12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*KJTBM - BAB 12*

Aku sangat bersyukur karena acara resepsi akhirnya dibatalkan. Jadi aku tidak perlu berdandan dan berdiri berjam-jam di depan orang-orang untuk mendapatkan ucapan selamat dari mereka dalam keadaan sakit seperti ini. Entah siapa yang membatalkannya aku merasa sangat berterimakasih padanya. Mungkin Papa, mungkin juga Ranu. Entah. Aku tak bertanya pada mereka karena seharian ini aku hanya berbaring di tempat tidur saja. Meskipun sebenarnya disayangkan, karena biaya untuk resepsi itu tak main-main.

Binar benar-benar tak main-main dalam mempersiapkan pernikahan ini. Paket yang ia pilih untuk acara resepsi adalah yang paling mahal dengan kapasitas seribu undangan. Dekorasi juga semuanya dia ingin yang paling bagus. Segala macam bunga dan penataan dia sendiri yang memilihkan dan mengintruksikan pada pihak WO. Meskipun saat itu Binar lebih suka absen tapi bukan berarti dia juga lepas tangan dengan semuanya. Dia menyuruh Ranu menggantikannya hadir setiap meeting juga itu alasannya. Lewat Ranu dia jadi tahu sudah sampai mana persiapannya. Apa sudah sesuai dengan keinginannya atau belum. Dan jika belum Binar akan menghubungi pihak WO secara pribadi.

Inilah salah satu alasan kenapa aku menerima lamaran Ranu untuk menikahiku saat itu. Karena aku tidak ingin usaha Binar sia-sia dan alasan lainnya adalah bagaimana dengan seribu orang yang sudah diundang itu jika aku menolak lamaran Ranu dan pernikahannya batal? Mereka pasti berpikir kami telah mempermainkan mereka dan harus pulang dengan kecewa. Meskipun nyatanya acara itu akhirnya batal juga, sih.

Aku tidak tahu bagaimana cara Ranu memberikan kabar pada seribu tamu undangan itu. Mungkin dibagikan lewat grup WhatsApp? Atau lewat berita di televisi? Entah. Aku juga tak tahu dan tak berani bertanya. Karena aku merasa, akulah penyebab utama dan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini. Andai aku sehat acaranya tidak akan batal seperti ini. Andai aku tidak pingsan tadi siang, Ranu mungkin tak akan membatalkan acara ini dan sekarang aku akan berdiri dengan cantik di depan semua orang mengenakan gaun bak Princess seperti keinginan Binar. Andai Binar juga tidak meninggal aku pasti akan menikah dengannya dan bisa melakukan itu semua.

Ah, Binar lagi. Binar lagi. Sekarang suamiku adalah Ranu. Bukan Binar. Binar sudah tenang di sana. Aku harus bisa melupakannya. Dan segala pengandaian yang selalu berputar di kepalaku harus segera aku enyahkan demi ketenteraman jiwa dan ragaku.

"Eum ...." Aku melirik Ranu takut-takut. Sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Bunda. Badanku sendiri sudah sedikit mendingan dari pada tadi siang. Makanya aku ngotot untuk ikut Ranu saat dia sedang berpamitan pada Mama dan Papa untuk pulang ke rumah Bunda, karena di sana masih ada acara pengajian selama tujuh harinya Binar. Aku juga ingin banyak-banyak mengirim doa padanya.

Ranu yang sejak tadi fokus menyetir akhirnya menoleh padaku. "Ada apa? Capek? Mau istirahat dulu?" tanyanya perhatian. Aku menggeleng. Btw, kami sudah satu jam lebih di perjalanan. Jalan hari ini entah kenapa macet sekali. Yang seharusnya cuma memakan waktu kurang dari satu jam ini sudah satu jam lebih bahkan belum ada setengah perjalanan.

"Itu ... resepsinya nggak jadi diadakan nggak apa-apa?" Aku melirik padanya.

Ranu yang tadi sempat melihat ke depan dan menjalankan mobilnya mengikuti mobil depannya yang bergerak sedikit, lantas menoleh lagi padaku.

"Nggak apa-apa," jawabnya.

"Tapi, kan, semuanya sudah dibayar dan sayang uangnya. Biayanya juga nggak murah."

Dia tersenyum sedikit. Hanya sedikit. Karena cambang di dagunya juga hanya bergerak sedikit.

"Iya, nggak apa-apa. Uang bisa dicari lagi nanti. Dari pada aku melihat kamu pingsan lagi. Dua hari ini kamu sudah banyak pingsan. Aku nggak mau ada tambahan korban dan harus memakamkan orang yang kusayangi lagi," jawabnya seraya menginjak gas dan memajukan mobilnya lagi. Kali ini mobil bisa berjalan lumayan panjang.

Aku berdecak pura-pura sebal. "Orang kaya mah beda ya? Kehilangan uang ratusan juta biasa aja," sindirku.

Ranu terkekeh. "Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan kamu juga."

Blush ...

Kurasakan pipiku merona, tapi yang kutampilkan di mimik wajahku adalah mendelik padanya. Aku baru tahu jika Ranu bisa menggombal juga.

"Emang Mas Ranu sayang sama aku?" tanyaku pura-pura manja.

Dia menoleh lagi. Mobil berhenti lagi.

"Sayang, lah. Kalau nggak sayang nggak mungkin aku nikahi kamu," jawabnya sembari mengoper transmisi mobil ke nomor satu.

"Yakin karena sayang? Bukan karena merasa bertanggung jawab pada Binar?" tanyaku lagi.

"Itu juga salah satu alasannya."

"Kalau emang sayang sama aku, sejak kapan sayangnya? Kayaknya selama ini tiap ketemu sama aku menghindar mulu?"

Ranu menoleh lagi padaku. "Sebenarnya bukan sengaja menghindar. Cuma kalian kayaknya tiap ketemu mesra-mesraan mulu. Jadi aku tahu diri untuk nggak mengganggu."

Aku ngeblush lagi.

Kalau dipikir-pikir memang setiap bertemu Binar kami lebih sering mesra-mesraan. Entah ciuman. Entah pelukan. Entah aku hanya nyender di bahunya. Dan anehnya setiap kami melakukan itu selalu ada Ranu yang tiba-tiba datang. Atau tiba-tiba lewat. Tapi saat kami hanya ngobrol biasa dan tak melakukan apa-apa Ranu tak pernah muncul tiba-tiba.

"He he, maaf kalau gitu," pintaku tulus.

Ranu menoleh dan tersenyum padaku. "Nggak masalah."

Mobil depan sudah mulai berjalan lagi. Ranu mulai melajukan mobilnya lagi.

"Tapi, Mas. Gaun yang seharusnya aku pakai malam ini gimana? Soalnya itu pilihan Binar sendiri. Dia ingin sekali aku memakainya. Kalau gaun itu dijual kan sayang," kataku lagi setelah terjadi hening untuk beberapa saat. Dan Ranu membalasnya cepat.

"Gaunnya masih ada kok. Masih ditempat bridalnya. Nggak mungkin dijual kalau kita nggak mau menjualnya. Besok-besok aku suruh ngirim ke rumah aja. Dan nanti kalau situasi sudah kondusif kita bisa adakan pesta resepsinya. Jadi kamu tetap bisa memakai gaun itu" ujarnya membuatku merasa lega.

"Makasih, Mas."

"Sama-sama," ujarnya. "Tidur dulu gih. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai," lanjutnya seraya mengelus kepalaku. Aku hanya bisa diam menerima sentuhan fisik darinya. Kalau itu dulu mungkin sudah kutepis tangannya, meskipun Ranu tidak pernah melakukannya juga, sih. Tapi sekarang aku nggak bisa. Aku nggak mau dikatakan istri durhaka. Masa cuma dielus kepalanya sama suami sendiri nggak mau?

Kalau kuperhatikan, sepertinya sekarang Ranu lebih banyak melakukan kontak fisik denganku. Entah itu mengelus kepala, memegang kening atau menggandeng tangan. Seperti seharian ini, selama aku istirahat, aku merasakan sebentar-sebentar dahiku dipegang oleh seseorang dan setiap aku membuka mata untuk melihat siapa orangnya, Ranulah pelakunya.

Ranu benar-benar menunjukkan perhatiannya padaku. Sikapnya berbanding terbalik dengan dulu saat aku masih bersama Binar. Dulu dia lebih sering bermuka datar. Kadang kalau berbicara ketus. Kadang juga seolah enggan melihatku. Menghindar setiap bertemu. Dan selalu membuang muka tiap tanpa sengaja kami berpapasan mata.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya sebegitu membenciku dulu. Apakah benar seperti yang dia katakan barusan atau bukan. Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu kenapa sikapnya yang sekarang bisa selembut dan semanis ini. Apa karena sekarang aku adalah istrinya? Apa ini yang dimaksud Binar dulu saat dia bilang, mungkin kalau aku lebih dulu kenal dengan Ranu aku akan lebih dulu jatuh cinta padanya?

Tapi Binar tak pernah tahu kalau kenyataannya memang aku lebih dulu bertemu dengan Ranu daripada dengannya. Dan nyatanya aku nggak ada tuh jatuh cinta - jatuh cinta padanya. Bagiku saat itu Ranu hanya orang aneh yang suka ngetem di depan SMA. Seorang pengangguran yang nggak ada pekerjaan. Orang mesum yang sedang mencari mangsa. Bagaimana aku nggak curiga coba kalau dia selalu ada di depan gerbang SMA-ku dulu tapi tak melakukan apa-apa. Padahal dia bukan siswa di sana. Yang Ranu lakukan hanya duduk di jok motornya dan memperhatikan para siswa yang keluar masuk SMA.

Aku masih bergidik ngeri kalau membayangkan saat itu. Apalagi dia pernah menghampiriku saat aku pulang telat dan meminta nomorku. Untung aku tak hapal jadi sekalian aja aku kasih nomor acak yang kukarang. Bodo amat nomornya bakal nyaut ke nomor siapa, aku tak peduli. Karena awalnya aku mengira Ranu adalah penguntit mesum pencari mangsa. Sampai akhirnya aku tahu kalau dia adalah kakaknya Binar, pacarku saat aku diajak main ke rumahnya dan ketahuan sedang mau ena-ena.

TBC
******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro