Saran Sesat untuk Jadi Penulis Hebat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenapa judulnya sesat? Soalnya penulisnya pun otaknya emang agak-agak sesat. Kalem aja. Aku bukan setan apalagi Kimi Hime dan para bintang Onlyfans yang menggoda iman.

Ini adalah catatanku selama aku bener-bener serius menekuni dunia kepenulisan sejak 2021. Lebih tepatnya setelah cerita si Abay terbit dalam bentuk buku. Aku sengaja bagiin tips ini sekaligus buat jadi pengingat diri sendiri biar gak jadi penulis sesat terus.

Setidaknya dengan belajar dari pengalaman, kita bisa mengubah status dari orang sesat menjadi orang hebat.

Mulai dari mana nih ye? Saran yang sesat ato saran yang bener? Mending kita mulai aja.

Persiapan Finansial itu Penting

Gak ada seorang penulis pun yang mau bilang rahasia ini ke temen-temen. Mari kita bicara pahitnya aja dulu.

Banyak orang di luar sana memberikan testimoni di media sosial/grup kalau mereka bisa dapat uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah dari menulis doang. Ada juga yang bisa membayar uang sekolah/kuliahnya sendiri dari donasi di Karyakarsa.

Denger ini makin terpicu "wah kalo orang lain juga bisa, kita juga bisa". Bisa kaya Da Wei nih! Duit perusahaan eh donasi dari temen-temen dipake buat ngehalu waifu/husbu.

Eits, jangan salah dulu. Gak semua orang bisa seperti itu.

Buktinya lebih banyak orang yang tidak bisa mendulang pundi-pundi uang hingga ratusan juta rupiah dari menulis saja.

Gak usah jauh-jauh, aku contohnya.

Masih banyak cerita lainnya yang tenggelam dalam grup penulis berbasis aplikasi. Salah satunya adalah seorang penjual bakso yang juga mutual deketku di grup aplikasi.

Iya. Penjual bakso. Soalnya beliau dari pagi sampe sore itu jualan bakso. Nulis pun sebagai selingan. Beliau sering tanya-tanya sama aku soal belajar menulis sama hal lain yang berhubungan dengan bisnis. Soalnya aku juga pengen dagang lagi. Apa salahnya minta tips dari pedagang yang udah lebih dulu sukses?

Beliau sama sepertiku. Pernah berada di titik frustasi karena pemasukan dari menulis seret. Sementara orang lain di grup selalu pamer pemasukan bulanan mereka yang minimal dapet lima juta/bulan jika dikonversi ke rupiah.

Apa frustasi mikirin duit? Ya. Pake banget. Makanya belakangan ini aku males nulis juga.

Buat temen-temen yang pengen serius jadi penulis, saranku cukup satu.

Kalo emang masih ngerintis, jangan lepasin pekerjaan/pemasukan utama gitu aja demi menulis.

Aku sih waktu itu mikir dengan berhenti kerja di pabrik makanan (dan pas banget waktu itu lockdown akibat Covid) lalu fokus total di nulis, aku bakal lebih menikmati pekerjaan. Soalnya dulu aku nulis itu pas pulang kerja. Itu pun malem banget. Ya itung-itung mancing diri sendiri biar cepet bisa tidur.

Apa aku sukses dan mendapatkan kebahagiaan yang kuinginkan? Tahunya salah besar.

Aku malah udah berapa kali dalam mode depresi hanya karena memikirkan masalah keuangan, tekanan keluarga secara tidak langsung, sama ide yang selalu tersendat di depan laptop.

Ingat. Gak ada penulis yang sukses dalam semalam. Bahkan ada penulis yang butuh 11 tahun agar sukses.

Itu artikel yang kemaren kubaca di Writer's Digest lho. Kasusnya menarik banget.

Ada seorang penulis yang baru sukses 11 tahun kemudian gara-gara TikTok. Itu pun karena anaknya yang mengunggah keseharian orang tuanya sebagai penulis di sana. Padahal karir beliau sebagai penulis itu kurang menjanjikan. Anaknya bersimpati dengan orang tuanya yang masih gigih mengejar mimpinya.

Jadi, persiapan finansial itu sangat penting buat penulis. Gak cuman buat makan hari ini, tapi juga untuk hal penting yang bakal kuomongin selanjutnya.

Penulis itu Kudu Punya Kehadiran

Gimana ada yang baca tulisan kita kalo kita sendiri gak mau nunjukin karya apalagi status kita sebagai penulis di hadapan orang lain?

Gara-gara sentilan salah satu temen satu grupku dulu, aku jadi ambil kelas digital marketing pas Prakerja kemaren. Aku belajar mulai dari copywriting, content marketing, sampe teknik untuk riset pasar. Biarpun hasilnya masih kurang memuaskan (soalnya aku sendiri ... ceritanya udah kujelasin di bab sebelumnya), setidaknya aku ada perkembangan.

Dulu pas aku masih aktif di IG, insight sama interaksinya bagus banget. Itu untuk ukuran akun kecil lho. Reach-nya sampe ke luar negeri. Minimal ada 10 like sehari. Share dan save juga lumayan.

Sayangnya aku berhenti karena waktu itu mikirnya "ah kalo ngonten bisa ngundang traffic pembaca sama cuan kayak content creator lain" terus ditampar dengan realita. Lagi-lagi karena masalah duit.

Asalnya kehadiranku di media sosial dan blog bagus ya memudar. Konsistensi untuk ngonten apalagi perbaharui isi blog semakin berkurang. Soalnya aku kalo di IG khusus penulis sih lebih condong ke microblogging yang isinya berbagi semua pelajaranku tentang menulis.

Kehadiran apalagi di era internet seperti sekarang itu sangat penting. Asal kita mau menunjukkan diri dan karya kita (tanpa mengabaikan privasi juga etika di dunia maya), insya Allah kita akan lebih dikenal. Pembaca pun akan berdatangan dengan sendirinya.

Kehadiran di sini bisa berarti kehadiran secara fisik di dunia nyata atau promosi di dunia maya. Semua itu butuh duit. Makanya tadi kubilang masalah finansial itu penting. Soalnya gimana bisa promosi kalo minimal kuota internet aja gak ada?

Ikuti Arus Kalau Emang Berorientasi Cuan

Aku jadi inget analogi yang pernah dikasih salah satu pengguna Quora. Dia menggunakan Isyana sebagai analogi untuk merintis karir.

Siapa sih yang gak kenal Isyana Sarasvati? Udah mah penyanyi, penulis lagu, tamatan S2 sekolah musik sebelum debut (dan ini serius), dan pernah jadi rebutan para kaum Adam di masanya lagi.

Orang awam sepertiku mengenalnya sebagai penyanyi pop biasa. Padahal aslinya ... dia itu penyanyi opera.

https://youtu.be/wmjhbSQ8UGA

Aku juga kaget pas pertama kali baca artikel di internet soal ini.

Kenapa orang itu menganalogikan karir seperti Isyana? Isyana menggunakan musik pop sebagai batu loncatan untuk memperkenalkan karyanya pada penggemar. Sekarang lebih bebas berekspresi sebagai seorang penyanyi dibandingkan dengan sebelumnya.

Isyana mengajariku cara untuk tetap bisa berekspresi biar terpatok dengan selera pasar. Sayangnya, aku masih belum menemukan niche yang nyaman bagiku untuk menulis sekaligus tetap disukai pembaca.

Ketika karya kita disukai banyak orang, otomatis itu menjadi ladang cuan bagi kita. Terkadang kita harus mengikuti pakem yang sudah ada alias pasar jika ingin karya kita lebih dikenal banyak orang. Seperti halnya Isyana saat pertama kali merintis sebagai penyanyi di negeri ini.

Jika kita sudah punya basis penggemar, mau berkarya apapun bisa.

Tulis yang Menurut Kita Nyaman

Kalo kita nyaman buat nulisnya, insya Allah ide bakal lancar terus. Kita juga gak bakal dihantui rasa bersalah di masa depan nanti.

Kenapa kudu menulis yang "menurut kita nyaman" dan bukan yang "kita inginkan" seperti kata kebanyakan penulis lainnya? Soalnya kita bakal lebih sering menulis di luar keinginan kita terlebih jika kita ingin mengikuti arus.

Misalkan bikin novel romance yang laris bak kacang goreng. Kita kudu ikutin pakem-pakem yang ada biar sukses. Masa iya nerbitin novel romance yaoi/yuri di penerbit mayor? Mau toko buku kesayangan disidak sama FPI terus dirujak netijen beramai-ramai?

Kenyamanan memang hal yang bisa dibilang underrated dalam menulis. Soalnya kalo kita udah nyaman, bawaannya bakalan enak.

Ide bakalan ngalir lebih lancar.

Kita gak terbebani sama proses menulisnya.

Kita bakal lebih cepet nyelesain naskah. Soalnya selalu termotivasi buat lanjut menulis tanpa harus dikasih dorongan dari luar.

Rasa nyaman sendiri bisa muncul dari kenyamanan pribadi.

Kalo untuk aku pribadi, kenyamanan menulis itu adalah tidak mengabaikan kata hati apalagi norma yang berlaku demi keuntungan semata.

Aku selalu percaya tulisan kita itu bisa jadi ladang amal jariyah atau dosa jariyah. Sebaik-baiknya tulisan itu kudu membawa manfaat. Minimal ya kepake jadi bungkus gorengan. Maksimal bisa menghibur apalagi menginspirasi orang lain.

Jika kita tidak nyaman menulis suatu hal, sebaiknya tinggalkan. Apalagi jika hal itu menyinggung masalah yang bersifat personal seperti trauma atau keyakinan kita. Mental kita sebagai penulis itu juga penting.

Bagaimana kita bisa memberikan tulisan terbaik jika mental kita sedang labil?

Kadang emosi mempengaruhi tulisan kita secara tidak sadar. Contohnya beberapa tulisanku sebelumnya yang kutulis pas lagi stres.

Itu sebabnya penulis profesional selalu menyarankan untuk mengesampingkan emosi dari tulisan kita. Jangan menulis kalo perasaan kita emang gak nyaman. 

Itu pelajaran keras yang kualami setelah sakit karena menulis cerita tentang toxic relationships. Aku sendiri bener-bener gak nyaman, sering kepicu, bahkan berujung sakit gara-gara ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro