Bab 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita jatuh cinta karena hati yang sudah memilih. Bukan karena mereka yang memaksa.

***

Kruukk!!!

Sial! Gara-gara kejadian kemarin, uang jajan Cattleya benar-benar dipotong. Ia ingin menangis rasanya karena tidak bisa menikmati menu terbaru di restoran terdekat dengan kampusnya. Padahal ia juga ingin mencobanya, seperti yang dilakukan Kaela dan Ardhan. Dengan sangat terpaksa ia harus berpura-pura sakit perut untuk menolak ajakan mereka.

Dan sekarang. Pada jam 1 malam, ia harus berjalan pelan layaknya pencuri hanya untuk melihat apakah ada persediaan makanan di kulkas atau tidak. Dan sialnya ia tidak menemukan apa pun di sana. Jatah berbelanja mereka, kan, besok!

Cattleya meringis. Ia berakhir di pantry, menghabiskan segelas air putih. Oh, tidak, bukan segelas melainkan bergelas-gelas. Beberapa kali ia bolak balik mengisi air di dispenser. Perutnya hampir penuh, tetapi tetap lapar. Air tidak cukup mengenyangkan.

Cattleya ingin menangis rasanya. Akhirnya ia duduk di dekat dispenser, merenungi nasibnya.

"Ngapain ngegembel di situ, Cey?"

Beruntunglah kau, Dava. Cattleya hampir saja melempari orang yang mengagetkannya dengan gelas yang ada di tangannya. Begitu tahu siapa dalangnya, Cattleya mengabaikan lelaki itu. Ia langsung bangkit, menepuk bokongnya yang barangkali ditempeli debu.

Gadis itu memandangi Dava tajam saat lelaki itu merebut gelasnya.

"Ya ampun, Cey! Galon kita hampir kosong. Kamu habisin, ya?" ujar Dava lebay. Ingin sekali Cattleya menimpuknya dengan galon itu. Enak saja dituduh menghabiskan air galon.

"Enak aja! Airnya emang tinggal segitu, ya!" dengus Cattleya. Dava terkekeh karena berhasil menggoda istrinya.

Ia pun mengisi gelas kosong tadi dengan air dingin lalu meneguknya hingga habis. Selama itu, Cattleya memandang sinis suaminya yang seenaknya merebut gelasnya. Jangan harap ia akan menggila hanya karena jakun yang naik turun itu. Menggoda iman memang, tetapi ingatlah ia masih kesal.

"Sinis amat, Cey," kekeh Dava.

"Apaan, sih!"

"Cie ... yang uangnya dipotong," lanjut Dava lalu tertawa lebar. Ingatkan Cattleya agar mendaftar Taekwondo. Ia ingin menghajar suaminya hingga babak belur.

"Lapar, ya, Cey?"

Pake nanya lagi!

"Istri gembelku mau dimasakin apa?"

Masak gundulmu! Masak apa? Minyak goreng dan tepung doang?

"Dih, ngambek. Lucu kamu, Cey. Bentar."

Dava meletakkan gelas di atas meja pantry. Ia pun berjalan ke jajaran lemari pantry. Tiba-tiba ia mengeluarkan kunci dari saku celananya. Lalu muncullah sebuah plastik besar berisi beragam macam bahan masakan. Sialan!

Wajah Cattleya memerah tanda marah. Ternyata Dava sudah berbelanja dan malah menyembunyikannya? Suami laknat emang!

"Sekarang duduk dulu, Cey. Dinginin hati, biar suami yang masak," kekeh Dava lalu menuntun Cattleya untuk duduk di kursi. Untungnya Cattleya menurut dan masih mau bersabar. Lagipula Dava sudah mau memasak untuknya, setelah makan nanti barulah menyerbu Dava dengan 1001 jurus andalannya.

Layaknya chef handal, Dava memotong sawi putih dengan gerakan yang menggugah mata. Apalagi ketika memasukkan potongan sayuran itu ke dalam wajan.

Jika dipikir-pikir, Dava seharusnya lebih baik membuka restoran saja. Cattleya tahu, lelaki itu suka memasak. Walaupun mereka berdua berada di lingkup yang sama, tetapi Cattleya tidak sehandal Dava. Ia lebih suka di bagian pastry, sementara Dava lebih ke menu berat. Komposisi yang sempurna.

Tak lama kemudian, tumis sawi putih dan telur orak-arik tersedia di piring. Cattleya tidak bisa menahan diri untuk terus gengsi. Ia pun mencicipi masakan Dava yang ternyata sangat enak. Walaupun sederhana, tetapi tetap terasa mewah.

Cattleya menghabiskan tumis sayur tersebut. Dan ia baru menyadari bahwa Dava memandanginya dengan lekat. Lihat, jadinya pipinya memerah malu.

"Pak, uang jajan saya jangan dipotong, dong," rajuk Cattleya mengalihkan suasana.

Dava mengernyit lalu tersenyum miring. "Niat kamu belum suci."

"Lah, saya suciin gimana lagi? Pake wudhu? Ayolah, Pak. Dosa, loh, kalau nafkahin istri setengah-setengah," kata Cattleya menakut-nakuti.

"Nanti kamu berniat kabur lagi," ucap Dava lalu mengambil piring kosong Cattleya, hendak dicucinya.

Cattleya merebut piring tersebut. "Biar saya aja," ucapnya ketus. Walau bagaimanapun ia tahu diri untuk mencuci piring setelah makan.

Dengan wajah cemberut, ia menyabuni piring kotornya. Untung saja tidak dipecahkan saking kesalnya.

Tiba-tiba saja, sesuatu melingkari pinggangnya. Pasokan oksigen di sekitar Cattleya mendadak menipis ketika hembusan napas Dava terasa di lehernya. Lelaki itu sedang apa, sih?

"Cey, mau dibantuin gak?" tanyanya dengan suara mendayu-dayu. Sialan sekali Pak Dava ini!

"Eng-enggak."

Cattleya jadi geregetan jadinya. Ia pun minta dilepaskan, tetapi Dava malah semakin mengeratkan pelukannya. Seolah memberi kehangatan.

"Di luar hujan. Kamu bisa kedinginan."

Apa-apaan? Alasan seperti apa itu? Memang baru saja terdengar deru suara hujan deras, tetapi bukan berarti ia langsung kedinginan. Lelaki ini mencari kesempatan dalam kesempitan ternyata.

"Cey, kamu beneran belum ada perasaan apapun ke saya?"

Cattleya bungkam. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Karena ia sendiri tidak tahu bagaimana itu cinta. Tetapi ia sudah merasakan cemburu, apa itu bisa disebut cinta?

"Pak, le-lepas." Hanya itu yang akhirnya keluar dari bibir Cattleya.

"Ayo kita lihat, sudah sampai mana kamu menerima saya."

Cattleya tidak ingin menolak, tetapi juga tidak mau menerimanya begitu saja. Ia hanya bisa membeku ketika Dava memagut bibirnya. Entah sudah berapa banyak skinship yang terjadi antara bibir mereka.

Cattleya berharap, ia bisa melakukan hal ini dengan baik. Menjadi seorang istri yang bisa melayani suaminya. Seperti kata Dava, ternyata dirinya sudah terlalu jauh menerima Dava. Apakah ini cinta?

***

Cattleya tidak tahu apakah yang ia lakukan sudah benar atau tidak. Ketika pertama kali membuka mata, lalu melihat Dava berada di sisinya, entah mengapa ia merasa sangat nyaman. Merasa dicintai dan dilindungi secara bersamaan.

Ia telah menerima Dava secara lahir dan batin. Ia baru menyadarinya semalam, bahwa ia mencintai Dava sepenuh hati. Dan tanpa ia sadari, rasa itu sudah ada sejak lama.

"Saya rasa, saya sudah jatuh cinta sama Bapak," gumam Cattleya seraya memutar cincin pernikahan yang dikenakan Dava. Tangan lelaki itu melingkari pinggangnya, sehingga mudah baginya bermain-main dengan telapak tangan besarnya.

"Kamu udah terima saya sejauh ini, apa masih ada batasan dosen dan mahasiswi sekarang?"

"Eh?"

Cattleya terkejut saat ia menoleh dan mendapati Dava dengan wajah khas bangun tidurnya. Masih ada belek di ujung mata saja masih ganteng. Memang pesona orang ganteng tidak bisa dipungkiri.

Dava tiba-tiba meluncurkan sebuah ciuman di pipi dan keningnya.

"Morning kiss," katanya.

Cattleya benar-benar merasa gila, buru-buru ia menyembunyikan wajahnya menggunakan selimut. Ia benar-benar malu. Apalagi setelah kejadian semalam. So crazy.

"Kamu malu, Cey?"

Kenapa harus ditanya lagi, Pak Dava?

Baru saja Dava hendak menggoda Cattleya, tiba-tiba terdengar suara bel. Baik Dava maupun Cattleya buru-buru masuk ke kamar mandi. Sempat terjadi perdebatan, hingga akhirnya menanglah Cattleya.

Tadinya Dava menyarankan mereka untuk mandi bersama, tentu saja Cattleya memelototi suaminya. Dasar mesum!

Tak lama kemudian, Cattleya keluar dengan pakaian yang rapi. Suara bel di luar semakin menjadi-jadi. Dava segera masuk ke kamar mandi menggantikan istrinya. Ia sempat berseru, "Bukain pintunya, Cey!"

Cattleya tidak lagi membuang waktunya, ia segera keluar dari kamar, berjalan cepat menuju pintu agar sang tamu tidak menunggu lama. Lagipula siapa yang datang pagi-pagi seperti ini? Menganggu acara romantis suami-istri saja.

Ceklek!

Cattleya menegang di tempat saat melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu dengan gaya angkuh. Entah apa salahnya, tiba-tiba mertuanya menamparnya. Sakit sekali.

"Saya tidak suka kamu mempengaruhi putra saya! Kamu kira kamu siapa? Karena kamu, putra saya membangkang!"

Cattleya tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Dava hingga menentang ibunya sendiri. Dan pagi ini tiba-tiba wanita itu datang hanya untuk menampar dan menyalahkannya.

"Asal kamu tahu, saya mengizinkan Dava menikahi kamu hanya dalam waktu satu tahun. Namun, sekarang saya rasa tidak ada yang perlu dipertahankan lagi dari pernikahan kalian. Kalian harus segera bercerai!"

Fakta apa ini? Dava menikahinya hanya untuk satu tahun? Ternyata ia dipermainkan, begitu?

"Mama! Apa yang Mama lakuin ke Ceya?"

Pemilik suara itu ... Cattleya membencinya.

###

Salam hangat,
Tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro