Bagian 11: Kukira Kita Berbeda 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haii Haiii~ Udah ketemu Senin lagi nih.

Ayo, jgn lupa ramaikan kolom komentar dan vote tiap chapter nya ya 😆

Enjoy reading ☺️

┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Kukira jika tumbuh bersama angsa, aku akan mendapat perlakuan yang sama seperti si angsa kesayangan. Nyatanya, aku hanya itik yang tidak akan pernah menjadi angsa dan terabaikan selamanya.

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 11: Kukira Kita Berbeda 2

Sanuar total uring-uringan. Setelah meninggalkan Abiyyu di Radio Hitz, ia pergi ke fakultas Betari. Tidak menemukan si Cadel-nya di sana malah memperparah suasana hati lelaki itu---yang memang sudah buruk sejak Betari tidak membaca pesannya. Setibanya di rumah, ia langsung memasuki kamar. Abai pada bau jalanan yang melekat pada pakaian. Sanuar bahkan tanpa ragu merebahkan tubuhnya di atas kasur.

"Kemana, sih, si Cadel?" Sanuar mendesah lirih. Menutup bagian atas wajahnya dengan lengan.

Entah mengapa, selama tujuh tahun kedekatan mereka, Sanuar tidak pernah bisa memaklumi keadaan dimana Cadel-nya tidak membalas pesan atau bahkan tidak membacanya. Rasanya seperti ada yang berbeda atau lebih tepatnya seperti ada yang hilang. Saat ini hatinya bahkan diliputi rasa gundah. Menerawang kembali kesalahan atau kejadian apa yang membuat Cadel-nya tidak membalas pesan.

Suara ketukkan pintu membuyarkan konsentrasi Sanuar pada pikiran 'ayo cari tau apa kesalahan gue'. Disusul dengan suara Mbak Dian yang memanggilnya lantang.

"Kok, Beta nggak ke sini lagi, sih, hari ini?" Dian bertanya keki. Mendengkus kasar seraya menatap adik bungsunya itu penuh selidik.

Sanuar memutar bola matanya jengah seraya memunggungi Dian yang masih betah bersidekap di ambang pintu. "Si Cadel kan juga punya rumah kali, Mbak," katanya dengan nada sebal.

"Apaan, nih? Lo kenapa uring-uringan begini?"

Sanuar tidak langsung menjawab. Pertanyaan Dian menghantam telak pikirannya. ,Iya, ya, kenapa juga gue jadi kesel begini?'

"Ngomong-ngomong, lo tadi nge-jajanin Beta apa aja?"

Sanuar sontak saja berbalik. Menatap kakak pertamanya itu dengan alis yang terangkat satu. "Jajanin ... apa?"

"Loh? Lo belum jajanin dia yang mahal-mahal? Duh ini si Beta udah gue minta buat manfaatin lo sebaik mungkin kena---"

"Apaan, sih, Mbak?"

Dian mengerjap cepat. "Lah? Jangan-jangan lo belum tau, ya?"

Sanuar langsung bangkit dari posisi. Kini ia duduk sambil menatap kakaknya penuh tanya. "Tau apa?"

"Betari kan dapet nilai B+ pas pengambilan nilai speaking tadi."

Hah?

Sanuar mengerjap cepat. Lelaki itu mengusak kasar rambutnya sambil melontarkan segala jenis sumpah serapah untuk dirinya sendiri. Merasa bodoh dan tidak berguna saat sadar bahwa ia jelas melanggar janji yang dibuat untuk dirinya sendiri---selalu ada buat si Cadel apa pun keadaannya.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Sementara itu, tidak jauh berbeda, Betari juga bisa dibilang sedang tidak dalam mood yang bagus. Tujuh tahun bersama Kak Alpha-nya, rasanya ia tidak pernah bisa untuk berada dalam keadaan dimana ia menyaksikan sosok Sanuar Alphandi sebegitu akrab dengan perempuan selain dirinya.

"Tadi itu ... siapanya Kak Alpha, ya?" Betari menatap sendu langit-langit kamarnya yang dihiasi stiker-stiker lucu berbentuk bulan, bintang dan planet-planet dalam tata surya.

Lantas perempuan itu hanya bisa memejam. Mencoba sebaik mungkin menelaah sesuatu yang menyebabkan perasaannya menjadi sebegini tidak menentu.

'Ini udah bener, kok, Beta. Kan kamu memang mau coba buat nggak bergantung sama Kak Alpha. Udah bisa buat nggak berangkat dan pulang bareng Kak Alpha. Sekarang coba buat nggak selalu bergantung sama sosok Kak Alpha pas kamu seneng apalagi sedih. Yok, bisa, yok, semangat!'

Tidak lama, Betari mendengar suara motor. Ini jelas tanda dimana sang kepala keluarga baru pulang. Betari bergegas berganti pakaian dengan pakaian rumahan yang tampak lebih nyaman dan membuatnya bergerak leluasa.

"Ayah!" Betari memekik girang. Mencium tangan ayahnya seraya mengambil tas kerja pria itu.

"Wah, ayah disambut---kenapa itu senyum-senyum? Ada maunya nih pasti!" Yudi melempar candaan sambil mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

"Eh? Ayah jam segini tumben udah sampe rumah?" Nia ikut menyambut suaminya setelah selesai berkutat dengan pekerjaan rumah.

"Iya, Ma. Tadi kelas terakhir diisi sama kegiatan seni anak-anak, ayah izin pulang cepet takut keburu hujan."

Betari menaruh segelas air mineral di hadapan ayahnya. "Minum dulu, Yah."

Anak ke dua Yudi dan Nia itu menatap cemas setiap pergerakan kecil orang tuanya. Diam-diam meremat binder dengan gambar anak singa yang tengah disimpannya di atas pangkuan.

"Umm, Ma, Yah, Beta mau kasih liat sesuatu." Betari mengambil satu kertas HVS yang dilipat dan karton kuning ukuran A6 dari dalam binder-nya. "I-ini nilai mata kuliah Pronunciation sama Speaking Beta."

Bola mata Betari bergetar. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika Nia membuka kerta HVS itu dan menampilkan nilai 96 yang dilingkari tinta merah. Pun, B+ yang dilingkari tinta hitam tebal.

"Bagus ... kan, apa mama bilang? Masuk jurusan guru Bahasa Inggris tuh gampang!"

'A-apa?'

Betari mengerjap kikuk. Senyumannya mendadak luntur begitu saja. Ia semakin meremat binder-nya kuat-kuat. Ada berbagai macam kalimat bantahan dan segala amarah yang tertahan di batas kerongkongan.

'G-gampang, ya?'

Betari tidak memersalahkan jika kerja kerasnya tidak dipuji atau bahkan dihargai. Hanya saja, mengapa tanggapan kedua orang tuanya tampak biasa-biasa saja? Ini jelas berbeda ketika Binar memerlihatkan transkrip nilai semester satunya. Nia bahkan tanpa ragu memberitahukan orang-orang betapa cerdas anak perempuan pertamanya. Dengan menunjukkan nilai ini, Betari hanya berharap bisa setidaknya merasakan euphoria itu meski hanya seujung kuku.

Betari benci. Ia benci bagaimana kata gampang meluncur bebas tanpa ragu dari mulut ibunya. Apa Mama nggak pernah liat buku-buku yang aku bawa setiap hari? Apa Mama nggak pernah denger aku yang selalu ngomong sendiri di depan kaca wastafel buat latihan ngomong Bahasa Inggris? Apa Mama nggak pernah sadar lingkaran hitam di bawah mataku ini karena apa?

"Ini disuru tanda tangan, Ma, sama dosennya. Harus dikembaliin soalnya." Betari terpaksa berbohong.

Lihat? Nia bahkan percaya begitu saja alasan Betari. Tidak menaruh curiga sama sekali atas fakta 'kampus mana yang masih meminta tanda tangan orang tua untuk sekadar nilai? Dan lagi, lembar soal yang sudah dinilai itu tidak harus dikembalikan. Ini bukan sekolah menengah, kan?'

"Makasih, Ma, Yah. Beta ke kamar lagi ya."

Padahal, ia sudah berjanji untuk menjadi kuat. Namun, harapan yang diempas begitu saja membuat Betari tidak mampu menahan air matanya untuk tidak mengalir. Tangan kanannya mengepal, memukul-mukul kecil bagian dada yang terasa sesak. Sebisa mungkin tidak membiarkan isakannya terdengar keras. Bukan apa, membiarkan kedua orang tuanya mengetahui ia yang menangis malah akan memperparah keadaan.

Karena Betari paham, orang tuanya tidak akan menjadi sekadar tersentuh untuk merasa kasihan, apa lagi bersalah.

Dalam tangisnya, Betari kembali mengingat momen-momen bersama Kak Alpha-nya. Biasanya kalau sedang menangis begini, Kak Alpha-nya itu akan mengatakan hal-hal random yang setidaknya mampu membuat Betari tertawa atau sekadar tekekeh meski dengan isakan yang belum mereda.

'I-ini baru langkah yang pertama buat nggak bergantung sama Kak Alpha, k-kenapa udah kerasa se-susah ini?'

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
TBC

A/N
Harmonyyy, coba ramaikan vote sama komentarnya, biar Natha semangat update hihihi
Anyway, gimana tanggapannya soal chapter ini, ayok share sini ke Natha 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro