Bab 37

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak peduli sejauh apa pun burung terbang mencari kebebasan. Tetap sarang yang menjadi tempatnya untuk berpulang dan berlindung.

***

"Happy Anniversary ... Cey."

"... Mas Dava."

Dua orang berada di tempat dan waktu yang berbeda mengucapkan hal yang sama secara bersamaan. Berdiri di balkon, menikmati semilir angin malam. Di tempat Dava saat ini, hujan turut menemani. Berbeda dengan Cattleya yang masih bisa menikmati keindahan bulan yang tidak penuh.

Dengan gelisah, Cattleya melirik ponsel yang digantinya beberapa hari yang lalu. Andai saja ia tidak kehilangan barang-barangnya, mungkin ia tidak segelisah saat ini. Seharusnya, ia sudah mendapat panggilan video dari Dava. Namun, mengapa rasanya agak mustahil?

Dava tidak menghubunginya sampai saat ini. Apakah lelaki itu marah? Mungkin saja. Namun, apa yang bisa Cattleya lakukan? Ia tidak berniat kabur, tetapi semuanya di luar dugaan. Ia bahkan sempat lupa dengan beasiswa itu. Setelah mendapat kabar bahwa ia mendapat kuliah di Australia, ia merasa sedikit kebingungan.

Dava mungkin tidak menyetujui keputusannya. Ya, awalnya memang ia berniat kabur dari Dava dengan mendaftar beasiswa luar negeri. Namun, takada yang tahu rencana Tuhan setelahnya. Ia mempertaruhkan impian dan pernikahannya di waktu yang bersamaan. Jadi, ia memutuskan untuk pergi lebih dahulu barulah setelah mengabarkan Dava. Lewat secarik surat.

Terkesan jadul? Tak hanya surat, ia juga menitipkan sesuatu. Namun, sepertinya Dava benar-benar marah padanya sehingga tidak menghubungi. Malam ini, malam peringatan satu tahun pernikahan mereka dan Dava tidak peduli. Bukankah itu artinya ia menyerah pada pernikahan mereka?

Dava memang berhak marah dan kecewa karena ia pergi diam-diam, tetapi Cattleya juga punya alasan untuk itu. Ia butuh waktu dan kuliah ke luar negeri adalah kesempatannya. 

"Nungguin kabar dari pacar kamu?"

Cattleya menoleh pada Kiran, mahasiswi asal Indonesia yang juga mendapat kesempatan untuk kuliah di universitas yang sama dengannya. Mereka adalah teman di apartemen yang sama saat ini.

Cattleya tersenyum kecut, tak segera menjawab. Kiran menghampirinya, menepuk pundaknya pelan.

"Mau nungguin sampai kapan? Udah mau tengah malam. Besok bakal capek, banyak hal yang dipersiapkan."

Cattleya menoleh ke dalam apartemen, ia mendesah. Bahkan apartemennya masih berantakan saat ini. Beruntung ia mendapat teman seperti Kiran, gadis itu sudah membantunya seharian ini. Tak hanya ramah, Kiran juga punya kepedulian tinggi terhadap sesama.

"Masih mau nunggu?"

"Eh? Uh ... aku bakal nungguin bentar lagi."

Kiran manggut-manggut, sepertinya merasa percuma membujuk Cattleya. Gadis itu pun mengangkat kardus terakhirnya, hendak masuk ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat Cattleya memanggilnya.

"Kiran."

"Ya?" Gadis itu menoleh. Cattleya menunjuk pada ponselnya.

"Aku nungguin suamiku."

"Suami? Kamu udah nikah?"

Kerutan muncul di dahinya. Tampak raut wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Kiran meletakkan kembali kardusnya di lantai, menghampiri Cattleya.

"Udah. Setahun yang lalu," Cattleya mendesah pelan lalu melanjutkan, "hari ini adalah peringatan satu tahun."

"Waw! Congratulations! Pasangan muda kayak kalian, kenapa harus LDR? Dilema nikah muda, sih. Pasti kamu gak rela, kan, ninggalin suami kamu? Tapi aku salut, kamu tetap ngejar impian kamu jadi pattisier."

Cattleya tersenyum kecut, merasa tersentil. Apa tanggapan Kiran jika tahu alasannya mengambil beasiswa ke luar negeri untuk menghindari suaminya sendiri? Mengambil kesempatan untuk memberi waktu pada dirinya sendiri.

"Yah, gitulah."

Pada akhirnya, Cattleya hanya bisa berbohong. Untuk Kiran, Dava dan juga dirinya sendiri. Setahun yang lalu, mungkin ia akan senang karena mendapat kesempatan kuliah di Australia saat ini. Namun, setahun terakhir ini segalanya telah berubah. Beberapa bagian hidupnya telah terbagi, jadi ia sulit merelakan sebagian daripadanya tertinggal.

"Dia mungkin marah," cicit Cattleya seraya memandangi langit kembali.

"Why?"

Tahu jika Cattleya terlihat enggan mengatakan alasannya, Kiran menepuk pundak wanita itu pelan.

"Kamu tahu? Cowok kadang suka bikin kejutan. Kamu mungkin harus tidur dulu. Besok, siapa tahu bakal dapat kejutan. Oh, ayolah, cowok kadang suka bikin ngeselin biar bisa kasih kejutan. Tidur, yuk!" ajak Kiran menuntun Cattleya untuk masuk ke apartemen.

Setelah Cattleya masuk, Kiran segera menutup pintu balkon, menghalangi angin malam masuk. Ia saja merasa kedinginan, sehingga sedikit heran dengan Cattleya yang betah ditemani angin malam dengan hanya mengenakan kaos lengan pendek.

Masih dengan wajah murung, Cattleya masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuh di kasur. Dengan harapan, ia akan mendapat kejutan seperti yang dikatakan Kiran.

***

Dua bulan kemudian.

Dava menyugar rambutnya, menggosoknya berulangkali di bawah guyuran shower. Air mengalir dari lubang-lubang kecil, membasahi seluruh tubuhnya. Bekasan sampo telah meluruh ke lantai, masuk ke saluran pembuangan.

Suara deringan ponsel terdengar. Dava sempat menoleh, tetapi mengabaikannya kemudian. Ini hari Minggu, siapa yang menghubunginya? Mahasiswa? Bukankah ia sudah memperingatkan mahasiswa untuk tidak menganggu liburnya? Atau Abian? Tidak mungkin, sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, ia mengabaikan berbagai jenis komunikasi dengannya. Kesal, kecewa dan marah masih ada. Pendendam? Katakanlah begitu. Beruntungnya Abian ke luar negeri selama beberapa minggu belakangan, sehingga Dava tidak perlu merasa kesulitan mencari cara menghindarinya.

Untuk beberapa saat, suara deringan ponsel tidak terdengar lagi. Dava melanjutkan kegiatan mandinya. Namun, tak lama dari itu, suara telepon kembali terdengar. Mengerang kesal, Dava menyudahi kegiatannya. Menyambar dua lembar handuk di gantungan. Yang satu dililitkan di tubuh bagian bawahnya, satu lagi ia gunakan untuk mengelap rambutnya yang basah.

Ia mengambil ponsel yang diletakkan di atas lemari kecil, meliriknya dengan kening berkerut. Nomor asing meneleponnya beberapa kali. Siapa?

Dava memilih mengabaikannya. Ia menduga itu hanya telepon asing yang berisi penipuan. Sudah sering ia mendapatkannya, ujung-ujungnya si penelepon meminta dikirimkan uang ke rekeningnya.

Keluar dari kamar mandi, Dava mencari hair dryer di laci. Ia hendak menyalakannya, tetapi sadar bahwa alat itu sudah rusak sejak dua hari yang lalu dan ia belum membeli baru atau sekadar memperbaikinya. Ia tidak punya waktu. Dulu, Pasti ada Cattleya yang akan ....

Cattleya lagi.

Dava melempar handuknya dengan kasar ke kasur. Ia menghela napas panjang. Bayangan wanita itu belum sepenuhnya hilang dari benaknya. Diliriknya dinding di mana sebelumnya terpasang foto pernikahannya, entah sejak kapan ia sudah menurunkannya. Kalau kata Abian, ia terlihat kekanakan karena menyimpan semua benda yang berhubungan dengan Cattleya. Sialnya, semua bagian dari rumah ini berhubungan dengan Cattleya. Jadilah ia hanya menurunkan bingkai foto pernikahan mereka, sebagai langkah awal move on. Dava pasti sudah gila.

"Umur lo udah tua. Memangnya masih zaman pacaran?"

Ada setan kecil yang membisikinya. Sial! Ia mungkin sudah gila kemarin. Mencoba melupakan Cattleya. Hal paling gila!

Dava segera membuka lemarinya. Ia tertegun sesaat, bahkan masih ada barang Cattleya di sana. Menetapkan hati, Dava mengambil bajunya. Ia akan ke gudang setelah ini, mengambil foto pernikahan dan memasangnya lagi.

Baru saja hendak memakai kaos, suara telepon terdengar lagi. Ia menunda kegiatannya, berdecak dan mengambil ponsel yang diletakkannya tadi di atas kasur. Nomor asing itu lagi.

Kesal, Dava langsung men-dial tombol hijau.

"Say--"

"Bapak bosan sama saya? Bapak marah sama saya? Bapak kecewa? Kesal? Bapak benci sama saya?"

Dava tertegun. Suara cempreng itu ... ia mengenalnya. Sangat jelas. Sudah lama rasanya tidak mendengar suara seindah itu. Rasa rindunya membuncah. Ia merasa jantungnya berdetak tidak karuan, sudah lama rasanya. Inikah yang namanya jatuh cinta pada orang yang sama di setiap detiknya?

"Cey ...?"

"Bapak boleh marah, kecewa, kesal sama saya. Kalaupun mengharuskan untuk dibenci, saya siap. Tapi, kalau kayak gini, saya bisa gila. Bapak gak bisa kayak gini. Bapak mau cerai?"

"Cey?"

"Saya tahu saya salah. Tapi kenapa Bapak malah membuat saya semakin bersalah? Bapak beneran gak mau memaafkan saya, ya? Surat saya tidak berharga, ya? Kalau gitu ... saya siap untuk ngobrolin soal perceraian kita. Saya akan pulang untuk menghadiri persidangan. Saya sudah siap sekarang. Toh, walaupun saya janda, bule luar negeri gak masalah sama janda. Mereka bisa berpikir rasional. Ganteng-ganteng juga. Gak kalah dari Bapak. Say--"

"Bentar, Cey! Kamu, say--Cey! Cey! Sial!"

Perasaan Dava campur aduk saat ini. Ia membanting ponselnya ke lantai, membuatnya retak dan tewas seketika. Emosinya mulai tidak stabil. Apa-apaan ini? Setelah dua bulan ditinggalkan sebagai duda ngenes, sekarang Cattleya menghubunginya hanya untuk membicarakan perceraian? Tidak tahukah wanita itu bahwa ia lebih dulu merasa gila?

Dengan cepat, Dava berpakaian. Ia tidak peduli, keluar dengan rambut yang masih basah. Langsung saja disambarnya kunci mobil. Mungkin selama ini ia terlihat pasrah ketika Cattleya meninggalkannya. Namun, setelah telepon tadi, ia merasa dirinya salah.

Sebelum semuanya terlambat, ia harus menyusul Cattleya. Mengenai surat, ia tidak tahu apa pun. Apa ia telah melewatkan sesuatu? Atau seseorang sengaja melewatkan itu untuknya, membuat hubungannya dengan Cattleya semakin buruk dan tidak terkendali.

Siapa tersangka utamanya?

Ah, iya. Dava ingat. Seseorang pulang dari luar negeri hari ini. Ia harus menginterogasinya. Lelaki sok polos yang ternyata pebinor.

Abian!

###
tbc

Salam hangat,
Tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro