8# Duka Sedalam Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Saya hadir lagi di sini.
Semoga masih ada yang sabar menunggu.

Terima kasih untuk yang selalu kasih support dengan memberi vote dan koment.
Terima kasih juga saya ucapkan untuk yang selalu membantu koreksi jika ada typo atau salah.

Happy baca semuanya.
Semoga suka.❤️
**********************************

"Tolong Kyai, ijinkan saya menikahi Rania. Wallahi saya mencintai Rania tulus sepenuh hati. Maafkan saya kalau sudah kurang ajar pada Kyai." Aksa sudah tidak ingin lagi menahan segala sebah yang beberapa waktu ini memenuhi hati. Bagaimanapun juga niat baik harus disampaikan dengan baik. Aksa cuma ingat pesan ibu, bahwa niat yang tulus akan menemukan jalannya sendiri. Aksa hanya bermodal keyakinan hati.

"Bah, Rania mohon restui pinangan Mas Aksa. Rania yakin kalau Mas Aksa orang baik. Abah juga pasti sudah tahu tentang itu. Sudahlah Bah, tidak usah terlalu mendamba bulan, kalau nyatanya Rania ini hanya serpihan daun yang terombang-ambing oleh angin. Hanya tinggal menunggu waktu, daun ini akan gugur, menyentuh tanah." Rania terisak. Duduk di kursi roda, wajah pasinya terlihat semakin memucat.

Aksa tertegun dengan kalimat Rania. Kedua mata ikut mengembun, hampir tumpah buliran bening. Lebih dari itu, di tempat ini Aksa juga dipertemukan kembali dengan seseorang yang pernah hadir di masa lalu. Gadis yang duduk di seberang Kyai, Aksa kenal betul dengan wajahnya. Walau saat ini penampilannya sangat berubah 180 derajat.

"Afwan Abah, bukan saya mau ikut campur atau menyela pembicaraan Abah, tapi sebagai seorang anak, bukankah sudah kewajiban saya harus meluruskan sesuatu yang salah.
Abah pasti sudah tahu tentang salah satu riwayat hadits, Rasulullah SAW berpesan, 'Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian mampu menikah, maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi yang paling pribadi,'' (HR Bukhari dan Muslim).

Aksa cuma berharap, kalimat Gus Ammar dapat meluluhkan hati Kyai, hingga beliau mau menerima lamarannya untuk Rania. Dilihatnya Kyai Bisri hanya anggukan kepala mendengar omongan Gus Ammar.

Kyai menghela napas panjang, "Yasudah, kalau ini kemauan kalian, terutama Rania, Abah bisa apa. Abah restui kalian menikah," ucap Kyai. Dan Aksa yang sejak tadi menanti seolah telah menahan napas, kini melepaskan embusan napasnya dengan kelegaan luar biasa. Aksa reflek sujud syukur di lantai.

"Hari Jumat besok, datanglah bersama keluargamu, saya sendiri yang akan menikahkan kamu dengan putriku Rania." Sambung Kyai pada Aksa.
***

Aksa mematut diri di depan cermin, pandangi penampilannya sendiri. Baju pengantin berwarna putih tulang, lengkap dengan peci warna senada. Di bagian samping teruntai bunga melati segar.

Aksa raba wajahnya sendiri guna buktikan apa ini bukan sekadar mimpi. Pelan kedua tangannya memukul pipinya sendiri, terasa sakit, dan memang ini nyata, Aksa tidak sedang tidur.

"Udah siap, Nak?" Ibu muncul dan berdiri tepat di samping putranya, perhatikan anak laki-laki satu-satunya yang sebentar lagi akan melepas masa lajang.

"Bu, Aksa minta doa restu ya. Doa ibu segalanya bagi Aksa."

"Pasti Nak, ibu selaku doakan Aksa." Ibu kecup lembut kening Aksa. Aksa balas peluk erat raga ibu.

Ayah juga turut hadir mengantar Aksa. Sejak kemarin mereka menginap di hotel kota ini. Hanya ayah dan ibu, serta beberapa rekan bisnis ayah yang sengaja diundang untuk ikut menjadi saksi. Sementara ibu Dinar tidak ikut dan tetap di rumah bersama Ashila.
***

Rania berada di tengah, diapit oleh Aisyah dan Bu Nyai. Mereka menuntunnya perlahan mencapai tempat ijab qobul berlangsung.
Pelan seretan langkah Rania, badannya terasa gemetar tapi dia tidak menyerah. Diiringi Aisyah dan Bu Nyai, akhirnya mereka sampai di tempat akad dilaksanakan.

Aksa langsung menghampiri, keduanya saling bertukar pandang dan saling melempar kuluman senyum. Sejurus Rania mengambil punggung tangan Aksa untuk ia cium. Takdzim serta penuh debar dalam hati. Pun Aksa, lelaki itu mendaratkan satu kecupan di ubun-ubun Rania, kemudian membacakan doa untuk sang istri. Doa yang telah diajarkan Ammar semalam, telah Aksa hapal dengan cepat.
"Assalamualaikum, istriku," ucap Aksa disertai gugup yang mendera. Wajahnya memancarkan malu-malu juga bulir keringat di sekitar dahi.
"Wa'alaikumussalam, Mas Aksa." Suara Rania yang lembut dan agak bergetar. Geming sesaaat merayapi suasana, kemudian Rania mengutarakan niatnya ingin salat Sunnah pengantin bersama Aksa. Lelaki itu menyanggupi. Sebelum melaksanakan ijab qobul tadi keduanya sudah bersuci lebih dulu. Rania mencium punggung tangan Aksa, tidak batal karena dia memakai sarung tangan berwarna putih, senada dengan gaun pengantin. Sebelum salat, Rania ingin dia dan Aksa sungkem pada kedua orangtua mereka. Haru meruangi hati seluruh yang hadir dan menyaksikan. Apalagi saat Rania memeluk abbah-nya dan tangis kembali tumpah.

Wajah ayu Rania sudah sembab, kedua tangannya merangkul erat leher sang abbah. Sekapur sirih terlontar dari bibir Abbah Bisri, memberi wejangan serta nasihat pada kedua pengantin. Ah, kerongkongan Aksa juga turut tercekat. Matanya ikut berkaca-kaca karena pemandangan yang menguras emosi.
"Barakallahu, Nduk. Selamat menjadi istri. Sekarang tanggungjawab Abbah sudah berpindah pada suamimu."

"Abbah, terimakasih untuk semuanya. Meski sekarang bakti Rania telah berpindah pada Mas Aksa, tapi bagi Rania, tetap Abbah adalah cinta pertama. Abbah laki-laki pertama yang memeluk Rania, yang selalu melindungi, membimbing dan mendidik Rania sampai bisa seperti ini. Cinta kasih, dan rasa sayang Abbah untuk Rania, akan selamanya terkunci di dasar hati. Doakan Rania ya, Bah. Abbah ikhlas kan?" Rania tersedu-sedu. Suaranya terbias gemetar saat mengurai kalimat dengan Abbah Bisri. Abbah mengangguk. Lelaki paruh baya itu menyeka pinggiran matanya yang berair. Dikecupnya lama kening Rania. Entah kenapa, pertanyaan kata-kata Rania tentang 'ikhlas' mengiris hati Abbah. Pun Aksa, pikirannya melayang jauh. Dia jadi takut sendiri, akan sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Setelah sungkem pada Abbah, kemudian pada Bu Nyai dan disusul dengan kedua orangtua Aksa.
Tiba saatnya Aksa dan Rania beriringan menuju tempat untuk melaksanakan salat Sunnah pengantin. Masih di dalam masjid ini. Keduanya membentuk shaf bersebelahan, Rania agak mundur sedikit di belakang Aksa.

"Abang, perasaan Aisyah kok enggak enak ya." Menunggu Aksa dan Rania menuntaskan hajatnya, Aisyah mengutarakan kecemasan yang merayapi hati. Gus Ammar menggeleng, tanda tidak setuju dengan ungkapan sang istri.
"Jangan berprasangka jelek Sayang. Doa yang baik-baik." Nasihat Ammar. Aisyah mengangguk.
Takdzim. Satu kata yang menggambarkan tentang Rania dan Aksa saat ini. Masih di rakaat pertama. Rania mengikuti gerakan sang imam dengan khusu'
Rakaat kedua, kala kening menyentuh sajadah. Tiba-tiba suara bising dari para hadirin menggaung. Menyaksikan Aksa yang usai mengucap salam, tetapi ada yang aneh. Rania masih terpaku dalam sujud. Susana mendadak rancau, semuanya tidak ada yang berani mendekat, sampai Aksa usai menurunkan tengadah tangan usai merapal doa. Wajahnya membias kejut. Tercenung karena sang istri belum juga bangun dari sujudnya. Di tempat yang agak jauh, Aisyah sudah menangis ketakutan.
"Rania ..." Hening. Tidak ada jawaban. Aksa mengguncang pelan bahu Rania. Seketika raga itu ambruk, Aksa cepat menangkap perempuan yang baru beberapa menit menjadi istrinya itu. Kelopak mata Rania mengatup rapat. Wajah dan bibirnya pucat, tapi bibirnya membentuk senyum teduh. "Rania, bangun Sayang. Rania, jangan bercanda, hei ..." Aksa menepuk pelan pipi Rania. Dirasakannya hawa dingin mengaliri telapak tangan yang bersentuhan dengan kulit Rania. Aksa reflek menangis, memeluk tubuh Rania yang lunglai. Abbah dan yang lain mendekat. Disentuhnya pergelangan tangan putrinya itu untuk memastikan bahwa Rania baik-baik saja.
"Bangun Nak, kamu sering kan, seperti ini? Kamu cuma pingsan kan, Nak?" Abbah juga tidak kuasa menitikkan airmata. Biasanya Rania memang kerap berada di situasi seperti ini, saat kelelahan atau telat meminum obat, Rania bisa anfal secara tiba-tiba. Abbah raba pergelangan tangan Rania, tidak merasai getaran nadi Rania. Hening, tidak terasa kedutan urat itu saat jemarinya melingkar di sana, sejurus kemudian Abbah mengucap istirja, "Innalilahi Wa innailaihi Raji'un." Semua yang hadir sontak terkejut, malah ada yang ikut berderai. Terlebih Aksa. Lelaki itu seperti seorang pesakitan yang ditinggal sang kekasih. Sedih sekali. Aksa meriakkan nama Rania beberapa kali, diantara isakan tangis dan pelukan eratnya. "Sudah Aksa, jangan ditangisi terus. Rania sudah bahagia, lihatlah, wajahnya memancarkan senyum. Dia bahagia, Nak," Tutur Abbah Bisri.

Duh, Allah, bagaimana Aksa tidak menangis. Sedang baru beberapa menit dia dan Rania, sah sebagai suami-istri. Aksa tahu kalau cepat atau lambat keadaan ini akan menyambangi, tetapi di luar nalarnya, Allah mengambil Rania secepat ini, bahkan sebelum dia sempat merasakan manisnya madu pernikahan bersama sang istri.
"Aksa, ikhlaskan. Jangan ditangisi, malah akan memberatkan almarhum." Gus Ammar mencoba ikut mengingatkan. Suasa bahagia yang tadi memenuhi ruang aula masjid ini, sontak berubah duka. Bu Nyai sampai pingsan karena tidak kuat menanggung kenyataan. Rania. Putri semata wayangnya yang baru saja di-akad menjadi istri, serta-merta di-akadkan juga oleh malaikat Izrail dengan kematian.
"Rania, kenapa secepat ini?" Aksa mengecup kening Rania berkali-kali. Masih belum sepenuhnya percaya dengan keadaan yang mendera. Pancaran duka tercetak jelas di raut Aksa. Sedalam rasa cintanya, pun duka Aksa. Seolah tergerus dalam gulungan luka yang mendalam.
"Kak Aksa sabar, ikhlaskan Ning Rania." Ucapan Aisyah tak mencerminkan ketegaran hatinya. Lihat saja, dia berbicara seperti itu pada Aksa, namun buliran bening sejak tadi terus saja membanjiri kedua pipi.

Oh Ya Allah, jika cinta itu bermahkota-kan taqwa. Maka, berilah setangkup ikhlas dan rasa sabar pada hati yang berduka.
Semua yang hidup memang akan bermuara pada kematian. Tetapi hati siapa yang tidak pedih ditinggal selamanya oleh yang tercinta. Konon, rindu yang amat menyakitkan adalah rindunya seseorang yang ditinggal mati. Tak dapat didengar suaranya, tak bisa tersentuh jiwa raganya. Hanya untaian doa yang dapat memeluk dalam kesunyian hati.
Semua hadirin membubarkan diri, bukan untuk pergi, tapi menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman Rania. Saat ini juga, jenazah Rania harus dikebumikan. Aksa tak luput sedetik pun dari sisi Rania, mulai dari memandikan, mengkafani dan men-salatkan.
Tanah itu masih basah. Harum semerbak bunga masih tercium dari radius beberapa meter. Di atas nisan terukir satu nama yang akan tetap terpatri dalam hati. Rania Luqiyah Walidain. Perempuan itu telah lelap dalam tidur panjangnya, berselimut tanah, berpeluk bumi.

"Rania, bidadari hatiku. Berbahagialah di sisi Allah, Sayang. Mas ikhlas akan kepergianmu. Terimakasih sudah mengajarkan banyak hal untukku. Terimakasih telah menitipkan separuh hatimu bersamaku." Semua sudah meninggalkan area pemakaman, tinggal Aksa yang masih bertahan di tempat ini. Tadi Gus Ammar dan Abbah sudah berusaha membujuk, tetapi Aksa kukuh, masih ingin berada di sanding makam Rania.
Bumi seolah paham oleh tangis hati Aksa. Rinai gerimis menerpa wajah lelaki itu. Hah! Mungkin ini cara terbaik untuknya menumpahkan segala sesak. Bukankah air hujan sangat tepat untuk menyamarkan tangisnya. Aksa menangis tanpa suara.
Angan Aksa kembali terbang pada kenangan lalu. Ketika Rania masih nyata ada di hadapannya. Otak Aksa masih menawan dengan jelas, semua tutur lembut Rania, perangainya yang sopan dan penuh adab. Juga nasihat gadis itu masih tersimpan rapat di relung hati. Rania juga yang mengajarkan Aksa tentang Tahajjud di sepertiga malam. Bagaimana gadis itu menerangkan, jika Aksa ingin harapnya diijabah oleh Tuhan Allah. Maka dia harus rajin menemui Rabb-nya.
Aksa mengelus papan nisan itu, kemudian mendaratkan ciuman di sana, "Selamat jalan Rania, istriku. Biadadari surgaku. Berbahagialah di sana, Sayang. Akan kupeluk kamu setiap saat dalam cumbuan doa-doaku," bisik Aksa lagi, masih dengan nada terbata-bata menahan cekat di tenggorokan.

°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°

😭😭😭 Mas Aksa yang sabar ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro