setidaknya bolehkah kita melakukan kegiatan seperti pasangan lain tanpa memaksa diri? Kencan misalnya.” Kini netra Cattleya telah terbuka sempurna, sementara tubuhnya masih tidak bergerak dari posisi semula.

“Kita tinggal satu rumah. Kita memiliki satu cincin yang sama. Tapi, selama delapan bulan kita berbeda kamar. Seperti orang asing di dalam satu kotak,” lanjut lelaki itu. Puncak kepalanya ia jatuhkan ke atas tengkuk sang istri.

“Saya tahu, ini berbeda dengan perjanjian kita sebelum menikah. Meski begitu, saya tetap seorang laki-laki. Saya suami kamu.”

Diam-diam, Cattleya meremas ujung jemari kanannya. Terbersit sedikit rasa aneh yang bergejolak dalam hatinya. Sampai terdengar desahan pelan yang menggelitik punggung berbalut piyama miliknya.

“Saya ngelindur, ya, Cey? Kayaknya pagi ini saya banyak ngomong. Biasanya juga kan kamu yang sering ngomel pagi-pagi.” Cattleya tersenyum tipis. Lalu kembali membeku, saat kecupan singkat mendarat di pipi.

“Mandi, gih. Bau,” celetuk Dava yang sudah beranjak bangun dan keluar dari kamar Cattleya.

Kampret emang!

****

Sejak beberapa menit lalu, Cattleya hanya membolak-balikkan lembaran buku tanpa berniat membaca isi di dalamnya. Ia terus memikirkan kecanggungan yang terjadi antara dirinya dan Dava di dalam mobil saat berangkat bersama menuju kampus. Perkataan sang suami pagi tadi juga masih lekat di ingatannya. Entah mengapa mengganggu dirinya hingga kini.

“Wah, kayaknya Lea beneran kesambet, deh. Dari kemarin melamun mulu,” ujar Kaela menghampiri Cattleya di salah satu bangku kantin.

“Dhan, lo bisa-bisanya betah di diemin sama, nih, bocah?” lanjut gadis itu lagi. Ardhan yang sedang asyik bersama ponselnya, menoleh.

“Males ganggu orang yang lagi semedi,” sahutnya. Spontan berjengit kaget, saat buku milik Cattleya mendarat mulus di kepala. Kaela terkikik melihat Ardhan ditimpuk oleh Cattleya yang duduk di sebelakh lelaki tersebut.

“Baru kelar, Kae?” tanya Ardhan mengalihkan topik. Kaela mengangguk mengiyakan.

“Tumben lama? Hari ini siapa?” lelaki itu kembali bertanya.

“Hari ini fakultas kedokteran ada seminar bareng dokter Indonesia yang bertugas di China,” tutur Kaela bercerita. Ardhan mengangguk-angguk kecil, sedang Cattleya tak mempedulikan obrolan kedua temannya.

“Gue ke perpustakaan dulu, ya,” ujarnya tiba-tiba dan segera beranjak pergi. Meninggalkan kerutan di kening dua sahabatnya.

Ting!

Dosen Sengklek
Cey, nanti sore tunggu saya di minimarket depan kampus. Kita makan malam di luar hari ini. Sekalian ada yang mau ketemu kamu.

Cattleya menutup ponsel setelah membaca pesan dari sang suami. Saat mengangkat wajah, ia tersentak, menyadari hampir saja menabrak seseorang yang keluar dari perpustakaan.

“Eh, maaf,” sesalnya.

“It’s okay,” balas orang tersebut. Setelah tersenyum sopan, Cattleya kembali melangkah masuk.

“Hei!” seru orang tadi. Cattleya menoleh. Seorang lelaki seumuran Dava sedang menatap selidik dirinya.

“Kamu terlihat tidak asing. Apa aku mengenalmu?” Alis Cattleya naik. Menggeleng kecil, lalu melanjutkan langkah. Mengabaikan lelaki di ambang pintu perpustakaan.

****

Bunyi debuman pintu kamar yang cukup keras mengagetkan Dava yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia mendesah kasar. Gara-gara obrolan sepihak dari sepupunya saat makan malam bersama, membuat Cattleya mendadak diam selama perjalanan pulang. Istrinya pasti kesal dengan kalimat sepupu brengseknya itu.

"Errgh!!!" erang lelaki tersebut.
Dengan langkah loyo dan frustasi, Dava menghampiri kamar Cattleya yang tertutup.

“Cey, Ceya ….” Tidak ada sahutan dari dalam.

“Kamu udah tidur, Cey?” panggilnya lagi. Nihil, masih belum ada balasan.

“Cey, suamimu kelaparan, nih.”

“Ceya? Kamu cemburu?” Bunyi ‘klik’ menyentak Dava yang duduk senderan di pintu kamar Cattleya. Tampak wajah istrinya dari balik pintu yang terbuka sedikit.

“Jangan ke-geer-an. Saya ngantuk. Laper, masak sendiri.” Pintu kembali tertutup setelah sepatah kalimat dari sang istri.  Suasana di dalam kamar terdengar hening.

“Cey,” panggil Dava lagi. Kembali menyandarkan punggung ke pintu.

“Kamu menyesal?” tanya lelaki itu, yang tentu saja masih tidak mendapat tanggapan dari Cattleya.

“Apa …,” Dava memberi jeda pada kalimatnya. “Kamu mencintaiku, Cey?”

Sunyi. Atmosfer keduanya berubah canggung dan hening.

###
Note: update lagi yuhuu. Sesuai permintaan wkwk. Thanks dulu buat Elsye91
Jangan lupa di-follow ya.


Salam hangat,
Tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro