4. Kopi, Aromanya Penuh Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sedang menonton televisi. Saluran berita lebih tepatnya, bukan berarti liburan meninggalkan berita terupdate kan? Mika masih tidur, tadi sempat aku membuka kamarnya, dia mungkin kelelahaan. Jam di ponselku menunjukan pukul delapan, dan aku sudah duduk di ruang tamu sejak pukul tujuh.

Pukul delapan lebih sepuluh menit, Mika keluar kamar, saat itu petugas pelayanan hotel sedang mengantarkan keranjang sarapan ke pondok. Mika menuju pintu belakang ketika aku meletakkan keranjang ke atas meja. Aku duduk kembali dan melanjutkan menonton televisi. Menit berikutnya Mika masuk, wajah dan sebagian rambutnya tampak basah. Ia kembali lagi ke kamarnya namun tidak lama ia keluar lagi membawa sebungkus rokok dan ponsel.

Dia lewat depan televisis. Tangannya mengacak rambutku ketika berdiri di sampingku, lalu ia duduk. Sibuk dengan ponselnya beberapa saat lalu meletakkan bungkus rokok di meja.

"Iya Pak, hallo?" Mika menerima telepon, segera aku mengecilkan volume suara televisi. Gerakan sigap ketika Mika mengarahkan ponselnya ketelinga, "mohon maaf Pak, saya masih di luar kota."

Aku mendengar suara pria dari ponselnya. "Oh iya, ini surat cutinya baru saya baca."

Jeda sebentar

"Maaf, untuk laporan keuangan bulan Januari sudah saya serahkan ke sekertaris Bapak minggu lalu."

Mika terdiam untuk waktu yang panjanng kali ini. Pria di telepon itu berbicara banyak sepertinya.

"Iya Pak, nanti akan saya sampaikan ke ketua bagiannya." jawab Mika.

Beberapa detik kemudian panggilan itu berakhir, ditandai Mika tidak lagi mendekatkan ponselnya ke telinga. Mika masih sibuk dengan ponselnya, televisi masih bersuara kecil.

"Siapa Mik?" tanyaku. Seribu pertanyaan siap meyerbu Mika. Aku menduga Mika berbicara dengan atasannya atau semacamnya.

Tidak ada jawaban dari Mika. Mata Mika masih terpaku pada ponselnya, jemarinya menekan-nekan layar itu seolah sedang bermain Pump it Up. Ini bukan pertama kalinya aku lihat, Aku masih mengingat jelas kejadian itu, saat malam pertama kencan Mika sibuk dengan ponselnya di taman kota dekat dengan SMA Kalikuning Selatan. Mika tidak bisa diajak bicara bahkan cenderung tidak merespon. Kencan pertama yang buruk sekali waktu itu, ia memberikanku uang seakan aku ini anak kecil yang minta jajan sedang ia sibuk dengan ponselnya. Semoga kali ini tidak terulang.

"Mika?" aku panggil namanya sekali lagi, Mika hanya mengerang.

"Yasudah deh kalau kamu sibuk." Aku mengarahkan remot ke televisi dan membesarkan volume suaranya. Mika merentangkan tangan kanannya ke sandaran kursi, di belakang punggung sambil menepuk sisi kanan kepalaku. Tangan kirinya masih sibuk dengan ponsel. Aku tahu itu bukan perkara gampang menggunakan ponsel dengan satu tangan, apalagi tangan kiri. Mungkin inilah cara Mika untuk tidak mengabaikanku, seperti yang dilakukan semalam ketika mengerjakan urusan kantor.

Tidak berselang lama Mika meletakkan ponselnya di atas bungkus rokoknya. Dia berkata, "Kamu tadi nanya apa?"

"Tadi itu siapa? Pimpinan perusahaan?"

Mika mengangguk. "Papa."

"Papa? Om Rezky?" Alisku langsung berkerut. "Kok kamu panggilnya Bapak?"

"Profesional, sebagai seorang karyawan tauladan," jawab Mika. "Yasudah lah yuk makan. Oh iya kamu nggak mau bikinin aku kopi? Calon istri itu kudu siap melayani suami loh."

"Mik, ini di hotel. Kamu tinggal minta pelayanan kamar memesan kopi pasti dibuatkan. Lagian di dapur cuma ada alat-alat untuk masak gak ada kopi ataupun gula." Mataku terbelelak ketika menyadari kalimat terakhirnya. "Sebentar-sebentar! Calon istri katamu? Aku ini pria nggak bisalah jadi istri. Oh maksud kamu, aku istrinya dan kamu suaminya gitu? Kenapa nggak kamu yang istri sedangkan aku yang suami. Dan sejak kapan kesepakatan itu dimulai?" Tangaku langsung memukul Mika tanpa jeda, ia berusaha mengelak.

"Santai Pak, jangan emosian. Ini masih pagi," kata Mika lemah. Tangannya meraih keranjang sarapan. Dia merosot turun duduk di lantai. "Yaudah deh maaf. Nggak dibikinin kopi juga nggak apa."

Aku mengerang.

Mika membuka isi keranjang itu lalu mengeluarkan beberapa piring dan semuanya dalam keadaan terbungkus plastik. Piring pertama berisi beberapa lembar roti tawar, selanjutnya berisi buah semangka, kemudian ada toples kecil sepertinya berisi selai kacang. Aku kira isi keranjang itu sudah habis namun ternyata tangan Mika masih merogohnya. Dua kaleng susu baru saja diletakkan di atas meja. Tangan Mika masih masuk lagi setelah itu, sampai akhirnya ada empat bungkusan kecil, dua bungkus berisi kopi bubuk dua lagi berisi gula pasir.

"Aha kopi!" seru Mika, tatapannya kepadaku seakan mengejek. "Kamu kalah Kayron. Nih, cepat buatkan kopi!"

Aku mendengkus kesal. Tanganku menyahut bungkusan kecil itu dengan kasar. Menyeringai sambil melangkah menuju dapur. Aku mendengar Mika tertawa di belakangku. Tuhan, seperti inikah nasib orang lemah.

"Jangan manis-manis yah istriku, gulanya sedikit aja."

"Mik, jangan mulai. Nyesel aku kemarin baikan sama kamu kalau tahu akhirnya aku jadi babu."

"Seharusnya kamu inget dong waktu itu, pukul dua pagi kamu ketuk kamar orang cuma buat minta makan. Baru aku minta bikin kopi aja dah ngeluh, gimana besok kita berumah tangga."

Aku mengambil panci dan gelas di dalam lemari di atas kompor. Sejenak aku melihat Mika sedang membuka pembungkus plastik piring-piring makanan. Sejak aku datang ke dapur sudah memikirkan banyak hal. Mika sepertinya mencoba meracuni pikiranku untuk segera memastikan perasaanku padanya. Apa lagi dia telah membahas mengenai suami-istri. Yang aku bingungkan adalah kami berdua sama seorang pria, jika bicara mengenai kodrat adalah sebagai pemimpin keluarga lantas kenapa Mika mengataiku calon istri. Tapi sebentar, memangnya aku sama Mika akan menikah? Nggak itu nggak mungkin.

"Apaan coba sudah bahas rumah tangga, memangnya kita akan berumah tangga? Nggak kan?" protesku ketika itu aku sedang menuangkan air ke dalam panci.

Mika tidak menjawab. "Mik?"

"Lebih tepatnya aku sih yang akan berumah tangga, jadi jangan nyesel yah kalau aku pergi." Aku langsung menoleh ke arah Mika, pria itu sedang mengoleskan selai kacang ke atas roti tawar.

"Sudah tunangan?" tanyaku segera, aku berjalan ke arahnya sambil menunggu air mendidih. Mika mengulurkan roti yang sudah diolesi selai kacang ke padaku.

"Hampir," jawabnya ketika aku kembali ke dapur sambil memakan sedikit roti itu.

Setelah banyak perdalihan di dalam pondok, sekitar pukul sepuluh kami perjalanan menuju rumah pria pemandu yang selanjutnya perjalanan menuju ke pantai, itu yang dikatakan pria pemandu sebelum perjalanan di lanjutkan. Mika kali ini duduk di belakang bersamaku sedangkan pria pemandu itu yang mengendarai. Walaupun seperti itu Mika sering kali berbicara dengan pria pemandu namun porsi berbicara denganku sekarang lebih banyak. Dari hari sebelumnya yah hanya sebatas percakapan untuk keperluan tertentu.

Apalagi sejak Mika menererima telepon suasana di dalam mobil akhirnya terasa sunyi. Namun setelah aku menyimaknya ternyata itu adalah Anisa teman sekelasku sewaktu SMA. Tidak lama Mika dan Anisa berpindah melakukan panggilan video. Mika mengarahkan ponselnya kepadaku.

"Ada Kayron, Nis!" seru Mika. Aku melihat seorang wanita berkerudung biru terang sedang sarapan di sebuah tempat yang sepertinya kantin kantor.

"Hallo Anisa!" sapaku sambil melambaikan tangan. "Apa kabar Nis, anak kamu bagaimana?"

"Ah, Pak Dokter.... anak aku sehat sekarang mungkin sama Abinya," sahut Anisa. Kali ini Mika memberikan ponselnya kepadaku. "Eh Kay, mungkin Tara juga sedang nyantai aku undang dia untuk gabung yah? Sebentar."

Sambil menunggu jeda panggilan itu aku bertanya kepada Mika kenapa bisa mengenal Anisa sedangkan dulu sewaktu SMA tidak satu kelas. Mika menjawab bahwa Anisa sekarang menjabat sebagai sekretaris perusahaan jadi Mika kerap berhubungan dengan Anisa untuk urusan pelaporan. Aku pun teringat dengan perkataan Om Rezky yang menyebut nama Anisa, dan ternyata Anisa yang aku kenal selama ini.

Panggilan sudah tidak terjeda lagi, ada yang bergabung yaitu Tara. Teriakannya langsung menggelegar ketika sudah tersambung. Aku hanya tertawa ringan.

"Woi Pak Dokter. Apa kabar lo? Gila yah kalian masih lengket aja."

"Woi mantan," sahut Mika yang sudah duduk tepat di sampingku setelah menindahkan kamera di atara kami. "Apa kabar lo?"

"Hey mantan, kabar baik," sahut Tara.

Wajah Tara kini tampak lebih gemuk setelah aku datang ke pernikahannya. Aku masih tidak bisa menyangkanya kalau Tara akan menikah dengan Reno. Padahal dulu semasa SMA mereka kerap berantem cuma gara-gara alat tulis yang hilang.

"Dia lagi hamil Mik," sahut Anisa sambil membenarkan kerudungnya. "Nggak nyangka yah Reno ternyata subur juga."

Kami semua tertawa, kecuali Tara yang tampak menyeringai. "Lo juka Mik, segera tuh buntingin si Kayron."

"Hey," protesku. "Maksudnya apaan nih?"

"Jangan deh, lebih baik kalian nikah dulu aja," kata Tara mengintrupsi. "Sudah lah, kalian jangan malu-malu lagi. Bayangin aja kalian sudah pisah bertahun-tahun eh sekarang makin deket aja. Mana liburan bareng pula."

"Hey, gua nggak setuju yah kalau Kayron nikah sama Mika. Sumpah kalau sampai kalian nikah gua akan kirim Aba untuk ngerukiah kalian."

Kami lagi-lagi tertawa. Mika langsung angkat bicara setelah ledakan tawa itu berakhir. "Nggak, gua belum punya pikiran untuk nikahi Kayron."

"Yaudah lo buntingin aja dia," sergah Tara. "Nanti malem lo datang ke kamar Kayron dan ehem. Paling sehari dua hari sudah tahu hasilnya. Btw kalian beda kamar hotel kan?"

"Eh, sudah-sudah bahasa orang dewasa ini. Aku cabut dulu ada meeting. Bye. Assalamualikum."

Kotak di layar ponsel Mika yang sebelumnya ada wajah Anisa langsung berubah menjadi hitam, menit berikutnya wajah Tara memenuhi layar, kecuali kotak kecil di sudut kiri bawah terdapat aku dan Mika.

Semenjak kepergian Anisa di panggilan video itu, Mika jadi sering menanyakan mengenai Reno dan kehamilan Tara. Sesekali aku mengintrupsi ketika Mika mulai mengarang cerita mengenai kami berdua. Katanya dia tidur sekamar denganku, tiap malam aku memijit kakinya sampai ia tidur dan yang terakhir aku membuatkan kopi setiap pagi. Mungkin yang terkahir benar tapi sedikit berlebihan. Aku baru membuatkan Mika kopi satu kali itu pun katanya terlalu manis, mengesalkan.

Sebelum akhirnya sampai di pantai panggilan video itu berakhir, si calon ibu itu berpamitan untuk istirahat karena waktu sudah menujukan pukul dua belas siang. Aku sempat menyarankan bahwa lebih baik bagi ibu hamil untuk tidur siang.

Setibanya di pantai Mika kali ini lebih murah senyum. Kami bahkan seperti anak kecil yang berlarian di bibir pantai. Perbatasan antara air laut dan daratan berpasir. Karena matahari tepat di atas kepala akan tetapi udaranya terasa tidak pada umumnya di pantai-pantai yang lain.

Mika mengenakan kemeja putih semi formal, namun kancingnya dibuka sehingga kelihatan bentuk tubuhnya. Itu cukup membuatku menelan ludah memandang tubuhnya. Sedangkan aku hanya mengenakan kaos putih dengan garis-garis vertikal berwarna kuning. Aku tidak menyangka kali ini Mika mau aku ajak foto. Bahkan ia foto sendiripun sudah sekian kalinya. Berswa foto sambil tertawa seru. Aku merasa bahwa pantai ini adalah milikku dan Mika, sedangkan banyaknya pengungunjung hayalah angin yang cepat berlalu.

Aku senang.

Aku bahagia.

Aku suka aromanya.

Dan aku suka pantai, terutama orang kini memegang tanganku ketika kami berswafoto. Semua aroma ini mungkin terselip cinta.

((BERSAMBUNG))

Maaf kalau ceritanya sedikit nyeleneh. Hahaha... Semoga bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro