Matahari di ujung koridor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Niswa, ayo cepetan. Kurang lima menit lagi dosen udah hadir.” Hilya yang berada beberapa langkah di depan Niswa menoleh, memastikan jika kawan seruangannya itu telah berada tepat di belakangnya.

“Kamu duluan aja deh, Hil. Tobat aku ngejar kamu. Aku telat gakpapa lah.” Niswa menyahut dari belakang sembari menetralisir nafasnya yang terengah, Hilya bukan tandingan yang pas dalam urusan berjalan cepat.

“Aiwa, aku duluan.” Hilya segera mempercepat langkahnya.

Pagi ini, Hilya memiliki jadwa kuliah pukul tujuh. Hilya yang terlahir dari keluarga berdisiplin tingkat tinggi tentu saja gugup luar biasa ketika menyadari bahwa tenggang waktu antara kehadiran dosen dan keberangkatannya dari kos hanya terpaut sepuluh menit. Sebenarnya telah menjadi pemandangan yang lumrah dijumpai di kampusnya, seorang dosen akan hadir lebih awal dibanding mahasiswa. Namun lagi-lagi, gadis ini Hilya. Seorang gadis yang lahir dari pasangan suami istri pendiri sebuah madrasah di Kota Atlas. Seorang gadis yang dibesarkan dengan gaya hidup disiplin. Seorang gadis yang menghabiskan masa remajanya di sebuah Pesantren di Jawa Timur. Hilya telah mempelajari  berlembar-lembar kitab warna kuning yang menjelaskan tentang berbagai adab yang harus dilakukan oleh seorang murid kepada gurunya. Dan datang lebih awal dibanding sang pendidik ketika berada dalam sebuah majelis ilmu, adalah salah satu adab yang ia pelajari.

Namun tampaknya, pelajaran tentang adab itu tak akan Hilya praktekkan pagi ini. Ketika kakinya sempurna menjejaki kampus, Hilya justru berhenti. Matanya membulat bahagia. Disana, di ujung koridor tepat lurus dengan tempat Hilya berdiri, seseorang juga tengah memasuki kampus dari area parkir dosen dengan langkah tegas. 

‘Ya Allah, terimakasih. Sepagi ini aku sudah kau izinkan melihat makhlukmu yang begitu indah.’ Hilya tersenyum di dalam hati.

“Hil, kok masih disini? Tadi katanya keburu telat?” Niswa yang akhirnya berhasil menyusul Hilya ikut berhenti.

“Hust, Nis. Lima detik dari sekarang lebih penting daripada dua jam mata kuliah kita nanti.” Hilya berbisik, tatapannya masih sempurna lurus pada ujung koridor kampus. Niswa yang merasa tidak diperhatikan akhirnya mengikuti arah tatap mata Hilya.

“Huh, Ustad Kece ternyata. Udah ayo Hil, masuk ih. Katanya keburu telat.” Niswa dengan gemas menarik tangan Hilya untuk menaiki tangga, Hilya mengerucutkan bibir sembari mengikuti langkah lebar Niswa.

*****

“Nisaaaaa.......” seisi ruang kelas kontan menoleh mendengar suara cempreng Hilya. Langkah gadis itu bahkan belum sempurna memasuki kelas, namun suara nyaringnya telah lebih dahulu memenuhi ruangan tempat belajarnya itu.

“Ups, afwan. Assalamualaikum sahabat-sahabatku tercinta.” (Maaf) Hilya memamerkan rentetan gigi putihnya demi melihat kawan seisi kelas yang melotot mendengar suara cemprengnya tadi.

“Waalaikumsalam, Miss ribut.” Kali ini Hilya balas melotot kearah seorang lelaki yang baru saja menjawab salamnya.

Setelah mendapat cengiran tanpa dosa dari lelaki yang terduduk dibangku depan, Hilya segera melangkahkan kakinya menuju bangku tempat Nisa sedang memainkan gadgetnya.

“Apaan sih, Hil. Ini masih pagi, udah teriak-teriak aja.” Nisa menoleh sejenak, kemudian kembali sibuk dengan benda kotak di tangannya.

“Barusan ketemu Ustad Kece tuh, Nis. Makanya girang banget. Eh, bukan ketemu sih, orang cuma ngeliat dari jauh. Hilya aja yang lebay.” Belum sempat Hilya menjawab, Niswa yang baru saja memasuki kelas telah lebih dahulu ikut nimbrung.

Nisa refleks menolehkan kepala, ia juga salah satu anggota grup Ustad Kece Lovers, wajar jika ia semangat mendengar apapun tentang dosen kecenya itu.

“Ngeliat dimana, Hil?”

“Di ujung koridor, Nis. Kamu tau? Aku lurus pas ama beliau. Ya Allah, Nis. Rasanya pagi-pagi ngeliat Ustad Kece tuh kayak nonton sunrise di tepian Parangtritis tau gak? Syahdu.” Hilya terkekeh geli.

“Jadi ceritanya, pagi ini kamu nemu matahari di ujung koridor dong?” Nisa terlihat semangat menyahuti cerita Hilya.

“Eh iya bener. Beliau emang kayak matahari, menghangatkan pandangan.” Senyum Hilya merekah. Ia benar-benar mengagumi sang Ustad Kece.

Niswa hanya menggeleng-gelengkan kepala, merasa gemas dengan kedua sahabatnya yang sama-sama memiliki sikap terlampau aneh jika sudah bersangkutan dengan nama Ustad kece.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro