2.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*****

Satu jam lebih perjalanan yang kami tempuh dari rumahku yang ada di Bekasi ke rumah Binar yang ada di Kelapa Gading. Kami tiba di sana sekitar pukul sepuluh pagi. Dan setibanya di sana Binar langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi yang gerbangnya sudah terbuka seolah memang sudah menunggu kedatangan kami. 

Setelah Binar mematikan mesin mobilnya aku tak langsung turun. Bukan karena menunggu Binar membukakan pintu mobil layaknya film-film FTV, aku hanya merasa gugup. Bahkan tanganku sudah berkeringat dingin.

Binar menatapku bertanya lewat tatapan matanya, dan saat aku menunjukkan telapak tanganku yang basah, akhirnya Binar paham kenapa aku masih diam di dalam mobilnya, tak mau beranjak sedikitpun.

"Nervous," kataku kemudian.

Binar mendengus, tak percaya akan sikap konyolku, mungkin. Tapi mau bagaimana lagi jika aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku ini.

"Astaga, Aru! Aru! Bunda nggak bakal gigit kamu. Sumpah!" gelaknya.

Aku membuang napas pasrah menatap jengkel pada Binar yang seolah tak tahu akan kegugupanku. "Aku juga nggak tahu kenapa bisa segugup ini."

Binar menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku. Tangannya mengambil tanganku lalu menggenggamnya dengan tangannya yang besar dan hangat. Sesaat aku merasa sedikit tenang.

"Sebenarnya apa sih yang kamu takutkan. Hmm?" tanyanya pelan sarat akan pengertian. "Lihat sini."

Aku menuruti instruksinya. Kutatap mata hitam kecokelatan milik Binar yang kini juga sedang menatapku.

"Apa pun yang terjadi nanti, ada aku. Ingat! Dan aku akan selalu ada di sampingmu," kata Binar. "Kamu juga udah pernah ketemu Bunda, 'kan?"

Aku mengangguk mengiyakan. Aku sudah pernah dua kali bertemu dengan mamanya Binar. Satu kali saat aku dan Binar tak sengaja bertemu dengannya yang sedang makan di restoran, dan satu lagi di rumahnya Binar saat aku diajak main olehnya. Tapi yang satu ini sudah lama sekali. Dan saat itu Binar belum tinggal di rumah ini. 

Dan sebenarnya bukan mamanya Binar yang membuatku takut, karena aku tahu beliau orang yang sangat baik, melainkan kakaknya yang menyeramkan itu. 

Bagaimana jika dia tidak merestui kami dan menyuruh kami putus seperti kejadian bertahun-tahun lalu karena rasa tak sukanya padaku?

"Udah. Dibuat santai aja. Apa pun yang nanti Bunda tanyakan ya tinggal dijawab aja apa adanya," putus Binar pada akhirnya memberikan solusi di saat aku hanya diam membisu tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Aku menatap Binar lagi dengan cemas, Binar balas menatapku, tangannya mengelus pipiku, menenangkan.

"Nggak usah khawatir lagi. Aku bakal bantuin kamu nanti," ujarnya sebelum keluar dari mobil dan berjalan ke sisi pintu di sebelahku. Binar membukakan pintu untukku. "Yuk!" ajaknya sembari mengulurkan tangan. 

Sebelum menyambut tangan itu berulang kali aku mengambil napas lalu membuangnya perlahan. Dan Binar masih setia menungguku di luar pintu mobil layaknya gentleman.

Dan setelah menyambut tangan Binar yang terasa hangat di tanganku. Turun dari mobil lagi-lagi aku aku meyakinkan diri, apa pun yang terjadi nanti aku nggak akan melepaskan Binar. Aku akan meyakinkan mereka kalau aku layak untuk menjadi istrinya, layak menjadi bagian dari keluarga mereka dan layak bersanding dengan orang yang bernama Binar Cahaya Aryasatya, yang paling kucinta. 

*****


K

utatap rumah megah yang menjulang tinggi di depanku. Meskipun rumah itu sama sekali tak mengeluarkan aura mistis, entah  kenapa aku merasa merinding, seolah aku adalah pemain film horor yang dihadapkan dengan rumah kosong dan berhantu. Aku rasa ini hanya efek dari kegugupaku tadi yang masih ada hingga kini, sampai-sampai rumah sebesar dan sebagus ini membuatku takut dan merinding.

Binar masih terus menggenggam tanganku hingga kami tiba di depan pintu kaca yang tinggi dan super megah. Lantainya yang terbuat dari marmer hitam terlihat mengkilap seperti air yang tenang dan jernih hingga dapat memantulkan apa saja yang ada di atasnya. Bahkan aku bisa bercermin di sana.


Binar membuka pintu kaca itu tanpa mengucapkan salam. Ia terus membawaku ke dalam rumahnya yang tak kalah megah dari luarnya.

Setelah kami tiba di tengah-tengah ruangan, Binar menyuruhku duduk di sofa yang ada di sisi bagian kiri rumah yang sangat luas ini. Sofa putihnya terasa sangat lembut saat aku duduki. Sedangkan di sisi lain dari tempatku sekarang ada tangga yang menuju ke lantai dua. Dan di bagian agak ke dalam sedikit ada dapur dan meja makan. Sepertinya penghuni rumah ini lebih suka rumah yang terlihat luas karena aku hampir tidak menemukan adanya sekat yang memisahkan antara satu ruangan dengan ruangan lain. 

Sesaat aku merasa seperti berada di dunia dongeng. Aku yang seorang upik abu dan Binar seorang pangeran tampan.

Mengingat akan hal itu membuat rasa minder dan gugupku kembali hadir. Jika mereka tahu kalau aku hanya dari keluarga berkasta menengah ke bawah, kira-kira apa ya reaksi mereka?

"Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku panggil Bunda dulu." 

*****

Lima belas menit kemudian Binar datang bersama mamanya dan adiknya yang bernama Rinjani. Aku ingat dulu pernah bertemu dengannya sewaktu SMA. Dia masih sangat kecil saat itu, kira-kira umur berapa ya? Antara 11 atau 12 tahun. Entah. Yang jelas seingatku dulu dia gadis kecil yang tomboi, tapi sekarang setelah sembilan tahun berlalu dia sudah bermetamorfosis menjadi gadis cantik nan anggun. 

Sedangkan Tante Linggar, ah tadi beliau memintaku memanggilnya Bunda, masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Cantik, anggun dan ramah.

Bunda banyak bertanya padaku. Tentang keseharianku, kesukaanku, hobiku dan pekerjaanku. Beliau sangat-sangat baik. Aku sangat nyaman berbincang dengannya. Sedangkan Rinjani hanya sesekali ikut menimpali. Dan Binar sendiri sesekali ikut menjawab pertanyaan Bunda, menggantikanku saat aku tidak bisa menjawab pertanyaan.

Aku suka sikap Binar yang demikian, karena dengan begitu dia menunjukkan kepeduliannya padaku. 

"Jadi, Aru ini teman SMA-nya Binar dulu?" tanya Bunda kemudian. 

Aku mengangguk mengiyakan.

"Iya, Bun. Aru dulu adik kelasnya Mas Binar," jawabku sopan dengan nada yang kubuat sehalus mungkin. 

Kata orang, first impression itu penting, jadi aku ingin membuat kesan sebaik mungkin di depan calon mertuaku ini. Yah, siapa tahu aku bisa mendapat restu dengan jalur privilege. Bahkan agar lebih meyakinkan lagi, aku sampai menambahkan embel-embel 'Mas' pada nama Binar. Yakin 100% setelah ini Binar pasti mengejekku habis-habisan. 

"Berarti sudah lama kenal sama Binar?" tanya Bunda lagi.

Aku mengangguk lagi. "Iya Bunda. Tapi dulu sempat hilang kontak pas waktu Binar, maksudnya Mas Binar sudah lulus lebih dulu."

"Oh, begitu. Jadi kamu adik tingkatnya Binar dong kalau begitu."

Untuk yang ke sekian kalinya aku mengangguk lagi. Semoga sekrub yang ada di leherku nggak putus karena kebanyakan mengangguk menjawab pertanyaan Bunda. Nggak lucu kan kalau tiba-tiba kepalaku copot kayak di film-film horor.

"Iya, Bun. Aru dua tahun di bawahnya Binar. Eh, Mas Binar. Saat Binar, maksudnya Mas Binar kelas dua belas, Aru baru kelas sepuluh."

Bunda mengangguk-angguk paham sambil mengulum senyum. Binar sendiri sudah terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Sedangkan Rinjani sudah cekikikan sendiri. 

"Udah, deh, Kak Aru, nggak usah pakai 'mas, mas' segala. Biasanya juga manggil nama," celetuk Rinjani yang sejak tadi terus memperhatikanku. 

Aku terdiam karena merasa telah di skakmatt.

Binar menendang pelan kaki adiknya. "Huss, jangan gitu, Dek. Dia lagi belajar jadi istri yang baik, jadi harus disupport nggak boleh diledekin," balas Binar cengengesan. "Btw, aku suka kamu manggil aku 'Mas'. Dilanjutkan terus ya, Sayang."

Kan! Kan!

Seketika aku mencubit pinggang Binar. Dia mengaduh kesakitan.

"Eh, jangan KDRT di depan Bunda. Nanti nggak dapat restu kamu, terus nggak bisa nikah sama aku."

Sontak aku menjauhkan tanganku dari pinggang Binar dan menatap segan pada Bunda.

"Sudah. Sudah."

Untuk sesaat terjadi keheningan karena aku tidak tahu topik apa lagi yang harus dibahas. Sedangkan Bunda sendiri kayaknya sudah tak ada lagi yang ingin ditanyakan padaku. 

"Mas Ranu kapan pulang, Bund?"

Tiba-tiba Binar bertanya demikian yang membuatku seketika menegapkan badan. Kenapa juga dia harus bertanya tentang kakaknya? Padahal sedari tadi aku sudah berdoa semoga hari ini Ranu nggak ada di rumah sehingga aku nggak perlu bertemu dengannya. 

Dan ...

"Assalamualaikum."

Seolah jin yang keluar dari lampu saat namanya disebut, suara bas seseorang yang terdengar berat tapi lembut itu membahana. Orang yang ditanyakan Binar muncul tiba-tiba. 

Kami semua serempak menjawab salamnya.

Takut-takut aku mencuri lirik padanya. Ranu datang dengan wajah datarnya seperti biasa. Kuamati penampilannya yang terlihat santai itu. Celana kain slim fit berwarna grey dan kemeja putih berlengan pendek. Terlihat biasa saja. Namun, karena Ranu bertubuh tinggi besar, kemeja itu jadi terlihat sesak terutama di bagian lengan tangannya.

 Aku jadi melirik Binar yang sama-sama mengenakan kemeja putih. 

Dalam hati aku membandingkan keduanya, meski Ranu terlihat lebih gagah karena bertubuh besar, tapi di mataku tetap Binar lah yang paling tampan.

"Sudah lama?" tanya Ranu melirikku di balik kacamata berbingkai hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya. 

Aku tak lekas menjawab.

Kulihat dia mengambil tempat duduk di sebelah Tante Linggar yang sialnya tepat berada di depanku.

"Lama banget Mas. Udah dari tahun kemarin, ya, 'kan, Bun?" canda Binar sedikit menyindir akan keterlambatan Ranu dan mencari pembelaan pada Bunda.

Bunda hanya tersenyum. 

Sedangkan Ranu sendiri bersikap tak acuh. Dia justru asik menikmati secangkir teh yang baru saja diantarkan oleh asisten rumah tangga mereka yang belum kutahu namanya. 

Setelah selesai minum dan meletakkan cangkir tehnya kembali ke atas meja dia menatap ke arahku lalu ke arah Binar.

"Jadi ini ada acara apa?" tanyanya yang kuyakini hanya berbasa-basi. Aku tidak percaya Ranu tidak tahu niat kami hari ini. 

Binar menggenggam tanganku. Aku sontak menoleh padanya. 

"Gini, Mas, Bunda. berhubung semuanya sudah lengkap aku mau ngomong sesuatu," dia menjeda. "Aku sama Aru sudah memutuskan mau membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius," tuturnya. "Kalau sesuai rencana kami, tiga bulan lagi kami akan menikah."

Aku mengangguk memberikan persetujuan, tapi tetap Diam. Biarlah Binar saja yang memberikan penjelasan.

"Dan hari ini kami mau meminta restu sama Bunda, sama Mas Ranu, sama kamu juga, Dek," ujarnya menoleh ke arah Rinjani.

Semuanya masih terdiam menunggu ucapan Binar selanjutnya.

 "Dan untuk restunya, aku  mengucapkan banyak terima kasih," tutup Binar mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa tegang. 

 Tapi tetap saja suasana di ruang ini masih saja tegang. 

"Kamu sudah yakin?" tanya Ranu menatap Binar datar.

"Yakin, Mas," jawab Binar mantap.

Kemudian Ranu mengalihkan matanya padaku. Aku kira dia mau bertanya sesuatu, tapi setelah beberapa saat dia tetap bungkam. 

Aku jadi gelisah ditatap seperti itu. Sofa empuk yang kududuki seolah berubah menjadi sebongkah bara api.

Semoga Ranu tak berulah kali ini.

"Tapi anak Bunda ini banyak kekurangannya, Aru. Apa kamu bisa menerima dia apa adanya?" 

Sontak aku menatap Bunda yang tiba-tiba bertanya.

"Insyaallah, Bunda," jawabku yakin karena memang aku menerima dia dan segala kekurangannya.

"Dia juga kadang susah dikasih tahu."

"Kalau itu Aru juga udah tahu, Bun."

"Suka bangun telat loh dia ini," kata Bunda lagi.

"Ah, Bunda mah. Bukannya anaknya di baik-baikin biar Aru makin yakin nikah sama aku, ini malah dijelek-jelekkin. Gimana kalau dia mundur coba?" sela Binar menggerutu. 

"Loh, kan memang seharusnya begitu. Biar Aru nggak cuma menerima kebaikan kamu saja, tapi juga kekuranganmu. Ya, kan, Aru?"

Aku mengangguk membenarkan. "Iya, Bunda. Aru terima kok kekurangan Binar. Sebagaimana dia menerima kekuranganku."

Kutatap Binar dengan penuh keyakinan. Dia balas menatapku haru.

"Aseek. Kayaknya mereka udah bucin banget tuh, Bund. Kalau aku sih yes!" seloroh Rinjani membuyarkan aksi tatap-tatapan kami sambil menirukan gaya salah satu juri pencarian bakat di televisi. 

Sontak kami semua menoleh padanya. "Kalau kamu gimana, Mas?" tanyanya pada Ranu. 

Ranu terdiam beberapa saat. Dia menatap kami bergantian seolah sedang menilai sesuatu. 

"Kalau aku sih terserah kalian saja. Kalau kalian merasa sudah yakin dan siap, ya ...." Dia mengangkat kedua bahunya. "Aku hanya bisa merestuinya."

Tanpa sadar aku mengucap syukur dan membuang napas lega setelah mendengarnya. Untuk sesaat aku merasa percuma dari kemarin sudah merasa gugup hingga membuatku susah tidur, kalau ternyata segampang ini mendapat restunya. 

"Tapi, Mas. Mas benar-benar nggak apa-apa aku langkahi?" tanya Binar tiba-tiba setelah hening beberapa saat.

Aku jadi melihat Binar dengan perasaan was-was. Aku sungguh lupa dengan kenyataan bahwa kakaknya ini memang belum menikah.

Ranu mengangkat satu alisnya. "Dan kenapa hal itu menjadi masalah?" 

"Kan kata orang itu pamali. Seorang adik nggak boleh melangkahi kakaknya," jawab Binar.

Ranu mendengus. " Nggak usah percaya tahayul. Kalau memang kamu sudah menemukan jodohmu kenapa harus menungguku? Bagaimana jika aku tak akan menikah selamanya. Apa kalian juga ikut tidak akan menikah?" Ranu melihat ke arah Binar dan Rinjani bergantian.

Kami semua terdiam karenanya. Karena apa yang dikatakan Ranu ada benarnya. Kalau dia nggak lekas menikah lalu kapan aku dan Binar menikahnya?

"Benar juga kata Mas Ranu. Kalau aku udah ketemu jodohku juga bakal langsung nikah," celetuk Renjana.

Ranu berdecak, "Kamu masih kecil, Dek," katanya.

Sedangkan Binar membuang napas lega.

"Tapi, Kak Aru, bentar deh," kata Rinjani tiba-tiba menginterupsi.

Sontak aku melihat padanya. Tak hanya aku saja yang lain juga.

"Kayaknya dulu kita pernah bertemu ya?" tanyanya. "Duluuu banget. Di rumah lama." 

Aku melirik Binar yang sedang melirikku juga.

Lama aku tidak menjawab, dan sepertinya yang Renjana artikan dari keterdiamanku adalah jawaban 'iya'.

Dia langsung menjentikkan jarinya. 

"Pantas dari tadi aku kayak merasa familiar gitu sama Kak Aru."

Rinjani sudah senyum-senyum sendiri seolah baru saja menerima hadiah ratusan juta.

"Kak, Aru, kan yang saat itu ketahuan sama aku dan Mas Ranu sedang pacaran bermesraan sama Mas Binar waktu kalian masih SMA?"

Mampus aku!

TBC
*****

1. Arunika


2. Binar


3. Ranu Biru


Instagram : Zeeniyee_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro