Ketika Hati Memilih (3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nb: Alur dan plot direvisi di versi Novel. Akan banyak perubahan dalam versi cetaknya nanti.
Insya Allah proses terbit.

Bab. 3

"Saya yang akan menikahi Rissa."

mata gadis itu terperanjat saat mendengar penuturan lelaki di sampingnya itu. Gendang telinganya dipertajam, masih tak percaya dengan pendengarannya. Rissa kaget, juga merasa lelaki yang kini berdiri di sebelahnya itu sedang melontarkan gurauan. Suasana masih diselimuti duka, bisa-bisanya lelaki yang baru ia kenal itu mencetuskan candaan yang tidak lucu sama sekali menurutnya. Balutan sedih masih meruangi segenap napas Marissa. Lalu dia, yang baru saja datang dengan segala penyesalan, di depan matanya mengungkapkan lontaran kata konyol. Demi Allah, Marissa ingin menampar lelaki itu. Apa dia pikir Marissa terlalu rendah dan rapuh untuk dikasihani.

"Apa maksud ucapan kamu Mas?"selidik Rissa menatap Satya tajam. Rona merah menyembul dari permukaan wajah Rissa. Mengadakan jika si empunya raga sedang dibaluti amarah.

"Saya serius Pak, Bu. Saya yang akan menikahi Rissa, hari ini juga." bukan menjawab tanya Rissa, namun Satya malah kembali meyakinkan kedua orangtua gadis itu.

"Candaanmu sama sekali tidak lucu! Lebih baik kamu pergi dari sini Mas!!!" Usir Marissa. Andai saja dia punya kekuatan lebih. Sudah pasti akan menyeret tubuh kekar lelaki itu, agar enyah dari hadapannya.

"Bapak setuju dengan usul nak Satya," jawab pak Rahmat.

kali ini bukan hanya kepala Rissa yang terasa sangat berat saat mendengar ucapan bapaknya yang  malah setuju dengan usul Satya. Napasnya juga terasa dicekat. Bagaimana bisa bapaknya malah pasrah, lalu menyerahkan dengan mudah pada lelaki itu. Rissa tak habis pikir!  "Bapak jangan bercanda! makam mas Adam masih basah Pak, dan kalian di sini meributkan hal yang sangat tidak pantas." debat Rissa merasa tak terima dengan keputusan kedua orangtuanya. "Dan kamu Mas! kamu kira aku akan menerima begitu saja perkataanmu yang ingin menikahiku!? simpan saja ide gilamu itu," ucapnya lagi menatap tajam ke arah Satya.

"Kamu harus mau Rissa, demi bapak ibumu. Sudahlah Nak. Untuk apalagi terus memikirkan Adam. Dia sudah tenang di sna, jangan kamu terus-terusan larut dalam sedih, Bapak yakin kalau Adam di sana juga pasti sedih melihat kamu sedih." Rissa menangis sejadi-jadinya mendengar perkataan sang bapak. Rasa cintanya pada Adam memang sudah sangat mendalam. Mana mungkin rasa yang tertanam dalam hati bisa tergoyahkan dengan mudahnya.  Tetapi di satu sisi Marissa juga tidak bisa begitu saja mengabaikan baktinya pada kedua orangtuanya. Semua persiapan sudah hampir seratus persen, undangan juga sudah tersebar.  Entah apa kata orang nanti kalau sampai acara pernikahan putri mereka satu-satunya harus batal. Pasti bapak dan ibunya yang akan menanggung malu seumur hidup.
___
"Maksud lo apaan Sat? Nyuruh gue cepat-cepat ke sini buat jadi saksi nikah?" Ghaly--sahabat Satya menatap bingung. Lelaki itu baru sampai lima belas menit yang lalu, dan Satya langsung menodongnya untuk menjadi saksi dalam akad nya dengan Marissa.

"Nanti saja gue jelasin semua. Sekarang yang penting lo jadi saksi dulu di nikahan gue."

"Tunggu. Apa om Sapto dan tante Selvi tau tentang rencana lo ini?" selidik Ghaly lagi.

Satya mengangguk.  Dia belum menjelaskan secara detail pada kedua orang tuanya saat menelpon untuk meminta ijin tadi. Satya pikir, besok saja semua akan dia beberkan pada ayah-ibunya tentang peristiwa naas yang menimpa, lalu tentang amanah Adam, dan juga pernikahan ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya Marissa Attaya binti Rahmat dengan mas kawin tersebut tunai."

seiring ucapan ijab yang terdengar, saat itu juga Rissa terlihat menyeka airmatanya. Bukan airmata bahagia layaknya perempuan yang dipersunting oleh kekasih pujaan. Tetapi tangis kegelisahan serta penyesalan. Gelisah, akan seperti apa nasib hubungannya nanti dengan lelaki yang menikahinya saat ini, dan juga menyesal kenapa ia harus tunduk, tak bisa menolak dengan ketetapan kedua orangtuanya. Harusnya ia duduk bersanding dengan lelaki yang dicinta, bukan dengan dia, pria asing yang baru dikenal, dan yang lebih menyesakkan lelaki itu yang membuatnya berada di posisinya saat ini. Ya Rabbi, rahasia apa dibalik kejadian kni semua. Cericit Rissa dalam tangisnya.
Rissa yang dalam balutan gamis serta riasan sederhana menangis sesenggukan. Lagi dan lagi genangan danau airmata membanjiri pipi cantiknya.

Campur aduk perasaan gadis itu saat penghulu mengisyaratkan agar ia mencium tangan Satya. Untuk pertama kalinya bersentuhan langsung dengan lelaki asing, yang kini telah menjadi suaminya.

"Rissa." sapaan pertama yang terdengar ditelinga Rissa sesaat setelah ia resmi menjadi istri Satya. "Maaf Rissa, Aku hanya menjalankan amanah dari almarhum Adam, dia yang memintaku untuk selalu menjagamu." perkataan Satya menambah sayatan di hati Rissa. Bergeming, tak mengeluarkan sepatah kata pun, dan Rissa masih butuh waktu untuk menerima segala rentetan kejadian yang dialami. Sementara Satya tak kalah cemas.  Memandang sekilas pada jemari istrinya. Di sana telah tersemat cincin yang seharusnya bukanlah untuk Rissa melainkan untuk Kirana. Ah, rasa bersalah bersarang di hati Satya jika mengingat nama Kirana. Rasanya akan banyak sekali hati yang tersakiti dengan keputusannya saat ini. Bagimana bisa dia menikahi perempuan lain, sedangkan dia sendiri telah memiliki tunangan.

"Rissa, ini sudah masuk adzan magrib, Mas mau salat dulu, apa kamu mau berjamaah sama Mas?" Rissa tak menjawab dengan kata, namun gadis itu mengangguk pelan. Bergegas mengambil wudhu kemudian Menggelar dua sajadah. Untuk pertama kali hati Rissa bergetar saat Satya mengajaknya untuk salat berjamaah. Rabbi, ini adalah impian Rissa sejak dulu, jika kelak menikah dia ingin duduk di belakang imamnya, sama-sama bermunajat pada Rabb-nya, sebagai ungkapan cinta serta ketaatan. Atau berdua bersama si sepertiga malam, menasbihkan untaian doa. Iya, kini memang dia merasakan, tetapi dengan lelaki asing yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.
Rissa agak canggung saat mereka selesei salat dan Satya mengulurkan tangan padanya. Reflek gadis itu mencium punggung tangan Satya. Sejenak mengamati lelaki di sampingnya itu. Satya tengah sibuk melipat sajadah serta sarungnya. Rissa tidak bisa mengabaikan begitu saja pesona yang ditampilkan lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya itu. Ah, ya Allah, betapa sempurna Dia melukiskan paras si lelaki itu, rasanya tidak akan ada kaum Hawa yang menolak akan pesona Satya. Tampang rupawan, dibalut sikap lemah lembut serta tutur kata yang sopan, dan yang tak kalah penting adalah, lelaki itu tak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dan pesona yang tak bisa terabaikan begitu saja oleh Rissa adalah bacaan ayat-ayat suci yang digaungkan lelaki itu, begitu merdu serta tartil sekali, hingga Rissa pun seakan larut ke dalam heningnya kalbu. Meresapi setiap tilawah yang dibaca suaminya.

"Kamu istirahat duluan saja ya kalau capek." suara lembut itu kembali terdengar, namun Rissa masih belum sadar jika yang diperhatian kini gantian sedang memerhatikan dia. "Rissa, kamu dengerin Mas, kan? Rissa.." sampai dua kali Satya memanggil Rissa, baru gadis itu menoleh.

"Iya Mas, maaf tadi Rissa tidak dengar," ucapnya agak gelagapan karena baru sadar Satya memandang lekat ke arahnya.

"Kamu istirahat duluan saja kalau capek, Mas mau keluar sebentar."

"Mas mau kemana?" Rissa reflek bertanya saat Satya pamit hendak keluar. "Maksudku, Mas Satya mau dibuatkan apa untuk makan malam. Rissa akan masak buat Mas," sambungnya lagi masih agak grogi. Satya tersenyum mendengar pertanyaan Rissa. Ada kemajuan, gadis itu sudah terlihat sedikit tenang, gurat beban di wajahnya juga sedikit memudar, dan yang membuat Satya menyungging senyum, Rissa mau berbicara padanya, gadis itu peduli padanya dengan menawarkan makan malam. Ah, mungkin bukan peduli Sat, tapi sebagai bentuk kewajiban seorang istri. gumam Satya dalam hati. Apapun itu, yang pasti Satya senang bisa melihat Rissa mulai bersemangat lagi.

"Tidak usah, kamu istirahat saja ya. Mas bisa makan di luar."

"Kenapa? apa Mas Satya nggak mau makan masakan Aku?" entah kenapa mendengar jawaban Satya ada sebersit rasa kecewa di hati Rissa. Memangnya salah jika dia ingin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.

Satya mendekat. Dielusnya kedua pipi Rissa. Ada debaran aneh merasuk di hati keduanya saat berada dalam jarak yang sangat dekat saat ini. "Bukan seperti itu Rissa, Mas pikir setelah rentetan kejadian hari ini, kamu pasti lelah dan butuh istirahat," ucapnya penuh kelembutan.
"Rissa nggak pa-pa Mas, maaf kalau tadi sempat marah dan hilang kendali. Rissa hanya butuh waktu, apalagi kita baru saling kenal."

"Tidak apa, Mas memaklumi. Mas yang harusnya meminta maaf, kalau bukan karena Mas pasti semua ini nggak akan terjadi." Satya kembali mengungkap rasa bersalahnya, tapi Rissa menggeleng cepat. "Sudahlah Mas, Rissa sadar kalau semua ini nggak akan terjadi tanpa seijin Allah. Ibu dan Bapak benar, mungkin mas Adam di sana juga akan sedih kalau melihat Rissa terpuruk, meskipun sulit, Rissa akan berusaha ikhlas menerima semua yang sudah digariskan Allah." tak kalah bijaknya jawaban Rissa membuat Satya kagum pada ketegaran gadis itu. Sulit. Rissa tak berbohong. Tidak mungkin bisa secepatnya menghapus nama Adam dalam relung hatinya.
___
Malam merangkak, sepasang pengantin baru itu masih belum bisa terpejam. Keduanya nampak canggung untuk pertama kalinya tidur seranjang padahal baru saling mengenal beberapa jam yang lalu. Satya masih asyik dengan layar ponselnya, sedari tadi telepon genggamnya tak henti terus saja mengeluarkan bunyi. Mungkin sedang sibuk membalas pesan yang masuk. Gumam Rissa mengira-ngira. Sementara Rissa sendiri meskipun terbaring dengan mata terpejam, namun pikiraannya melayang. Memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Gugup dan cemas itu pasti. Mendera hati Rissa. Berbagai angan serta pikiran berkecamuk. Sungguh, mendadak lidah Rissa serasa kelu, kerongkongannya tercekat. Harus bagaimana jika nanti Satya menuntut haknya sebagai suami. Ah, bukankah itu adalah kewajibannya sebagai istri, tentu saja dia harus rela memberikan jika Satya memintanya. Sedari tadi gadis itu membolak-balikan badan, merasa gelisah. Satya yang tanpa sadar mengamati gerak Rissa mendekat. Disentuhnya pelan bahu sang istri. "Kamu belum tidur?" tanyanya mengelus pelan khimar yang masih membungkus kepala Rissa.

"Belum Mas," jawab Rissa gugup.
"Tidurlah Rissa, besok pagi kita harus siap-siap pergi ke rumah Mas." perkataan Satya harusnya melegakan Rissa, namun gadis itu malah berpikir, kenapa Satya tidak meminta haknya. Kenapa dia malah menyuruhnya tidur.
"Mas.."
"Iya, kenapa?"
"Apa Mas tidak mau meminta hak Mas Satya sebagai suami?" bermodalkan nekat Rissa menanyakan hal yang menurutnya sangat membuatnya malu itu. Pipinya memanas, mungkin gurat merah kini menghiasi wajahnya.

"Kamu tidak capek?" jawaban yang bukan Rissa inginkan. Tapi gadis itu hanya memggeleng pelan. Sementara Satya nampak memikirkan sesuatu. Saat akad ia ucapkan, saat itulah kewajibannya sebagai Suami harus dia penuhi. Namun satu yang masih mengganjal di hati Satya saat ini. Bagaimana reaksi Kirana besok saat tahu diam-diam dia telah menikahi perempuan lain. Dan bagaimana reaksi kedua orangtua Kirana, padahal dia telah berjanji tak akan mengecewakan putri mereka. Dan yang paling membuatnya tak tenang adalah kedua orangtuanya, apa mereka akan menerima pernikahannya dengan Rissa.

"Kamu ambil wudhu, kita salat dulu ya dua rakaat." titahnya pada sang istri. Satya pikir, yang terjadi esok biarlah terjadi. Yang pasti ia tak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Untuk apa ada pernikahan, jika hanya ada kedzaliman. Dan mengabaikan hak serta kewajiban juga merupakan satu bentuk dari kedzaliman sesama pasangan suami-istri.
Sungguh, keduanya tak bisa mengucap apa-apa. Keduanya larut dalam kekaguman masing-masing. Hanya hati yang menerjemahkan kalimat indah, rasa bahagia, serta kenyamanan yang dirasa.
Keduanya larut dalam perasaan nyaman yang tercipta. Rissa merasa seperti menemukan obat akan luka hatinya. Wajahnya membiaskan gurat merah serta disertai sunggingan senyum yang bercampur dalam detak jantung yang memacu.
Apa dia telah jatuh cinta pada sosok Satya? Apa semudah itu Marissa menguapkan nama Adam lalu menggantinya dengan Satya?  Entah! Marissa belum meyakini sepenuh hati.
#######

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro