33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Holla, sebelum lanjut ke cerita aku mau ngasih tahu sedikit kalau ada beberapa bagian yang aku revisi, seperti tentang Yogi yang awalnya dia kubuat maaf, kaum pelangi aku ubah jadi dia cowok normal biasa. Kenapa? Karena dia protes padaku 😭 dia bilang dia nggak mau jadi kaum pelangi, dia masih suka cewek. Jadi maaf, buat yang kemarin udah terlanjur baca mohon hapus dari pikiran kalian ya ... Sekarang dia cowok tulen yang ganteng dan baik hati. Ehem.

Dan untuk yang satu lagi, ternyata nggak ada tiket pesawat jam lima sore. Jadi kemarin yang aku cek tiket dari mana ke mana? 🤔

Udah gitu aja. Sebelum baca coba deh puter lagunya. Karena pas aku bikin bab ini aku dengerin lagu ini.

Playlist : Salam Dariku by. Didik Budi

IG. Zeeniyee_

*****

Pesawat kami landing di Bandara Adisucipto Yogyakarta kira-kira pukul lima sore kurang tujuh menit. Segera setelah keluar dari bandara aku dan Yogi langsung menuju Hotel Exotica yang ada di JL. Laksda Adisucipto dan check-in sesuai yang sudah dipesan Yogi secara online sebelumnya. 

Jujur, aku baru tahu dia juga membayari untuk hotelku juga saat kami keluar dari bandara. Aku merasa heran kenapa Yogi bisa seroyal ini padaku. Kemarin tiket festival yang dia belikan tak mau kuganti, tiket pesawat juga tak mau kuganti, sekarang dia juga membayari untuk hotelku juga. Mungkin kalau hanya sekedar losmen murah aku tak akan menerimanya dengan senang hati. Tapi karena ini adalah Hotel, dan Hotel Exotica adalah salah satu hotel bintang lima di Yogyakarta, siapa yang tidak curiga?

Mungkin kalau aku punya hubungan khusus dengan Yogi, aku masih bisa mengerti dengan kepeduliannya padaku ini, tapi mengingat hubungan kami yang nggak lebih dari teman kerja biasa bukankah ini bisa dibilang berlebihan? 

Belum lagi kamar hotel yang kutempati ini bisa dibilang cukup mewah. Kamar ini lebih cocok digunakan untuk pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu dari pada pengunjung solo yang hanya menempati kamar ini sebagai tempat persinggahan sementara.

Yah, aku berharapnya apa yang kuterima sekarang benar-benar murni hanya antara sesama teman biasa dan tidak ada embel-embel apa pun. Karena aku tidak bisa membayangkan jika ternyata Yogi mempunyai perasaan khusus padaku. Bukannya aku merasa kepedean atau gimana. Sebagai orang yang mempunyai rekor banyak tentang perpacaran aku sangat paham bagaimana gelagat orang yang mempunyai ketertarikan padaku. Dan dari apa yang kuamati akhir-akhir ini sikap Yogi masih tetap biasa seperti sebelumnya. Dia tetap baik seperti biasa, tetap care juga, ramah dan sesekali berkirim pesan setelah kita ketemu waktu itu. Dan semua itu berada di batas wajar seorang teman pada temannya. Jadi, kira-kira apa alasan Yogi melakukan ini semua? 

Bel kamarku berbunyi. Aku yang sedang menikmati pemandangan malam kota Jogja di balkon kamar refleks menolehkan kepala ke arah pintu. Siapa yang berkunjung ke kamarku? Karena tidak ingin menebak-nebak, aku lekas berjalan menuju pintu, membukanya dan ternyata Yogi,  orang yang sejak tadi kupikirkan berdiri menjulang di sana.

"Ada apa, Mas?" tanyaku pada Yogi. 

Yogi nyengir sembari mengusap rambutnya. "Keluar, yuk?" ajaknya.

Mataku memicing dang memperhatikan Yogi dari atas ke bawah, dia terlihat sangat rapi dengan pakaian santainya.

"Ke mana?" 

"Keluar saja cari angin. Yah masa udah sampai sini diam saja di hotel, nggak seru, kan? Jalan-jalan ke Malioboro gimana?"

Aku menimbang-nimbang, ajakan Yogi sebenarnya menarik juga. Dan apa yang dia katakan juga benar, sudah jauh-jauh ke sini sayang kalau hanya dihabiskan di hotel saja. Tapi aku ingin memastikan sesuatu dulu sebelum mengiyakan ajakannya. 

"Mas, boleh gue tanya sesuatu dulu?" tanyaku. Bagaimanapun aku ingin sebuah kejelasan di sini. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kami. Sumpah, bukan karena aku terlalu percaya diri jika seandainya tiba-tiba Yogi suka padaku, tapi aku harus menarik batas tegas padanya kalau-kalau itu benar adanya. 

"Tanya apaan, Ru?"

"Lo … nggak lagi suka sama gue, kan?" 

Yogi terkejut, air mukanya langsung berubah, pasti dia tidak menyangka kalau aku akan menanyakan ini padanya, tapi dia tidak lekas mengatakan apa pun.

"Yah, sorry aja kalau gue tanya begini. Soalnya perhatian lo kayak nggak biasa."

"Perhatian yang mana nih yang nggak biasa? Kayaknya gue biasa aja."

"Yah, yang kayak gini." Aku merasa nggak enak ingin mengatakan padanya. "Lo tiba-tiba ngajak gue jalan kayak gini."

"Yaelah, Ru. Gue ngajak jalan lo ya karena gue ke sininya sama lo. Ntar gue tinggalin sendiri dikira gue cuek dan nggak pengertian."

 "Terus lo juga bayarin gue tiket pesawat padahal lo udah beliin gue tiket festival."

"Kan waktu itu gue udah bilang kalau itu sebagai hadiah perpisahan sebagai rekan kerja dulu, Ru." Yogi menyanggah cepat.

"Iya yang itu gue ingat. Terus gimana dengan tiket pesawat? Lo bahkan bayarin gue hotel juga dan kamar ini." Aku menunjuk ke dalam kamarku. "Bisa dibilang lumayan mewah buat gue." Karena memang kenyataannya demikian. Kamar ini setidaknya berharga sekitar satu juta lebih permalam. Sedangkan aku di sini tiga malam, berarti Yogi harus membayariku kira-kira tiga juta hanya untuk hotelku saja. 

Yogi terkekeh mendengar penjelasanku yang panjang lebar. 

"Jadi lo ngira apa yang gue lakukan sekarang karena bentuk adanya rasa suka gue ke elo?"

Aku mengangkat bahu. "Dari pengalaman gue selama ini, iya. Apa yang lo lakukan menjurus ke sana."

"Wow, si yang paling punya pengalaman."

"Ish." Aku memukul lengannya. Yogi diam saja karena memang aku nggak serius memukulnya. "Bener nggak? Kalau bener, maaf saja Mas, sebelum perasaan lo ke gue semakin dalam gue harus menolak lo dengan tegas. Gue udah punya suami dan gue udah sayang sama suami gue. Gue nggak mau mengkhianati dia."

"Santai, Arunika," ujarnya lembut. "Gue gak ada perasaan kok sama lo."

Aku menaikkan satu alis seolah bertanya 'serius?'

"Iya. Tiket pesawat itu gue dapat promo murah dari temen gue, jadi saat itu gue usul juga kalau gue beli dua bisa dapat murah juga nggak, dan ternyata bisa. Ya, kalau ada yang murah kenapa harus yang mahal? Terus untuk hotel sebenarnya gue juga dikasih sama orang, sih. Rencananya bukan buat lo sebenarnya. Tapi temen gue tiba-tiba nggak jadi pergi, yaudah daripada mubazir gue kasih ke lo aja."

Aku masih menatap Yogi curiga. Mencari-cari kesalahan di wajahnya, siapa tahu dia berbohong dan itu semua hanya alasannya saja, tapi dari gelagatnya sepertinya Yogi mengatakan yang sebenarnya. 

"Jadi, lo nggak suka sama gue, kan?"

"Kalau ditanya suka apa nggak suka jawaban gue tentu gue suka sama lo, Ru." Nah, kan? "Tapi rasa suka yang gue rasakan untuk lo hanya sebatas teman saja, nggak lebih dari itu."

Aku masih tetap memicing menatapnya curiga. "Lo jujur kan, Mas?"

"Ngapain gue bohongin lo? Nggak dapat hadiah juga," decaknya kesal. "Jadi, ikut nggak nih ke Malioboro? Kalau nggak biar gue pergi sendiri saja."

"Ikut dong. Tunggu sebentar ya, Mas, gue ganti baju dulu."

Aku lekas menutup pintu, membiarkan Yogi di luar kamarku. Nggak mungkin kan aku menyuruh dia masuk sementara aku mau berganti baju?

Setelah kurasa semuanya siap aku langsung saja membuka pintu dan menyapa Yogi yang masih setia menungguku di luar kamar. 

"Yuk," ajakku. Dia langsung mengikutiku di belakang dan kami berangkat bersama menuju Malioboro. 

Malam ini aku mengenakan baggy pants warna mocca dan atasan putih tanpa lengan. Rambut sengaja kugerai dan kublow sedikit di bagian bawahnya. Meskipun ini hanya ke Malioboro, nggak mungkin kan hanya sebatas jalan-jalan saja, pasti nanti akan ada sesi foto-foto juga. Jadi meskipun penampilanku terlihat sederhana, setidaknya tidak terlalu norak juga.

****

Malioboro, Siapa yang tidak tahu jalan ini? Jalan Malioboro atau lebih dikenal dengan Malioboro adalah nama salah satu kawasan wisata yang ada Jogjakarta. Jalan ini ada di kawasan tiga jalan besar di Yogyakarta yaitu Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini membentang sepanjang dua kilometer dari tugu Yogyakarta hingga ke kantor pos Yogyakarta. 

Jalan yang juga menjadi jantung sekaligus maskot kota Yogyakarta ini rasanya tidak pernah sepi dari pengunjung. Di pagi hari jalan ini akan dipadati oleh pengunjung yang ingin mencari sarapan atau olahraga, sedangkan di malam hari seperti ini jalan Malioboro ini akan berubah menjadi surganya orang-orang yang ingin berbelanja cidera mata atau hanya untuk berjalan-jalan saja. 

Dari wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara rasanya tumpah ruah menjadi satu di sini semua. Ada yang bersama pacarnya, ada juga yang bersama keluarganya, bahkan ada yang hanya berjalan-jalan bersama teman atau sahabatnya, seperti aku dan Yogi ini contohnya. 

Dan saat mataku melihat-lihat sekeliling, aku jadi membayangkan andai aku ke sini bersama Ranu, pasti aku akan jauh lebih bahagia dari ini. 

Kujatuhkan tubuhku di atas bangku pedestrian yang baru saja kosong, kuselonjorkan kakiku di sana, rasa lelah mendera kakiku setelah berjalan dan berbelanja berjam-jam lamanya, tapi anehnya Yogi sepertinya masih belum puas karena sekarang dia masih hunting dan mengatakan ingin membeli sesuatu. 

Kuabaikan dia yang sedang melambai-lambai menyuruhku mendekat padanya dan tetap duduk anteng di tempatku berada. 

Sembari duduk dan beristirahat, mataku memindai orang-orang yang kini saling berlalu lalang di jalan ini. Semuanya terlihat bahagia. Ada yang sedang duduk berhadapan dengan pacarnya sambil memakan eskrim. Ada yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan. Ada yang sedang menalikan sepatu ceweknya yang terlepas dan ada juga yang sedang bergurau dengan anaknya yang sedang dia gendong sembari berjalan bersisian dengan sang istri. 

Sungguh keluarga yang harmonis sekali. Andai aku sudah punya anak nanti apakah aku akan seperti mereka? Yang jelas kami akan menjadi keluarga yang harmonis sekali nantinya. Ranu yang penyabar dan aku yang penyayang. Bukankah keluarga kami akan semakin lengkap nantinya? 

Dan semakin melihat keharmonisan mereka, tanpa bisa dicegah pikiranku pun mulai berkelana, karena sikap laki-laki itu dalam memperlakukan anaknya sungguh persis seperti bayanganku terhadap Ranu ditambah perawakan orang itu juga sangat mirip dengan Ranu, aku mulai membayangkan bagaimana jika si perempuan itu adalah aku, dan si laki-laki itu adalah Ranu. Betapa bahagianya kami nantinya.

Tapi, tunggu! Bukankah orang itu benar-benar Ranu? Perawakannya, gerak tubuhnya dan caranya tertawa itu benar-benar Ranu sekali. Aku tidak mungkin salah mengenali suamiku sendiri, meskipun aku baru menikah beberapa bulan saja aku tak mungkin salah mengenali. 

Tapi bukankah Ranu ada di Kalimantan? Kenapa sekarang dia bisa ada di Jogja? Lalu, siapa perempuan itu? Siapa anak itu? 

Tidak ingin dibuat penasaran semakin dalam kontan aku mencari ponselku yang ada di dalam tas dengan tangan gemetar, dan setelah kutemukan benda pipih persegi panjang itu aku mulai mencari nomor Ranu dan memanggilnya. 

Bunyi tuut … tuut … tuut seolah menjadi suara yang paling mengerikan di dunia karena sekarang suara itu bagaikan bom nuklir yang siap meledak kapan saja.

Aku mulai melihat ke arah depan sana di mana orang yang kucurigai sebagai Ranu itu sedang mengambil sesuatu dari kantong celananya dan setelah itu ia mengangkat tangannya ke telinga.

"Halo." Itu suara Ranu yang dilatari suara berisik khas keramaian Jogjakarta. "Aru?" 

Aku mulai menghirup udara setelah tadi tak bernapas untuk beberapa saat. 

Aku berdehem agar suaraku tidak terlalu gemetar. "Mas? Eum … lagi di mana kok suaranya berisik?" tanyaku seolah aku sedang tidak melihatnya. 

"Oh, ini." Ranu tak segera menjawab karena di sana dia sedang menarik tangan si perempuan yang hampir ditabrak pengunjung lain yang sedang berlari. "Lagi keluar makannya berisik," jawabnya ringan. 

"Oh. Sama siapa?" 

Ranu lama tak menjawabnya. Dia menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat ponselnya sekilas lalu mengembalikan ponselnya lagi ke telinga.

"Sama teman. Kenapa?"

"Temannya cowok apa cewek?"

Jika Ranu orang yang peka harusnya dia sudah curiga saat aku bertanya demikian, karena apa yang kulakukan sekarang banyak diperagakan oleh para pemain film di televisi tentang seorang istri yang sudah memergoki suaminya yang sedang selingkuh. Tapi sepertinya Ranu masih ingin menyembunyikan perbuatannya padaku.

"Sama temen cowok juga temen cewek. Tadi kami keluar sama-sama," jawabnya berbohong. 

Aku sungguh ingin meneriakinya sekarang juga kalau aku sudah melihatnya bersama perempuan itu,  jadi dia tidak perlu berbohong lagi padaku, tapi aku seolah tiba-tiba menjadi orang gagu. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengatakan apa yang ada di pikiranku sekarang padanya.

"Kenapa, Aru?" tanya Ranu lagi yang seketika membuat lelehan air mata membasahi pipiku. Kenapa aku harus mengalami ini lagi. Dikhianati oleh orang yang kucintai untuk yang kedua kali. Jika dulu ada Wisnu yang terlihat begitu alim, kenapa sekarang harus Ranu yang selama ini selalu bersikap baik padaku? 

Apakah orang-orang yang terlihat baik-baik di luarnya ternyata menyembunyikan kebusukan di balik badannya? Apakah benar jika laki-laki di dunia ini brengsek semua? Dan jika ada laki-laki yang terlihat baik itu hanya kita yang belum mengetahuinya saja?

Kenapa kamu melakukan ini padaku, Mas? Apa salahku padamu? 

Aku mengusap air mataku dan berdehem sekali lagi untuk menormalkan suaraku yang pasti sekarang sudah bergetar. 

"Nggak apa-apa kok Mas. Yasudah selamat bersenang-senang kalau begitu," ucapku ambigu. Tentu saja Ranu tidak akan mengetahuinya.  "Oh, iya aku mau tanya, kamu pulang kapan?" tanyaku lagi memastikan, kali ini suaraku sudah tak sebergetar tadi. 

"Sekitar seminggu lagi, Aru." 

Oh, jadi kamu masih ingin bersama mereka? Baik, jika iyu maumu Mas. 

"Oke. Yaudah selamat malam, Mas Ranu."

Aku menutup teleponku begitu saja dan langsung menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku menangis di sana, di lautan orang-orang yang sedang berbahagia. 

Katanya Malioboro adalah tempatnya orang-orang mengukir kenangan tapi kenapa harus kenangan menyakitkan yang kurasakan?

TBC

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro