Bab 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepertinya Cattleya layak berperan menjadi detektif atau agen mata-mata. Bagaimana tidak? Setelah beralasan ingin ke toilet pada Kaela dan Ardhan, dirinya sekarang tampak seperti pencuri amatiran di dalam mall.

Melirik kiri-kanan, menyembunyikan diri di balik baju-baju yang bergantungan di salah satu outlet pakaian, tak jauh dari mini café tempat dua targetnya sedang bersama. Yap, Davano Algara kampret dan Berliana micin.

Cih!

Cattleya mendecak sebal, menahan kepalan buku jarinya agar tidak mendarat di perut lelaki bego itu.

Bisa-bisanya dia haha-hihi berdua dengan wanita lain—yah, tidak berdua juga karena ada beberapa teman lelaki lain. Sementara istrinya yang lagi hamil muda malah dibiarkan begitu saja.

Oke, Cattleya akui ia cukup lebay. Pada dasarnya Cattleya memang lebih suka berusaha mandiri, tetapi bukankah ia juga patut diperhatikan lebih apalagi setelah membawa orok di dalam perutnya?

“Le!” Sontak wanita muda itu berjengit kaget, saat seseorang menepuk punggungnya.

“Ardhan!” pekik Cattleya kesal, setengah berbisik. Menautkan kening lelaki di sebelah kirinya.

“Lo lagi ngapain? Kayak habis dikejar-kejar debt collector, sembunyi di lapak orang.” Cattleya mengerang saat Ardhan mengomelinya. Seperti emak-emak untuk ukuran seorang lelaki.

“Sst! Pelan sedikit ngomongnya,” sahut Cattleya yang semakin menambah kebingungan sahabatnya tersebut.

“Kaela nunggu, tuh! Katanya mau ke toilet, tapi lima belas menit belum balik-balik. Dikira sembelit, eh, ternyata nyangkut di sini. Lagi ngintip siapa?” tanya Ardhan lalu mengikuti arah pandang Cattleya. Bergegas wanita itu merendahkan kepala sahabatnya.

“Jangan berisik napa. Udah, balik ke Kaela, yuk?” Cattleya menarik lengan Ardhan, membawanya pergi sebelum mereka berdua ketahuan.

“Eh, itu dosen Ana dan Pak Dava, ‘kan?” tanya Ardhan sekali lagi yang tak digubris oleh Cattleya.

“Hoi! Anak SMP!” Ardhan hampir saja menubruk punggung wanita yang menarik tangannya karena ia mendadak berhenti. Cattleya pun tampak menegang tanpa mengalihkan posisinya yang membelakangi.

***

“Hoi, Dav! Apa kabar, bro?” seru suara dari arah belakang mengalihkan atensi Dava.

Ia akhirnya bisa bernapas lega, mengambil kesempatan untuk melepaskan lingkaran erat di lengannya sejak di parkiran. Mengulas senyum cepat sambil membalas ‘tos’ dari teman-temannya yang baru saja tiba.

“Loh, Ana, ‘kan?” tanya salah seorang dari empat lelaki yang duduk di bangku depan dan samping mereka—memakai kemeja navy dengan lengan baju digulung hingga atas siku.

Berliana mengangguk, memberikan senyum cerahnya.

“Janjian bareng Dava juga?” tanya yang lain pula, berpakaian kasual dengan kaos putih ditutupi jaket green boomber.

“Enggak! Gue janjian sama Abian doang, kok,” sahut Dava cepat.

Berliana dan teman-temannya memandang diam sejenak, lalu mengangguk-angguk kecil. Sementara wanita yang duduk bersebelahan dengan lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Kembali menampilkan senyum manis setelah berdeham pelan.

“Gue nggak sengaja ketemu Dava di parkiran tadi. Pas tahu mau ketemu kalian, jadi gue ikutan ngumpul di sini juga. Nggak lama, kok. Nggak apa-apa, ‘kan?” ujar Berliana, yang ditanggapi oleh teman-teman Dava setelah hening dan saling memandang satu sama lain.

“Nggak, nggak masalah, kok. Santai aja,” balas lelaki yang duduk berhadapan dengan Berliana diselingi tawa sumbang.

“Tapi, bukannya emang ke mana-mana elo selalu ngekor Dava, ya, Na?” sela lelaki berjas abu-abu, dilihat dari penampilannya seperti seorang pengusaha yang cukup sukses.

Baik Berliana maupun Dava dan teman-temannya, menatap lekat lelaki berjas abu-abu tersebut.

“Woi, Delan! Ngomongnya nggak usah begitu juga kali,” bisik teman sebelahnya menegur. Lelaki yang dipanggil Delan itu tak membalas, menatap Berliana tak peduli dengan kalimat ketus yang dilontarkannya.

Sepersekian detik kemudian, ia tiba-tiba melepas tawa keras. Tentu saja membuat yang lain mengerut kebingungan.

“Tegang amat dah kalian. Santai napa,” ucap Delan masih di sisa-sisa tawa. Mengacuhkan umpatan dan rutukan dari sahabat-sahabatnya.

“Lagian, yang barusan gue bilang juga nggak salah, ‘kan?” lanjut Delan.

“Sejak mereka sekelas di SMA, Ana sama Dava tuh kayak anak kembar. Apa-apa berdua. Malah gue yang bosan lihatnya. Jangan-jangan ke toilet juga berdua?” tambahnya lagi dan kembali terbahak.

“Jangan ngomong sembarangan!” ketus Dava sambil melempar kacang kulit tepat ke kening Delan. Sedangkan Berliana, hanya mengulas senyum malu.

“Apa jangan-jangan, elo berdua juga dijodohin? ‘Kan, biasanya begitu, tuh.” Dava bungkam. memandang Delan tanpa kata.

“Wah, ini bocah. Tampangnya aja direktur hotel terkenal, dalamnya beneran perlu dirukiah,” sahut lelaki berkemeja navy. Alih-alih kesal, Delan lagi-lagi terkekeh.

“Elo mau sampai kapan, Na? Ngebuntutin ini bocah?” sela Delan belum juga berhenti. Berliana tampak memerah, malu.

“Mending cari yang lain, Na. Daripada nungguin nih bocah kesemsem sama elo. Dia rela membujang sampai belahan hatinya ketemu,” ujar lelaki berjaket hijau.

Sementara Berliana tak berkutik menjadi bulan-bulanan teman-teman Dava, lelaki yang berprofesi sebagai dosen itu diam-diam menyungging senyum tipis. Seketika bayangan Cattleya menghampiri.

“Oh, iya. Abian mana, Dav? Katanya mau gabung juga, ’kan?” tanya lelaki yang duduk berhadapan dengan Berliana, memotong obrolan canggung yang menurutnya terlalu memojokkan wanita itu.

“Tadi, sih, lagi ada kerjaan. Mungkin sekarang udah di jalan.”

“Itu Abian bukan?” ujar temannya yang lain sambil menunjuk ke arah belakang Dava.

“Loh, itu si ‘anak SMP’, ‘kan? Beneran dia, tuh!” seru Delan. Sontak membuat Dava mengikuti arah pandangnya.

Benar, tak jauh dari Abian yang melenggang menghampiri meja mereka, tampak Cattleya sedang bersama seorang lelaki yang sangat dikenal Dava. Cattleya berbalik setelah beberapa saat tak beralih. Ia terlihat menghindari mata Dava. Jarak antara meja dan tempat Cattleya berdiri yang tidak terlalu jauh, menampakkan dengan jelas raut canggung wanita tersebut.

Sedangkan di sebelah, entah atas alasan apa, saat melihat Cattleya dirinya kembali melingkarkan tangan di lengan Dava, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Lelaki itu sedikit tersentak, kemudian tanpa sadar membawa atensi memandang Cattleya yang ternyata juga melihat hal tersebut. Dava tidak dapat menebak tatapan netra yang diberikan istrinya saat itu, tetapi tangannya yang sejak tadi berada di lengan milik Ardhan, kini mengerat sempurna.

Dava mencelos. Namun, entah mengapa ia malah diam, tak mencoba melepaskan tangan Berliana di lengannya.

“Hei, anak SMP! Apa kabar? Wuah, makin cantik aja,” puji Delan berjalan mendekati Cattleya dan Ardhan. Matanya tertuju pada lengan Ardhan yang dipegang oleh wanita itu.

“Pacar elo?” tanya Delan pada Cattleya sambil menunjuk Ardhan. Wanita itu melirik Dava sejenak, yang masih memandangnya lekat.

Cattleya ingin mengumpat saat kepalanya mengangguk tipis. Membenarkan pertanyaan Delan. Sesaat, ia melihat sudut bibir Berliana yang sedikit tertarik ke atas, ketika tanpa sengaja matanya beralih memandang tatapan datar Dava. Cattleya tak peduli dengan senyum kemenangan milik wanita selebgram tersebut. Namun, datarnya ekspresi Dava saat Cattleya berbohong pada teman-temannya—mengiyakan Ardhan sebagai pacarnya, sedikit membuat hatinya terluka.

Mungkin, lelaki itu memang tidak peduli sejak awal. Entahlah.

“Maaf, Kak. Kami pergi dulu,” pamit Cattleya. Ia benar-benar ingin pulang sekarang.

“Ah, iya-iya. Silakan, lanjutkan kembali kencan kalian.”

Delan tertawa kecil, memandangi Cattleya yang beranjak meninggalkan mereka tanpa melepaskan tautan lengannya dengan Ardhan. Sementara seisi meja yang memperhatikan mereka sejak tadi hanya melihat tanpa bersuara. Begitu pula Abian, ia menoleh antara Dava-Cattleya. Kemudian mendesah pelan.

***

Bunyi ‘blam’ yang cukup keras menginterupsi keheningan rumah minimalis tersebut. Menyaksikan pelakunya menjatuhkan diri ke atas sofa. Mengacak-acak rambut tanpa suara. Berulangkali membuang napas kasar, bersedekap, lalu kembali mengacak surai panjangnya yang legam.

“Alfamart brengsek!” umpatnya kesal. Kemudian merosotkan tubuhnya, merebahkan diri di atas sofa.

“Brengsek, brengsek, brengsek. Awas aja pulang nanti, gue gado-gadoin! Huh!”

Selang beberapa menit terdengar  deru mobil berhenti di halaman rumah. Cattleya yakin, itu pasti Dava. Ia membenarkan letak duduknya, menyilangkan kedua lengan di depan dada, bersiap mengeksekusi suami kampretnya tersebut.

Suara pintu yang ditutup, menarik atensi Cattleya untuk menoleh. Suaminya kemudian melangkah masuk dan menuju dapur, tak mengacuhkan Cattleya yang belum melepaskan atensi dari dirinya. Seolah-olah wanita itu tidak terlihat.

“Nggak nanya, kenapa saya tadi ada di sana? Nggak kepo gitu?” tanya Cattleya membuka pembicaraan. Namun, yang diajak ngobrol sedikit pun tak menoleh.

“Pak. Pak Dava.”

“Suamiku, sayangku.” Cattleya benar-benar ingin merutuk, melihat respon sang suami padahal dia sudah merelakan harga dirinya untuk memanggil lelaki itu dengan kata ‘sayang’.

“Pak! Woi, Davano!”

“Saya tidak peduli, kalau kamu mau jalan bareng teman cewek atau cowok. Atau bahkan pacar kamu sekalipun,” ucap Dava akhirnya membalas. Namun, masih tanpa mengalihkan atensi.

Setelah menandaskan segelas air putih, lelaki tersebut malah menghilang di balik pintu kamar. Menautkan alis sang istri.

Apa-apaan?

Tak berhenti sampai di situ saja. Saat makan malam, Cattleya yang sengaja kelaparan menunggu Dava di meja makan, lagi-lagi dibuat kesal karena lelaki itu memilih mengambil makanannya sendiri—padahal selama ini, ia akan mengomel panjang lebih dulu tentang kewajiban Cattleya sebagai istri, meminta wanita itu menyiapkan makanan untuknya. Lalu, menikmati makan malam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Lagi-lagi, mengabaikan keberadaan Cattleya di depannya.

Bukankah seharusnya dia yang marah saat ini? Setelah perlakuan manja Berliana yang tak mendapat penolakan dari empunya lengan, harusnya Cattleya yang berstatus sebagai istri dari Davano Algara itu mengeksekusi habis sang suami. Mencecarnya dengan pertanyaan, tetapi kenapa malah dia yang dicuekin?

Wanita itu mendengus sebal. Beranjak menuju sofa, memilih keripik kentang di dalam toples dibandingkan makan di meja sambil menahan marah melihat suaminya. Semakin uring-uringan ketika dirinya menunggu di kamar, berharap punya kesempatan untuk menginterogasi sang suami, ternyata lelaki itu tak kunjung masuk.

Wanita itu mengernyit bingung. Sudah pukul sebelas malam, tetapi Dava belum juga masuk. Padahal lelaki tersebut tidak biasa tidur larut atau begadang. Selang beberapa saat, Cattleya menyeret langkahnya menuju ruang keluarga. Benar saja, Dava sedang menonton di sana.

Apa-apaan pula itu? Sejak kapan selimut dan bantal dari dalam kamar berada di sofa?
Cattleya memandangi lelaki tersebut yang masih asyik menikmati film di salah satu siaran, tak mempedulikan sang istri yang sejak tadi menonton dirinya.

“Pak, udah jam sebelas, loh? Bapak belum tidur?” tanya Cattleya yang tak digubris.

“Pak, nanti punggungnya sakit kalau tiduran di sofa.” Masih belum menyerah, ia kembali membujuk sang suami.

“Pak.”

“Pak Dava.”

“Pak!” Hening, tak ada sahutan.

“Bodo, ah!” Kepalang kesal, Cattleya memutuskan untuk meninggalkan Dava di ruang keluarga.

Blam!!!

Suara pintu yang ditutup dengan keras, memberitahukan suasana hati wanita tersebut yang memburuk. Menyisakan desahan pelan dari lelaki yang duduk di atas sofa.

***

“Ada hubungan apa elo sama Pak Dava?”

Refleks Cattleya menyemburkan minumannya saat mendengar pertanyaan secara tiba-tiba dari Ardhan. Sementara, tatapan penuh atensi Kaela menghunus tajam dirinya.

###
Tbc

Salam hangat,
Tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro