Tujuh: Sepucuk Kekalutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di saat kita sibuk meraba perasaan, mempertanyaan apakah itu cinta atau sekadar rasa nyaman, di saat itulah kita tidak pernah tahu, kehilangan mungkin saja sedang berada di antara kita.

Namita menghela napasnya lega. Ia baru saja keluar dari ruang sidang senat kampus untuk menjalani wawancara tahap satu pertukaran mahasiswa yang akan dilaksanakan di Thailand. Menatap langit-langit ruangan, Namita tersenyum tipis walau masih ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya, membuatnya gelisah semenjak beberapa hari kemarin.

Semenjak dulu, ia sangat ingin mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri. Alasannya, ya karena ingin mencari suasana baru. Kebetulan, pihak kampusnya membuka pendaftaran bagi mahasiswa yang ingin mengikuti program tersebut—dengan berbagai persyaratan, seperti minimal IPK di atas 3,5, sudah lulus IELTS dan berbagai persyaratan lainnya.

Namita hendak melangkahkan kakinya menuruni anak tangga ketika ia mendapati Laksamana sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah kecut. Laki-laki itu tak mengucapkan sesuatu padanya. Tahu-tahu, sudah menarik tangannya menuju lantai satu, lalu bergerak menuju tempat parkir mobil—Laksamana memarkirkan mobilnya di depan gedung Ormawa seperti biasa.

"Jadi kamu ikut program itu dan nggak ngasih tahu aku?"

Namita menoleh pada laki-laki itu. ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil milik Laksa, sementara laki-laki itu mulai mengemudikan mobilnya, meninggalkan kampus.

"Kenapa harus ngasih tahu?"

Mendengus, Laksa mempercepat laju mobilnya. "Kamu itu siapanya aku sih, Nam?"

Pertanyaan bernada kesal juga frustrasi keluar dari mulut laki-laki itu. Dahi Namita berkerut-kerut, hingga membuat tumpukkan dengan alisnya yang sedikit naik.

"Memang harus aku jawab? Aku pikir cincin ini sudah menjawabnya."

Namita menunjuk cincin yang ada di jari manisnya. Baru dipasang lagi pagi tadi, entahlah setelah sebelumnya ia jadikan bandul kalung. Toh, walaupun ia pakai cincin itu mungkin hanya akan dianggap temannya sebagai cincin biasa yang lumrah digunakan oleh perempuan. Teman-teman di kelasnya banyak yang memakai cincin untuk sekadar hiasan jari. Satu lagi, Namita bukan sosok yang suka berbasa-basi, seperti menjawab pertanyaan yang sudah jelas-jelas Laksa tahu jawabannya.

"Kamu itu Nam ... Ya Tuhan!"

Laksa mengeluh, ia sedikit memukul setir menyalurkan rasa kesalnya pada Namita.

"Onhoorbaar groeit de padi, tak terdengar tumbuh lah padi. Kamu tahu Mas itu kalimat milik siapa dan apa maknanya?"

Laksa menatapnya sekilas lalu fokus pada jalanan. Daerah HR Mohammad sedang ramai siang itu. Hiruk pikuk kendaraan saling berlomba-lomba membuat padat jalanan.

"Milik Multatuli, salah satu kalimat yang diagungkan oleh Pak Hatta. Kamu tahu kenapa? Mungkin ada manusia tampak diam, tampak tak bisa apa-apa, ya tampak biasa saja, tapi tanpa diketahui oleh orang lain, sebenarnya dia sedang membangun mimpi-mimpi besarnya, hingga tahu-tahu orang sudah melihat hasilnya, tanpa tahu kapan dia bertumbuh dan berkembang."

Laksamana menggeleng-gelengkan kepalanya. Efek Namita sering membaca, dan kutu buku inilah yang kadang membuatnya pusing menerjemahkan maksud dari perkataan gadis itu.

"Aku ingin seperti itu, Mas. Aku nggak mau gembar-gembor dulu, aku mau kayak padi yang nggak pernah disaksikan bagaimana dia tumbuh, tahu-tahu sudah merunduk dan berisi."

"Demi Allah, Nam. Kalau kamu lulus, kamu akan tinggal di sana selama setahun."

"Memang kenapa?"

Laksa membelalakkan matanya tidak percaya, ia melihat Namita dengan raut wajah keruh dan ekspresi kesal. Lalu setelah tak ada lagi percakapan, ponsel laki-laki itu berbunyi. Nama Mega tertera di sana.

"Kenapa Meg?"

Wajah kesal Laksamana berubah menjadi raut khawatir, laki-laki itu memejamkan matanya sejenak, mencerna perkataan Mega di telepon. Lalu tatapannya beralih pada Namita.

"Yanto masuk rumah sakit, kecelakaan. Aku mau ke sana, kamu mau ikut?"

"Innalillahi. Tapi aku nggak bisa ikut, Mas."

Namita menunduk dengan wajah menyesal.

"Kenapa?"

"Ayah minta aku pulang. Udah pesen tiket kereta, dua jam lagi berangkat."

"Kenapa mendadak sih? Aku anter ke stasiun?"

Namita menggeleng. Ia melihat jam di pergelangan tangannya lalu melihat ke arah jalanan yang mulai terurai.

"Aku turun di minimarket depan aja ya, Mas. Kamu langsung ke rumah sakit aja."

Laksamana hendak membantah, tapi Namita yang keras kepala itu langsung menggeleng. "Aku naik ojol, nggak usah diantar."

Karena terpaksa. Laki-laki itu akhirnya menurunkan Namita di sebuah minimarket di tepi jalan. Ia juga sedang kepikiran dengan keadaan Yanto, yang memang tidak memiliki keluarga di sini. Keluarga laki-laki itu berada jauh di Semarang sana. Laksamana khawatir belum ada yang mengurus administrasi dan menghubungi keluarga Yanto, lebih lagi Mega yang mengabarinya. Ia memang mendelegasikan Mega bersama Yanto untuk mengikuti acara di Balai Pemuda pagi tadi, karena memang dirinya sedang berhalangan hadir.

***

Setelah lama tidak pulang, Namita akhirnya menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Tempat ini masih panas seperti biasanya, eksploitasi minyak besar-besaran sedang menjamahi kota di perbatasan Jawa Tengah ini. Mata Namita berkelana mencari Kang Diman yang menurut sang ayah akan menjemputnya di stasiun.

"Mbak Namita?"

Namita tersenyum tipis, ia menjabat tangan Kang Diman yang sudah keriput dan tampak menua. Namun pria itu masih ceria seperti dulu, seperti saat ia kecil hingga beranjak dewasa. Tidak ada yang berubah dari Kang Diman.

"Apa kabar, Kang?"

"Alhamdulillah Baik Mbak. Mau langsung pulang apa mampir?"

"Pulang Kang hehe, aku belum ketemu Ayah. Kangen."

Pria tua itu terkekeh, lalu membantu Namita membawa tas ransel yang dibawanya. Kang Diman mengiringi Namita membawa mobil yang tadi di parkir di tempat parkir stasiun.

Di dalam mobil, sementara Kang Diman sibuk bercerita banyak hal, Namita sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa waktu ini ia sering merasakan sakit di area dada, jika dipegang, terasa benjolan yang mengganggu di sana. Awalnya ia memang tak mempermasalahkan, sampai ia berkonsultasi dengan ayahnya dan sang ayah memintanya pulang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ada kemungkinan benjolan itu adalah tumor payudara, jika benar, entah apa yang akan dilakukan Namita selain menjalani pengobatan.

Ia seperti sedang tidak menapaki bumi, bayangan penyakit itu membuat kepalanya penuh. Semua impiannya bisa saja tertunda atau mungkin lenyap jika penyakit—yang mungkin bersarang di tubuhnya itu tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Ketika sampai di rumahnya. Namita segera turun, ia hilangkan segala ketakutan dalam dirinya, ia hilangkan segala gelisah, tergantikan dengan wajah bahagia bertemu dengan ayahnya yang lama tak ia jumpai. Namita melangkah sambil tersenyum tipis memasuki rumahnya, gadis itu mendapati ayahnya sedang menonton berita sore dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Hari ini ayahnya mungkin mendapat jadwal pagi, dan pasiennya sedang tidak banyak, oleh karenanya pria tua itu sudah berada di rumah pada pukul lima sore.

"Assalamualaikum, Ayah," sapa Namita lalu mencium punggung tangan ayahnya.

Pria itu tersenyum, mengelus rambut sepundak milik Namita yang tergerai.

"Waalaikumsalam, bagaimana kabarmu, Nak?"

"Alhamdulillah, Ayah gimana, sehat?"

Ayahnya tersenyum tipis. Menghela Namita untuk duduk, "Seperti yang kamu lihat, masih sehat."

"Syukurlah."

Menyandarkan tubuhnya di bahu sofa, Namita ikut memperhatikan berita sore yang sedang ditonton oleh ayahnya.

"Ayah sudah membuat janji dengan Om Danu, besok Ayah antar ke rumah sakit."

Namita menoleh dengan senyum paksa. Ia tak menatap ayahnya, berusaha menampilkan mimik wajah biasa saja, tapi yang ada adalah sebuah ringisan. Raut ketakutan tergambar jelas di wajah gadis berambut hitam itu.

"Nggak usah takut, ada Ayah. Ayah akan melakukan yang terbaik untuk Namita."

Namita mengangguk kaku, seperti ada beban berat yang bersarang di kepalanya. Bayangan Laksamana melintas begitu saja, membuatnya bertambah kalut.

"Ibumu dulu juga pernah terkena penyakit itu," kata ayahnya, mengingat almarhumah sang ibu. Namita tahu, ia masih ingat, oleh karenanya ia tak terlalu terkejut jika terkena penyakit yang sama dengan sang ibu. Bisa saja genetik.

"Ibu bisa, aku juga pasti bisa."

"Kamu gadis kuat Nami, disaat Mbakmu memilih pergi dari rumah karena tidak bisa terus mengingat Ibu, kamu tetap di samping Ayah."

Namita tersenyum, memeluk ayahnya dari samping. Di saat-saat seperti ini, ia jadi ingat ibunya, ia rindu ibunya, ia ingin dipeluk ibunya. Ia ingin menjadi gadis kecil yang manja, yang selalu dimarahi ibunya saat berbuat nakal.

"Ayah berharap kamu nggak terkena penyakit itu, Nam. Kamu masih muda dan banyak hal yang masih bisa kamu raih."

"Ayahhh ... Namita nggak papa kok. Jangan sedih, Namita nggak pengin Ayah sedih. Lagipula, walaupun penyakit itu ada, bukan berarti bisa menghalangi semua impian Namita. Masih bisa diobati, Yah."

"Kamu itu gadis kecil Ayah, bagaimana Ayah nggak sedih, hm?"

Namita terkekeh. Ia mengecup pipi Ayahnya sambil merapalkan doa, berharap penyakit itu tak benar-benar bersarang di tubuhnya. Ia tidak mau melihat ayahnya sedih dan khawatir.

***

"Kenapa? Aku lihat gusar terus?"

"Nggak bisa hubungin Namita dari tadi."

Laksa menggerutu, ia mengecek ponselnya semenjak tadi, berkali-kali mencoba menghubungi Namita tapi selalu tidak diangkat. Semenjak pulang kemarin Namita belum memberinya kabar sama sekali.

"Lagi sama keluarganyalah, Sa. Jangan diganggu dulu deh," ucap Yanto membuat Laksamana berdecak.

Laki-laki itu sedang menunggu Yanto di rumah sakit. Keluarga Yanto baru akan tiba siang nanti, jadi ia masih menunggui Yanto pagi ini.

"Untung aja si Mega cuma lecet, coba luka parah. Bersalah bangetlah aku."

"Makanya jangan oleng kalau nyetir."

"Ya habis ada emak-emak yang nyetirnya slebor, motorku disenggol, dari depan ada mobil, ya keserempetlah. Kampret nggak tuh?"

Laksamana mengedikkan dua bahunya. Tidak mau berkomentar tentang emak-emak yang dimaksud oleh Yanto. Bukan kapasitasnya, karena ia tidak melihat kejadian itu secara langsung.

Laksamana kembali melihat ke arah ponselnya, tidak ada tanda-tanda Namita menghubunginya.

"Jatuh cinta sama Namita?"

Laksamana menghela napasnya. "Menurutmu?"

"Iyalah, kelihatan itu, wajahmu."

Laksamana tidak menampik, namun tidak juga mengiyakan. Ia masih meraba hatinya, bertanya ada dirinya sendiri, apakah benar maksud pernyataan Yanto. Jatuh cinta pada Namita?

"Jangan gengsi lah kalau jatuh cinta, ntar kehilangan orangnya baru terasa."

"Sok tahu."

"Loh, tahulah. Pakar cinta," kelakar Yanto, ia lalu tertawa sambil meringis. Luka di kepalanya terasa berdenyut jika ia tertawa.

"Nggak usah ketawa, lukamu itu tambah parah nanti."

Yanto mengaduh saat sakit di kepala menyergap dirinya, membuat Laksamana tertawa karena ekspresi konyol milik Yanto. Melupakan sejenak kekalutannya karena tidak mendapat kabar dari Namita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro