5# Penolakan Kyai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh.
Happy baca semuanya.
Bantu jika ada typo.
Jazakillah Khair ❤️

Masih diperkenankan buat yang mau spam koment. Malah saya suka bacain komen-komen pembaca semua. Suka balasin juga kok. 😅

🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃
🍃

Segala sesuatu yang terjadi di atas muka bumi ini sudah menjadi kehendak-Nya.
Qodarullah wa masya'afaala

Allah menghendaki apapun sesuai dengan apa yang Dia mau.

Bahkan daun yang jatuh terhempas angin saja sudah tercatat di Arasy-Nya.

Pun dengan kejadian yang Aksa alami. Takdir yang membawa ke tempat ini. Pertemuan dengan Pak Kyai dan Rania. Lalu, rasa yang mengalun indah di lubuk hati Aksa. Semua itu sudah menjadi jalan Rabb-nya.

"Jika Kak Aksa sungguh-sungguh, datang dan sampaikan niat Kak Aksa pada Abbah."

Kalimat Rania masih terus terngiang di telinga Aksa. Hari ketiga Aksa bertahan di pesantren ini. Tinggal di paviliun dan diberi pekerjaan sebagai sopir oleh Pak Kyai.
Aksa menimbang-nimbang, apakah niatnya menyampaikan niat melamar Rania, bukan suatu tindakan yang sangat kurang ajar?

Aksa juga memikirkan hal lain, jika dia menikah, sudah pasti tanggung jawabnya bertambah. Menafkahi istri salah satunya. Sedang saat ini pekerjaan tetap saja belum ada. Aksa masih kuliah di semester empat. Selama ini ayah yang membiayai kuliah. Uang jajan Aksa cari sendiri dengan cara menjual kreativitas menjadi desain grafis. Ada saja orang atau teman yang memesan jasa Aksa. Entah ingin dibuatkan logo, atau desain lainnya.

"Kang Aksa, dipanggil Abbah Kyai." Gufron datang dan langsung masuk ke dalam paviliun yang memang terbuka pintunya. Sejak malam itu di rumah sakit, panggilan Gufron berubah jadi 'kang' pada Aksa.

Aksa yang sedang berbaring di lantai beralas tikar, sontak berdiri mendapat kabar dari Gufron. Bergegas melangkah ke ndalem menemui Kyai Bisri.

"Assalamualaikum Kyai ...," ucap Aksa ketika sudah berdiri di ruang utama ndalem. Aksa perhatikan Kyai duduk di kursi kayu, kedua tangannya memegang sebuah kitab.

"Wa'alaikumussalam, duduklah Aksa!" Titah Kyai.

Aksa duduk di karpet, takdzim dan adabnya seperti seorang santri yang menghormati Kyai-nya.

"Kata Gufron, Pak Kyai memanggil saya?"

Kyai angut-angut, "Iya benar. Ini sudah hari keempat kamu di sini. Saya senang, kamu di sini rajin, salat tidak pernah tertinggal jamaah. Ngaji juga selalu datang terdepan. Yang jadi angan-angan saya, bagaimana keluarga kamu di Surabaya? Saya rasa mereka saat ini sedang mencemaskan kamu, Aksa."

"Iya Pak Kyai, saya juga kepikiran tentang itu. Tapi saya tidak hapal nomer telpon rumah, atau orangtua saya."

"Sudah saatnya kamu kembali Aksa. Pulanglah, sudah cukup keberadaanmu di sini. Pulang dan minta maaflah pada ayahmu, terutama ibumu."

Aksa mencelos dengan kalimat Pak Kyai. Rasanya semakin hari, Aksa semakin enggan berpaling dari tempat ini. Rania salah satu yang menjadi alasan, selain karena di sini Aksa merasa jauh lebih tenang.

"Ba-ik Kyai. Tetapi sebelum pergi, saya ingin menyampaikan satu hal pada Pak Kyai." Aksa sudah beberapa hari mengumpulkan keberanian. Ini saatnya dia jujur di depan abbahnya Rania m, bahwa dia mencintai putri tunggal Pak Kyai tersebut.

"Katakan, Aksa!"

Aksa mengaitkan genggaman tangannya guna menekan rasa takut, batinnya merapal bismillah sebelum mulai berucap, "Maafkan saya kalau apa yang saya katakan ini akan membuat marah Pak Kyai. Mungkin saya lancang, tidak tahu diri dan kurang ajar. Namun saya tidak bisa membohongi perasaan kalau saya menyimpan rasa cinta pada Rania. Saya ingin melamar Rania, Kyai." Aksa menahan napas saat mengatakan tentang perasaannya pada Kyai. Hening sesaat. Tidak ada balasan dari Kyai. Aksa tundukkan wajahnya. Dia siap dengan segala resiko yang akan didulang karena kelancangannya.

"Sudah saya duga." Kalimat pertama Kyai, setelah hening sesaat. "Saya tidak menyangka kalau kamu sangat berani sekali, Aksa. Lancang mencintai Rania, putriku. Rania itu ibarat permata, dia sangat terjaga, suci, Sholehah dan berbakti. Sedangkan kamu," ucapan Pak Kyai seperti hardikan buat Aksa. Layaknya tamparan tepat di wajahnya saat ini. Dari ekor matanya, Aksa menangkap sekilas kalau Kyai mengupas pandangan padanya dari kaki sampai ujung kepala.

"Maafkan saya Kyai. Saya memang sangat lancang. Tapi itulah kenyataannya, saya hanya berusaha jujur."

"Aksa, kamu dengar ya. Sebagai ayahnya Rania, saya tidak akan sembarang menyerahkan dia pada seorang laki-laki. Kalaupun menikahkan dia, saya akan memilihkan jodoh yang sekufu. Bukan seperti kamu."

Aksa sadar diri. Meski pahit, namun berusaha menelan kenyataan.

"Sudah. Lebih baik kamu cepat berkemas. Kembalilah ke kotamu. Tentang Rania, saya sudah pernah bilang kalau saya sedang mencarikan jodoh untuknya. Tunggu saja, setelah ini Rania akan menikah dengan Gus Ammar. Salah satu putra sahabat saya. Pengasuh pondok di kota Gresik. Kamu harus kubur anganmu itu dalam-dalam Aksa. Perbaiki diri saja dulu. Jangan memikirkan yang lain."

Aksa sudah tidak punya nyali untuk membalas kalimat Kyai. Dia cukup tahu diri. Aksa pamit undur diri, sebelum itu dia ingin mencium tangan Kyai, namun tidak digubris.

Aksa melangkah meninggalkan paviliun. Uang yang kemarin dari Kyai, masih utuh, dia gunakan sebagai ongkos pulang. Baju Aksa bawa yang terpakai di badan, selebihnya dia tinggal karena dalam hati punya keyakinan bahwa suatu saat akan kembali ke tempat ini lagi.

Gufron mengantar ke terminal Pacitan. Meski sudah menolak dengan dalih tidak mau merepotkan, tapi Gufron tetap memaksa. Mengendari motor membonceng Aksa ke terminal yang jaraknya hampir satu jam. Aksa ucapkan banyak terima kasih, selama di pesantren Gufron sudah banyak membantunya.

Sebagai kenang-kenangan laki-laki berbadan gempal itu menyerahkan satu bungkusan pada Aksa. Aksa yang penasaran membuka plastik tersebut, ternyata sarung yang masih baru, labelnya masih menempel. Selain itu ada satu buah tasbih yang terbuat dari kayu gaharu. Aksa terharu, mendapat banyak pengalaman, dan juga sahabat baru seperti Gufron.

Sebelum membeli tiket dan menaiki bus yang akan membawanya ke Surabaya, Aksa sempatkan mampir di warung makan tenda yang ada di sekitaran terminal. Perutnya terasa perih, apalagi nanti perjalanan dari Pacitan menuju terminal Purabaya Surabaya akan memakan waktu sekitar empat jam lebih. Aksa memesan satu porsi nasi pecel ayam, serta satu gelas teh hangat.

Jam lima sore, bus yang Aksa tumpangi berangkat dari terminal Pacitan. Aksa berusaha pejamkan mata saat perjalan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kalimat-kalimat Kyai terus saja berputar di kepalanya.
Aksa tidak menyesal sama sekali telah mengakui jujur di depan Kyai dan Rania. Dia tidak ingin jadi pecundang, yang hanya diam memendam perasaan tapi tak mau mengutarakan.

***

Pukul 23.30. Malam senduh, dingin mencekam berbalut hening.
Di langit pancaran sang rembulan sayup-sayup menyamarkan gelap.
ibu Aksa baru selesai tahajud, setelah terlelap sejenak bakda isya tadi. Lama ibu terdiam dalam sujud. Usai salam, kedua tangan angkat tasbih, memutarnya dengan takdzim. Tidak terasa air mengalir di kedua pipi ibu.
Dalam hening ibu Aksa bermunajat untuk keselamatan putranya.

Rumah Aksa terbilang megah, namun sunyi yang mendominasi. Pulang kantor ayah biasanya akan istirahat di ruang kerjanya, tidak mau diganggu siapapun. Ibu akan bawakan teh hangat, setelah itu menutup kembali pintu kamar yang dijadikan perpustakaan mini serta ruang pribadi ayah.

Komunikasi sangat jarang. Tidak pernah terlihat layaknya keluarga lain yang banyak habiskan waktu dengan berkumpul, sekadar ngobrol atau menonton acara televisi bersama. Selalu seperti ini setiap hari. Bakda magrib ibu akan siapkan makan malam. Semua makan dalam suasana hening, hanya denting sendok beradu dengan piring keramik yang terdengar. Aksa bahkan tidak pernah terlihat duduk di meja makan. Dia benci suasana dingin.
Belum lagi setiap satu Minggu sekali ayah selalu pergi ke luar kota. Aksa sendiri tidak tahu apa memang pekerja kantoran itu sangat sibuk sekali. Sampai-sampai tidak punya waktu untuk anak dan istrinya.

Aksa pandangi lampu yang masih menyala terang. Pagar besi juga tidak digembok, hanya diselot saja. Usai membayar ojek yang ditumpangi dari terminal Purabaya, Aksa bergegas membuka pintu pagar. Dadanya berdegub kencang saat ingin bertemu ibu. Padahal dulu tidak pernah acuh dengan ibu.

Lepas sepatu, Aksa ketuk pintu perlahan disertai salam. Suara ketipak langkah dari dalam, sejurus bunyi anak kunci diputar te dengar telinga Aksa.

"Wa'alaikumussalam, Aksa." Ibu berdiri masih dengan mukena di badan. Mata Aksa pandang wajah ibu yang teduh. Sebesar dan sesering apapun kesalahan anaknya, ibu selalu mempunyai beribu maaf dan memberi ruang di hati untuk kembali.
Aksa merasa jadi anak durhaka selama ini.
Aksa langsung terduduk, rangkul kaki ibu sembari terisak. Ibu sampai tertegun dengan polah anaknya. "Aksa, kamu kenapa Nak?" Tanya ibu berusaha bangunkan Aksa.

"Bu, maafin Aksa. Selama ini sudah banyak sekali kecewain ibu. Sudah banyak dosa sama ibu, selalu membantah, tidak pernah dengarkan nasehat ibu. Aksa menyesal, Bu." Aksa berkali-kali ciumi kaki ibu sebagai tanda penebus rasa bersalah. Mata ibu berlinang saksikan putranya untuk pertama kali mengucapkan kata maaf.

Tangan ibu usap lembut rambut Aksa, "Sudah Nak, bangun. Ibu tidak pernah marah sama Aksa. Bagi ibu, Aksa tetap anak yang terbaik, buah hati ini, kesayangan ibu," ucap Ibu terisak.

Aksa bangkit, langsung memeluk ibu dengan erat. Hening. Sesekali terdengar suara susutan dari hidung ibu.

"Maafin Aksa, Bu." Lagi, Aksa masih terus mengucap kata maaf pada ibu.

"Alhamdulillah Ya Allah, Aksa-nya ibu sudah kembali, ibu sangat bersyukur. Kamu jangan perg lagii tanpa pamit. Siang malam ibu cemas dan khawatir, tidak tahu kamu ada di mana. Ibu sudah telpon Zidan, katanya dia juga tidak tahu Aksa ada di mana." Aksa lihat sorot cemas masih nampak di kedua mata ibu. Tangan Aksa terulur hapus air yang menggenang di kedua mata ibu.

"Maafin Aksa ya, Bu."

"Ibu sudah maafkan, Nak. Ayo masuk, ibu sudah masak banyak tadi sore. Ibu punya firasat kalau kamu akan pulang hari ini, ternyata benar. Ayo masuk dan makanlah yang banyak. Badan kamu kurusan begini, ibu tidak suka lihatnya."

"Apa ayah sudah tidur, Bu?" Aksa khawatir jika keberadaan-nya kali ini akan memantik amarah ayah lagi. Masih tercetak lekat di benak Aksa tamparan ayah kalau dia pulang terlalu larut. Atau saat gaduh minta dibukakan pintu, ayah tak segan sabetkan gespernya ke badan Aksa. Biasanya ibu cuma bisa menangis melihat Aksa diperlakukan begitu oleh ayah.

"Ayah tidak ada di rumah, dia keluar kota tiga hari. Sejak kemarin ibu sendirian."

Aksa masuk beriringan dengan ibu. Sepanjang langkah, Aksa tidak lepaskan rangkaian tangannya yang menaut pada ibu. Aksa duduk di meja makan. Ibu buka Tidung saji, Aksa langsung menghidu bau harum masakan ibu. Balado cumi dan dendeng ayam, kesukaan Aksa. Ibu ambilkan nasi dari rice cooker. Masih kepulkan asap. Sejurus buatkan teh hangat untuk putranya.

"Makan yang banyak, Nak. Ibu masak semuanya buat kamu."

"Bu, terima kasih." Untuk kali pertama Aksa tatap ibu dengan pancaran cinta di matanya. Ibu duduk di kursi sebelah Aksa. Mereka banyak bercerita. Terutama Aksa, dia ceritakan semua kejadian yang dialami sampai membawanya ke pondok pesantren dan bertemu Kyai. Sesekali Aksa menyuapi ibu dari tangannya. Suapan pertama yang ibu terima.

"Bu, Aksa janji sama ibu, setelah ini bakal lebih serius belajar, ga akan bolos kuliah lagi. Aksa mau jadi dokter, seperti harapan ibu."

"Alhamdulillah, ibu senang dengarnya. Doa ibu selalu menyertai Aksa."

"Tapi Bu, sebenarnya ada satu hal yang ingin Aksa sampaikan." Aksa teringat niatnya melamar Rania. Meski gagal dan ditolak Kyai. Aksa ingin membaginya pada ibu. Dia lanjutkan cerita tentang Rania pada ibu. Semua diceritakan, tidak ada yang dilebihkan atau ditutupi. Ibu tersenyum mendengar ungkapan Aksa. Rupanya anak laki-laki-nya sudah dewasa dan berpikir jauh.

"Kamu mencintainya?"

Aksa mengangguk, "Iya, Bu. Apa salah kalau Aksa mencintai Rania, Bu? Apa memang Aksa tidak pantas untuknya?"

Ibu mengelus pundak Aksa, "Tentu saja tidak ada yang salah, Nak. Aksa sangat pantas untuknya. Ibu yakin itu. Hanya mungkin Allah belum ijinkan Aksa bersanding dengan Rania. Sabar dan terus tawakal ya. Ibu dukung Aksa, teruslah berjuang. Kalau pun jodoh, nantinya tidak akan kemana."

Aksa bersyukur tidak terlambat menyadari kesalahannya. Dilihatnya wajah teduh ibu sekarang kedua matanya memancarkan binar ceria. Tidak murung seperti sebelum ini.
***

Kalianda. Festival pasar malam. Suasana ramai lalu-lalang orang-orang yang sekadar berkunjung atau menjajakan dagangannya.

Sayyi duduk di salah satu warung bakso yang ada di pasar malam. Di seberangnya ada Adnan yang membawa serta adiknya, Andini.
Memesan tiga gelas teh hangat, sembari menunggu bakso dihidangkan.

Adnan ingin berbicara serius pada Sayyi. Saat mendapat kabar bahwa Sayyi sedang membantu ibunya yang juga membuka warung tenda di pasar malam ini, Adnan sempatkan datang ke sini.

"Jadi, bagaimana Dik? Apa jawaban kamu?"

Sayyi menunduk dalam-dalam mendengar kalimat menuntut jawaban dari Adnan. Gadis itu sedang dirundung bingung.

Bersanding dengan orang yang dicintai, siapa yang tidak mau. Pun dengan Sayyi. Salah satu impiannya adalah menikah dan hidup bersama dengan lelaki yang menyimpan perasaan sama dengannya. Namun apa lacur, jika ibunya Sayyi belum merestui untuk saat ini.

Sayyi sudah katakan bahwa Adnan akan datang melamar dalam waktu dekat. Ekspresi ibu biasa saja saat mendengar kalimat Sayyi. Di luar perkiraan, Sayyi kira ibu akan gegap gempita menyambut baik niat yang baik. Nyatanya salah. Ibu setengah meradang mengatakan kalau Sayyi harus melanjutkan kuliah kebidanan. Sudah mendaftar mahal, ibu tidak mau kalau Sayyi sia-siakan kesempatan. Padahal untuk mendaftar, ibu mencari pinjaman ke sana-sini. Padahal Sayyi sudah berjanji pada Adnan bahwa ibu pasti akan merestui.

"Dik, kenapa diam? Katakan, apa Dik Sayyi siap kalau saya datang bersama ibu untuk melamar Adik?" Adnan masih terus bertanya. "Dik Sayyi tidak usah khawatir soal penghasilan. Alhamdulillah, saya sudah punya tabungan, insya cukup untuk kita memulai hidup bersama nanti."

Sayyi ingin menangis rasanya mendengar semua ketulusan Adnan.
Senandung lirih malam ini terasa menyayat hati Sayyi. Ramai suasana terasa sepi di hati. Hasrat yang telah lama, kini menjadi buncah, sisakan setitik keteguhan hati. Gerimis menyapa. Titik-titiknya menebarkan hamparan mimbar yang berpelipur lirih. Merintih. Perasaan Sayyi terhempas oleh kalimat sanggahannya sendiri.

°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro