Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dava mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak tega melihat wajah memelasnya sang istri. Mendesah kasar, mungkin sudah saatnya pasrah.

"Oke. Kamu tunggu di sini, biar saya yang ke minimarket."

Senyuman manis Cattleya terbit. Ia memandang suaminya dengan tatapan memuja.

"Udah, Cey. Saya jijik liat wajah kamu sok imut gitu. Ini pake dulu."

Cattleya manyun sesaat, tetapi kemudian dia kembali tersenyum tatkala Dava melepas jasnya lalu meletakkannya di atas pundak Cattleya.

Hingga Dava menghilang dari pandangan, Cattleya masih belum merubah raut wajahnya. Beberapa orang yang berlalu-lalang menyayangkan wanita cantik yang terlihat gila. Gila, huh?

Memandangi jas yang diberi Dava, Cattleya lalu mendekatkan jas tersebut ke hidungnya. Ini yang dia mau. Aroma khas Dava. Entah parfum apa yang dia pakai, tetapi aroma itu mampu menenangkannya. Jangan salahkan dia, jika ia rela mencuci pakaian Dava dengan tangan telanjangnya. Selain karena tugas istri, ia suka melakukan hal tersebut.

Puas menikmati aromanya, barulah Cattleya memakainya. Angin malam yang sedari tadi menjilati tubuhnya kini tidak terasa lagi.

Merasa sedikit kebosanan, Cattleya malah menendang kerikil-kerikil dengan ujung sepatunya. Untuk sesaat ia lupa akan apa yang terjadi di restoran. Sebaliknya, ia malah merasa bahagia dengan perlakuan manis Dava padanya. Ia jadi penasaran bagaimana raut wajah Dava setelah membeli pembalutnya.

"Cey."

Cattleya menemukan suaminya yang berjalan dengan gaya keren menujunya. Ia bersedekap, memandang sang suami yang tampaknya dengan percaya diri menenteng plastik putih transparan. Walau di malam hari, tetap saja isi plastik tersebut dapat dilihat. Bungkusan berwarna merah muda berbentuk kotak.

Cattleya tidak bisa menahan tawanya lebih lama lagi. Dava memang stay cool, tetapi pipi merah itu membuktikan bahwa suaminya itu memang merasa malu.

"Senang kamu, Cey?" sindir Dava kesal. Bungkusan yang dibelinya langsung diberikan pada Cattleya. Buru-buru ia masuk ke dalam mobil menyisakan sang istri dengan tawa laknatnya.

Puas tertawa, Cattleya mengetuk kaca mobil hingga Dava menurunkannya.

"Aku mau ke toilet dulu," ujar Cattleya dengan wajah yang masih ingin tertawa. Dava mengibaskan tangannya, berisyarat bahwa Cattleya harus segera pergi.

Merasa cukup mengerjai sang suami, Cattleya segera melangkah pergi menuju toilet terdekat. Ia terkikik geli mengingat wajah suaminya. Ternyata, semenyenangkan itu.

***
"Pak."

"Hm."

"Saya kekenyangan."

"Ya jadi?"

"Ya gak apa-apa."

Dava memutar bola matanya dengan malas. Ia tidak tahu apa yang membuat istrinya mendadak sableng. Mungkin setelah menghabiskan dua piring sate.

Mengingat sate, Dava sempat kesal. Bagaimana tidak? Ia beradu argumen dengan Cattleya hampir setengah jam hanya karena memilih tempat makan. Dava menyarankan ke restoran, tetapi Cattleya ngotot untuk makan sate pinggir jalan.

Bukannya bersikap sok kaya atau sok higienis, pasalnya Cattleya itu sedikit norak. Gadis itu pasti menghabiskan banyak makanan saat lapar. Bahkan melewati kapasitas kenyang. Dan terbukti, Cattleya malah memesan hampir tiga piring jika tidak dicegah oleh Dava.

Ia beralasan tidak mau ke restoran karena hanya akan membuat Dava malu akibat pesanannya yang berlebihan. Sebenarnya baik di restoran atau di pedagang pinggir jalan pun tetap sama. Cattleya tidak boleh makan terlalu banyak. Lupakah gadis itu jika sering bermasalah dengan pencernaan?

"Pak."

"Hm."

"Pa--"

"Apa, Cey? Kamu mau apa lagi? Mau makan lagi? Gak puas-puas apa?"

"Ih sensi amat kayak bumil. Saya mana ada minta makan lagi. Untung kan Bapak bawa saya makan di pinggir jalan. Kalau tidak, Bapak mau menanggung malu karena rengekan saya di restoran?"

"Di depan penjual sate tadi pun saya malu, Cey!"

"Beda, dong! Kalau di restoran tidak menutup kemungkinan ada yang lihat kita. Tapi kalau di pedagang pinggir jalan? No one."

Sekarang Dava mengerti. Memang, tidak bisa dipungkiri jika restoran bukanlah tempat yang aman. Ia memiliki banyak teman dan kenalan dari kalangan atas. Jika sempat bertemu, maka rahasia mengenai pernikahan mereka bisa terbongkar. Berbeda dengan perjamuan makan malam tadi, mereka berada di restoran milik Papa Dava sendiri.

"Terserah kamu, Cey."

Cattleya menyengir bak kuda. Ia menoel-noel pipi suaminya itu. Dava mendesah, tetapi ia membiarkan istrinya melakukan hal yang tidak berguna itu.

"Pak. Pak. Pak. Pak."

Lama-lama Dava jadi jengkel dengan tingkah laku absurd Cattleya. Ia menangkap jari telunjuk Cattleya dan dengan cepat dimasukkan ke dalam mulut.

Kaget, dengan tak kalah cepatnya Cattleya menarik tangannya agar tidak digigit Dava.

"Aaa!!! Pak! Pak! Jangan digigit!" teriak Cattleya.

Dava tidak peduli, ia benar-benar menggigit jari Cattleya. Lalu setelah itu dilepaskannya. Teriakan Cattleya mendadak sirna.

Dava melirik ke sebelahnya, memastikan sesuatu. Cattleya menunduk seraya menatap miris jari telunjuknya.

Dava ingin tertawa, tetapi ia menjaga raut wajahnya agar tetap stay cool.

"Kenapa, Cey? Sakit? Kayaknya enggak terlalu kuat deh gigitnya," cibir Dava.

"Jorok tau! Ini ada bekas jigong Bapak! Mana tadi abis makan enggak gosok gigi lagi! Nyebelin pokoknya!"

Dava melepas tawanya. Kali ini ia tidak bisa menahannya lagi. Wajah Cattleya yang terlihat menyedihkan itu terlihat lucu. Dava menutup mulutnya, tapi tetap saja tawa itu semakin membuat Cattleya jengkel.

"Jigong saya wangi loh, Cey. Baru aja jari kamu yang saya gigit. Gimana kalau misalnya ci--"

"Stop! Jangan lanjutkan! Saya masih anak di bawah umur!" teriak Cattleya semakin heboh.

"Jika kamu lupa, umur kamu hanya berbeda tiga tahun dengan saya."

Cattleya mendecih. Sesaat lagi, pasti akan ada tayangan siraman rohani versi Dava.

"Kamu kenapa sih enggak lulus-lulus aja? Kam--"

"Ih, fokus aja sana nyetirnya. Aku enggak mau jadi janda!" cetus Cattleya jengkel. Ia tidak suka pembahasan kuliahnya malah dibawa-bawa. Lagian bukan salahnya jika belum lulus. Ia hanya kebanyakan cuti akibat magang sana-sini di restoran terkenal.

"Lah, kalau terjadi sesuatu mana mungkin saya doang yang mati, Cey? Kamu udah pasti ikut saya."

"Apa-apaan? Jangan ngomong sembarangan, tau! Saya beneran ini. Kalau pun terjadi sesuatu, saya yakin Bapak yang akan lebih dulu nolong saya, kan?"

Dava menarik napas pelan. Ia menoyor kepala Cattleya seolah itu bola yang hampir mengenainya.

"Sok tau kamu, Cey."

"Kalau tebakan saya benar, apa yang bakal saya dapat?" tantang Cattleya.

"Maksud kamu kita harus kecelakaan dulu baru tahu jawabannya?"

"Eih bukan gitu, tap-tapi ...."

"Kalaupun tebakan kamu salah, tidak akan mengubah apapun."

"Hah? Kenapa?"

Cattleya memandang suaminya yang mulai tampak serius.

"Kepo!"

"Ish! Nyebelin!"

Karena saya bukan hanya menolong kamu, tetapi juga memberikan seluruh hidup saya untuk kamu.

***
Tbc.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro