7# Tekad

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aksa melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Jalan lumayan lengang, bakda salat Jumat para karyawan atau pekerja kantoran sudah kembali masing-masing.

Satu-satunya tempat yang terlintas di pikiran Aksa hanya rumah Zidan. Kembali ke sana, Zidan sampai dibuat bingung dengan ekspresi Aksa yang bersungut-sungut.

Zidan memberinya segelas air putih, lalu membiarkan Aksa sendirian di kamarnya, agar lebih tenang dan berpikir jernih.

"Apa rencana Lo setelah ini?" Tanya Zidan saat kembali ke kamar. Dilihatnya Aksa sudah agak tenang daripada tadi.

"Gue ga tau. Gue benci banget sama ayah. Bisa-bisanya dia menduakan ibu."

"Jangan benci berlebihan. Mungkin ayah Lo punya alasan tersendiri kenapa harus menikah lagi."

"Apapun alasannya, dia itu munafik. Apa kurangnya ibu, selama ini ibu sudah sangat baik, patuh, tidak pernah membantah, sabar. Memang kelakuan ayah saja yang bejat."

"Hati-hati kalau bicara. Biar begitu beliau tetap ayah Lo sampai kapanpun."

"Gue ga peduli!

"Mendingan Lo pulang, Sa! Bukannya kemarin udah janji sama ibu, kalau ga bakal ngilang lagi tanpa kabar. Harusnya Lo sekarang ada di sisinya. Nguatin dia yang mungkin aja sedang dalam keadaan kurang baik." Nasihat Zidan ada benarnya. Aksa termenung memikirkan semua kalimat Zidan.

Pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumah. Ibu adalah satu-satunya alasan Aksa ingin berada di rumah lagi. Tentang ayah dan istri barunya, Aksa sama sekali tidak peduli. Entah bagaimana nanti saat bertemu, Aksa tidak berpikiran ingin bicara apapun pada mereka.

"Aksa." Ibu langsung menghambur memeluk putranya. "Kamu sudah janji sama ibu, kenapa sekarang dilanggar?" Protes ibu menepuk-nepuk kecil pundak Aksa.

"Maafin Aksa, Bu. Aksa khilaf sudah buat ibu kecewa lagi." Tunduk Aksa tak berani tatap mata ibu. Ibu gelengkan kepala.

"Ibu tidak kecewa Nak. Hanya takut kamu tidak akan pulang lagi, atau pergi lama lagi seperti waktu itu. Kepada siapa lagi ibu akan menggantungkan perasaan. Saat ini ibu hanya punya Aksa. Meski ada ayah, tapi ibu tidak boleh egois, kan? Ada Dinar dan putrinya yang jauh membutuhkan ayah saat ini."

Aksa bisa tangkap sorot mata kekecewaan di mata ibu. Meski ditutupi dengan senyum tipis, tetap hati Aksa ikut nyeri saksikan ibu harus merelakan suaminya menikah lagi. Apalagi ayah membawa istri barunya serta anak mereka ke rumah ini. Pasti perasaan ibu sangat sakit, Aksa bisa tebak itu. Aksa angkat wajahnya memandang langit-langit plavon yang berwarna putih. Sengaja dia lakukan untuk menghalau cairan bening yang memenuhi pelupuk mata.

"Bu, kita pergi saja dari sini," cetus Aksa. Ibu menggeleng lagi.

"Buat apa Nak. Jangan lakukan itu, kamu harus bisa berpikir lebih dewasa. Kalau kita pergi, tidak ada untungnya juga. Kita akan tinggal di mana? Lalu kuliah kamu gimana? Ibu maunya kamu kuliah sampai lulus, sampai jadi dokter yang hebat."

"Tapi ayah---"

"Lupakan soal ayah yang menikah lagi. Kamu tidak boleh menghakimi secara sepihak, padahal belum dengarkan penjelasan ayah. Sa, yang harus kamu tahu, ibu Dinar itu orang baik. Ibu yang menjodohkan dia dengan ayah." Ucapan ibu membuat Aksa tercengang. Bibirnya kelu karena kaget. Tapi kenapa ibu harus melakukan itu.

"Maksud ibu?"

"Iya Nak, ibu yang meminta ayah menikah lagi dengan ibu Dinar. Nanti suatu saat kamu akan paham, Aksa. Sekarang yang harus kamu lakukan cuma satu, berubah jadi lebih baik, rajin kuliah sampai lulus. Buat ibu bangga padamu, Nak." Kali ini ibu titikkan airmata. Aksa ikut berkaca. Dia raih kedua tangan ibu, kemudian mengecupnya berulang kali.

"Doain Aksa ya, Bu."

"Pasti Nak. Tanpa diminta ibu selalu doakan anak ibu setiap saat."
****

Aksa memulai pagi dengan harapan baru. Pagi-pagi bakda subuh dia sudah turun ke jalan, sengaja ke rumah Zidan, lalu rencananya ingin registrasi ulang ke kampus. Dia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa harus bisa mewujudkan semua harapan ibu. Satu-satunya tumpuan hidupnya sekarang ini.

Membicarakan tentang tujuan hidup, Aksa tidak akan pernah lupa dengan Rania. Dalam diam Aksa kerap bayangkan, sedang apa Rania di sana. Apa gadis itu juga sama, masih mengingatnya sampai sekarang.

Di rumah Zidan, Aksa dipersilakan masuk oleh ibunya Zidan. Aksa langsung naik ke lantai dua, letak kamar Zidan berada. Rupanya Zidan masih belum selesai mandi, dan Aksa hempaskan tubuhnya ke ranjang Zidan. Membayangkan jika saat ini dia ada di pesantren tempat Rania.

"Ngelamun aja Lo!" Tegur Zidan saat keluar dari kamar mandi. Lelaki itu berkalung handuk dan menuju depan lemari pakaian.

"Kepikiran Rania, gue."

"Lamar aja sono! Daripada dipikirin terus, zina pikiran woy!"

"Ga segampang itu, Dan."

"Nggak ada yang susah kalau Lo mau angkat tangan, minta sama yang di Atas."

Aksa paham apa yang dimaksud Zidan. Bukan tidak pernah, malah sejak pulang dari pesantren, Aksa rajin berdoa setiap selesai salat fardhu. Salah satu doanya ingin sekali bertemu kembali dengan Rania. Kalau Allah ijinkan, malah dia ingin berjodoh dengan putri Pak Kyai te sebut.

"Apa gue pantas, Dan?"

"Sangat pantas, Sa. Setiap manusia itu pantas dan berhak mendapat kesempatan. Apalagi sekarang Lo mau berubah jadi lebih baik."

"Tapi dia anak Pak Kyai. Sedang gu?" Aksa tunjuk dirinya sendiri.

"Emang kenapa? Jodoh itu ga kenal kasta, harta atau keturunan Sa. Yang penting seiman dan saling cinta."

"Gue cinta, tapi dianya gimana, gue ga tau." Aksa menyendu. Zidan terbahak. Baru kali ini melihat Aksa seperti abege labil korban budak cinta.

Usai bersiap Zidan langsung mengajak Aksa segera berangkat. Pamit pada ibu Zidan, dan melengang ke kampus. Tidak terlalu sulit, Aksa sudah berhasil mendaftar ulang di fakultas yang sama dengan Zidan. Mulai besok dia akan aktif mengikuti lagi perkuliahan. Tentunya nasihat Zidan tidak tertinggal bahwa Aksi tidak boleh lagi bolos kuliah dan tidak lulus mata kuliah. Dia harus berjanji dan mereka akan lulus serta wisuda bersama nanti.
***

"Aksa, buka pintunya. Ayah ingin bicara sesuatu."

Ketukan suara pintu menggema. Usai dari kampus Aksa langsung pulang, seperti janjinya pada ibu. Tidak pergi main atau nongkrong dulu. Aksa kenal suara di luar kamarnya. Itu suara ayah. Yang jadi pertanyaan, untuk apa ayah menemuinya. Biasanya juga tidak pernah. Malah hampir seumur hidupnya sampai saat ini, ayah belum pernah mengajaknya berbicara serius berdua.

Aksa tetap membuka pintu, meski tanpa sahutan kata. Dia buka pintu lebar-lebar. Ayah masuk, duduk di sofa tunggal yang ada di depan jendela kamar.

"Kemarilah! Duduk di sini, ada yang ingin ayah bicarakan."

Melangkah dengan enggan, Aksa turuti permintaan ayah.

"Maafkan ayah, Aksa."

Untuk pertama kali Aksa mendengar kalimat maaf terucap dari bibir ayah. Entah, dia harus senang atau biasa saja.

"Ayah tahu sudah banyak sekali berbuat kasar padamu. Ayah juga tahu pasti kamu sangat membenci ayah."

"Tidak usah banyak basa-basi. Apa mau ayah?!" Sinis Aksa.

"Ayah sudah mendengar semua cerita dari ibumu. Ayah senang atas perubahan sikapmu. Tetaplah seperti ini Aksa. Jangan hilangkan senyum di wajah ibumu." Kalimat ayah mendapat hujatan Aksa dalam hati. Bagaimana bisa berkata jangan hilangkan senyum di wajah ibu, sedang ayah malah menikahi perempuan lain dan membawanya ke rumah ini.

Aksa tersenyum miring. Senyum sinis lebih tepatnya, "Tidak usah sok peduli dengan keadaan ibu."

Ayah tersenyum tipis. Senyum pertama yang Aksa lihat di wajah yang mulai dihiasi sedikit keriput tersebut.

"Ibumu juga cerita kalau saat ini kamu sudah memiliki perempuan pilihan. Apa itu artinya kamu mau menikah?"

Aksa salah tingkah. Tidak menyangka kalau ibu akan bercerita semuanya pada ayah. Dia pilih diam saja, karena tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan ayah.

"Aksa, ayah juga pernah muda, ayah paham apa yang sedang kamu rasakan. Pesan ayah cuma satu, kalau kamu sudah yakin dan serius, lebih baik cepat lamar dan menikah saja. Jangan sampai ada sesal di belakang karena menunda niat baik. Ayah akan datang melamar kan gadis itu untukmu." Kalimat ayah membius Aksa. Kenapa laki-laki tua itu jadi sok bijak sekali. Bukannya selama ini dia bersikap seolah Dementor yang selalu menghisap aura dari Aksa. Seakan tak membiarkan Aksa untuk tertawa meski sebentar saja. Hanya caci dan murka yang selalu ditampilkan. "Pikirkan nasihat ayah baik-baik. Ayah tidak ada maksud apapun. Ayah juga tidak sedang mengemis simpati padamu. Ayah hanya bersikap layaknya seorang ayah pada anak laki-lakinya yang telah dewasa." Ayah melangkah keluar kamar Aksa usai menyudahi kalimatnya.

Aksa membanting tubuh ke atas tempat tidur, pikirannya melayang memikirkan semua kalimat ayah. Ada benarnya juga kata-kata ayah. Aksa sangat yakin bahwa apa yang dirasakan pada Rania ada cinta. Tetapi dia tidak punya cukup keberanian untuk melangkah lebih jauh.
***

Aksa senang hubungannya dengan ayah agak membaik, ya walau belum bisa dikatakan benar-benar baik layaknya hubungan anak dan ayah, tapi setidaknya mereka mulai saling bertegur sapa. Aksa juga sudah tidak terlalu terpikirkan dengan keberadaan Bu Dinar. Apalagi Ashila, anak kecil yang baru berusia satu tahun lebih itu tiba-tiba jadi lengket dengan Aksa.

Aksa juga terngiang lagi nasihat ibu, bahwa Aksa harus memperjuangkan apa yang telah diyakini, daripada menyesal di belakang. Ibu sangat mendukung jika Aksa ingin melamar Rania. Ibu juga menyuruh Aksa untuk sekali lagi berkunjung ke pesantren dan mengutarakan niatnya pada Kyai. Siapa tahu Kyai telah berubah pikiran melihat kegigihannya.

Aksa berdiri di sisi pesantren. Di bawah rindang pohon asem yang dulu pernah dia singgahi. Diamatinya gerbang pesantren yang terbuat dari besi, serta papan nama yang ukurannya terbuat dari kayu tebal.

Angin sesekali terpa wajah Aksa, hempaskan anak rambut. Aksa didera putus-asa. Tadi sudah coba meminta ijin untuk masuk, ternyata Aksa tidak diperbolehkan.

"Abah Kyai lagi ada tamu penting dari  luar kota, Kang. Pesannya kalau ada yang datang untuk ketemu disuruh nolak dulu."

"Apa ga bisa Guf? Sebentar saja saya ingin menyampaikan perihal, kedatangan ke sini."

Gufron menggelengkan kepala. Lelaki itu datang menemui Aksa setelah tahu kalau dia kembali ada di sini. Gufron juga tidak datang dengan tangan kosong. Segelas teh hangat dan satu piring pisang goreng masih panas turut dibawa. Gufron temani Aksa berbincang di bawah rindang pohon asem.

"Mending sampean pulang saja Kang. Abah Kyai sudah bilang katanya tidak mau ketemu sama Kang Aksa lagi." Kalimat Gufron membuat Aksa gusar.

"Baik Guf, saya akan pulang, tapi sebelum itu boleh kan kalau saya numpang salat Zuhur sebentar di masjid pesantren?" Aksa telah memikirkan berbagai cara untuk bisa bertemu Kyai. Namun seperti sengaja menghindar, Kyai bahkan sudah tahu perihal kedatangannya, lantas menugaskan Gufron untuk menghadang langkahnya.

"Tapi janji ya Kang, setelah itu langsung pergi?"

"Insya Allah," jawab Aksa.

Aksa benar-benar melaksanakan salat Zuhur di masjid. Sepi. Hanya ada beberapa santri yang duduk di pojokan masjid dan takdzim mengeja hapalannya. Usai salam, Aksa menoleh ke arah pintu. Di tebir masjid tadi Gufron duduk dan menunggunya. Tapi netra Aksa tidak mendapati laki-laki itu.

Merapal basmalah, Aksa beranikan diri langkahkan kaki menuju ndalem. Sudah kepalang basah, mumpung di sini dia akan utarakan sekali lagi niat sucinya. Aksa ayunkan kaki dengan terus membaca alfatihah. Sampai di pintu utama, memang benar apa yang dikatakan Gufron, jika Kyai sedang menemui tamu. Seorang Gus yang tadi Aksa dengar dari cerita Gufron.

"Saya benar-benar minta maaf Abah Kyai. Saya tidak mungkin menikahi Ning Rania, Abah sudah lihat sendiri, saya sudah beristri. Bukan saya ingin mendustai syariat-Nya. Hanya saya ingin menjadikan Dik Aisyah layaknya Fatimah bagi Ali, yang hanya satu-satunya istri bagi Ali, semasa hidup Fatimah. Juga seperti Rasulullah yang hanya menjadikan Ibunda Khadijah satu-satunya istri saat beliau hidup."

Sayup-sayup di balik pintu Aksa dengar suara seorang laki-laki. Hati Aksa mencelos. Berarti Kyai tidak main-main dengan ucapannya waktu itu bahwa akan mencarikan jodoh untuk Rania.

"Abah cukup Bah. Maafkan Rania kalau tidak sopan, tapi Rania merasa Abah sudah sangat keterlaluan. Abah memaksa Kak Ammar untuk menikahi Rania, padahal beliau sudah beristri Aisyah. Sungguh, Wallahi Rania tidak akan menerima sampai kapanpun Bah. Rania memang ingin menikah, tapi tidak dengan mengorbankan perasaan wanita lain."

Kali ini Aksa mendengar suara Rania. Suara lembut yang masih sama, hanya kini suara itu melemah. Ada serak menghiasi. Aksa sudah tidak peduli dengan aral rintangan. Tekadnya sudah bulat. Tidak mau menunggu lagi, dia beranikan diri masuk ke aula ndalem.

"Kyai, saya mohon, ijinkan saya menikahi Rania. Demi Allah saya sangat mencintai Rania. Saya berjanji akan berusaha membuat Rania bahagia." aksa bersimpuh di depan Kyai Bisri. Semua mata menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Termasuk Rania. Terkejut sudah pasti. Aksa bisa melihat sorot mata Rania yang sedikit membasah. Tak lama air menitik dari sana.

"Kyai, saya bersungguh-sungguh ingin menikahi Rania," ucap Aksa sekali lagi mengulang kalimatnya.

°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro