Bagian 35: Tanpa Dirinya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Senin, happy ngabuburead buat Harmony yang sedang menjalankan ibadah puasa~

Sambil nunggu buka puasa, Natha bawain new chapter dari Kak Alpha dan Beta xixi

enjoy reading, Harmony~

━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Kukira aku mampu membenci setiap inci yang ada pada dirinya.

Nyatanya, resah ini justru timbul ketika entitasnya tidak memenuhi pandangan.

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 35: Tanpa Dirinya

Tepat satu minggu, Sanuar Alphandi dan Betari Maharani menjadi orang asing untuk satu sama lain. Tidak ada pesan masuk yang kerap kali membuat notifikasi ponselnya ribut. Pun, panggilan masuk yang selalu menjadi rutinitas di setiap pagi, siang dan menjelang tidur. Tepat sekali, minimal tiga kali sehari. Persis jumlah dosis obat yang wajib di konsumsi. Namun, satu minggu ini dosis itu berkurang drasti. 0.

Bohong kalau keduanya merasa biasa saja atau merasa mampu menjalani hari seperti biasa tanpa kehadiran masing-masing. Karena nyatanya disadari atau tidak, entitas keduanya begitu berarti. Menempati ruang tersendiri. Lantas, saat ruang itu kosong, rasa kehilangan menyadarkan mereka. Mencemooh telak dengan kata-kata, "Ah, begini ya rasanya kalo nggak ada dia."

"Hei, kok ngelamun?" Jamal bertanya lembut. Ah, memang suara dan nada bicaranya selalu berubah lembut ketika berhadapan dengan Betari.

Keduanya sedang berada di teras rumah Betari. Ada Yudi dan Nia juga di ruang tamu yang sengaja duduk di sana untuk bisa mengawasi tindak-tanduk lelaki yang akhir-akhir ini sering sekali datang dan menemui anak gadisnya. 

Sementara itu, Betari yang sejak tadi membiarkan pikirannya melayang kemana-mana tidak langsung menyahuti Jamal. Matanya masih memandang kosong kala ia memberikan gumaman pelan untuk sekadar menanggapi. 

"Beta ...?" lagi, Jamal mencoba kembali menarik Betari dari lamunannya.

"Oh?" Betari mengerjap cepat. "Eh, kok Kak Jamal, sih ...?"

Kening Jamal mengerut rikut. Alisnya terangkat satu. "Dari tadi juga kakak, Betari. Kamu kira siapa? Tom Holland? Oh?! Jangan-jangan kakak di sini dari tadi dan ngomong sama kamu itu, nggak kamu anggap ada?!" 

Oh iya, ya?

Betari jadi merasa bersalah sendiri. Matanya menyayu kala kembali mengingat apa yang ia lakukan sampai melamun. Kak Alpha-nya benar-benar mengambil penuh atensi meski entitasnya tidak tertangkap pandangan. Sejak tadi Betari sibuk melakukan kilas balik akan setiap detil kala Sanuar berada di sekitarnya. 

"Kamu lagi mikirin apa, sih, Beta? Masih soal kakak kelas kamu itu, ya? Siapa tuh waktu itu namanya ... ummm, Alpha? Ah iya, Alpha! Kamu masih kepikiran soal dia?" 

Betari menghela napas. "Iya ...."

Rasanya, Betari melihat tatapan datar dan senyum kecut dari Jamal. Namun, ketika kerjapannya selesai, ia tidak melihat itu. Sempat berpikir kalau ia salah lihat atau berhalusinasi, tetapi Betari bahkan tidak pernah melihat atau sekadar membayangkan wajah Kak Jamal dengan ekspresi lain selain tersenyum tulus.

"Maaf, Kak," ucap Betari pada akhirnya. Bukan apa, perempuan itu hanya takut menyinggung perasaan Kak Jamal. Kasihan juga sebenarnya, lelaki itu sudah jauh-jauh bertandang dari kos-kosannya ke tempat Betari yang memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan motor. Belum lagi, sejak tadi Bogor sedang hujan.

"Eh, kok minta maaf? Nggak apa-apa, kok. Omongan kakak yang waktu di Puncak itu juga jangan kamu jadiin beban ya. I mean it, Beta. Maksud kakak bilang soal perasaan kakak waktu itu cuma pure buat bikin hati kakak lega, bukan mau ngebebanin kamu. Ngeliat kamu sebegini terbebani karena Kak Alpha-mu itu confess, kakak jadi ngerasa bersalah karena udah pernah ngelakuin hal yang sama."

Ada rasa tersentuh kala rungunya mendengar penuturan Jamal. Lagi, ini mengingatkannya pada sosok Sanuar Alphandi. Sosok yang seminggu lalu jelas memntanya untuk melupakan segala pengakuan perasaan yang dilakukan lelaki itu hanya untuk membuat dirinya merasa kembali nyaman. Namun entah mengapa, saat Jamal mengakui perasaannya, Betari mampu bersikap biasa-biasa saja. Tidak ada ketakutan akan sesuatu yang krusial. Lalu, kenapa saat Kak Alpha, sosok yang jelas-jelas bisa ia percaya luar dan dalam, mengakui perasaannya, Betari malah ketakutan setengah mampus

Padahal ketakutan itu tidak jelas datang karena apa. Tidak berwujud pula. Namun, Betari tetap tidak mampu untuk sekadar kembali menyapa sosok yang memiliki ruang khusus di hatinya. 

"Aku ... aku bingung, kak," ucap Betari pelan. Perempuan itu menunduk seraya memainkan ujung jemari.

"Bingung kenapa?"

Betari menggeleng. Rasanya sulit untuk mendeskripsikan perasaan yang seminggu belakangan ini menyesakkan dada. Ia kira, kehadiran Jamal bisa membantu membuatnya melupakan. Nyatanya, gambaran Kak Alpha malah semakin jelas. Menetap telak pada pikiran dan hatinya.

***

"Lo yakin nggak mau ikut gue ke Sulawesi?" Dian kembali bertanya. Kali ini sedikit mebentak karena keki sendiri melihat si adik bungsu yang tujuh hari belakangan ini uring-uringan tidak jelas.

"Nggaaakkk ... kan udah gue bilang dari kemaren-kemaren. Lagian ngapain? Lo sama Mas Rama ke Sulawesi mau honeymoon, kan? Nggak usah pake acara embel-embel alesan perjalanan spiritual deh. Ogah amat gue ngikut, ntar malah jadi nyamuk yang denger kalian desah-desah. Ewh!" 

Wajah khawatir Dian mendadak langsung berubah. Sebal sendiri mendengar jawaban adiknya. Menyesal juga sudah mengkhawatrikan sosok seperti Sanuar. "Terserah ya! Gue udah ngajakin berkali-kali. Wisnu juga bakal sibuk penelitian di Sukabumi. Lo bakal sendirian di rumah dua minggu ke depan. Pokoknya, kalo nanti mati kelaperan gue nggak tanggung jawab!"

Sanuar malah terbahak mendengar sahutan kakaknya yang penuh dengan emosi. Bukan tidak mau ikut, sih. Lusa Sanuar sudah mulai masuk kuliah lagi. Sudah mendekati semester akhir, jelas ia harus menjadi super rajin. Lalu, selain itu, Sanuar rasanya tidak bisa jika harus berada jauh dari Cadel-nya. Terlebih dengan suasana mereka yang seperti ini. Rasanya tidak etis kalau harus pergi. Terlebih seminggu belakangan ini keduanya tidak saling sapa.

"Kamu nih ya, seneng banget becandaain Mbak kamu. Dian itu meski sering ngomel, sayang banget loh sama kamu. Sampe semalem pun pas lagi packing yang jadi topik omongan tuh kamu. Nanti Sanuar makannya gimana, ya? Nanti di rumah sendirian bisa nggak, ya?  Ya saya sih udah bilang kalo kamu ini udah dewasa, pasti bisa ngurus diri sendiri, Tapi balik lagi, kakakmu ini anak pertama, cewek lagi, jadi wajar kalo dia ngerasa kayak ibu yang nggak bisa jauh dari anaknya. Samperin dulu gih sana, ngomong baik-baik. Biar Mbak-mu itu bisa tenang." Rama menasihati. Wajah lelaki itu tampak tenang saat menasihati adik iparnya.

Sanuar menghela napas. Lelaki itu menurut untuk menhampiri kakaknya. Hafal betul dengan tabiat Dian yang akan misuh-misuh sambil menangis. Samar-samar Sanuar mendengar suara Dian yang sedang bebricara. Sepertinya benar dugaannya kalau Dian sedang mengocek sendiri. Atau tidak ...?

"Iya, nih, Mah. Maaf banget ya ngerepotin. Tapi Dian bener-bener khawatir kalau Sanuar sendirian di rumah. Iya, Dian paham banget, Mah, kalo nggak mungkin minta Beta yang nginep di sini hehehe. Nah, mangkanya nih mah, Dian mau nitipin Sanuar di sana. Boleh, Mah?"

Hah? Mah? Beta? Nitipin gue di sana?! 

Ini maksudnya gue mau dititipin di rumah si Cadel?!

***

TBC

Holaaa~~

Wkwkwk menurut kalian Sanuar bakal nginep gak di rumah Beta?

kalo jadi nginep, gimana? kalo nggak jadi, gimana? 

coba sini kasih ide ke Natha, siapa tau nanti bisa Natha masukin idenya di chapter depan. wkwkwk

okeee~ mohon kritik dan sarannya soal chapter ini yaaa~

p.s.

oh iya, special chapter Kakak ketua hima X Betari ini kayaknya akan Natha publish di karya karsa. ummm ... berbayar sih, tapi gak mahal kok. lebih murah dari harga susu uht 250ml kayaknya wkwkwk habis sayang nih, blm ada yg 'order' padahal gratis xixi jadi Natha simpen di sana aja yaa. Berbayar sih tapi kalian gak perlu ikutin rules buat baca special chapternyaa xixixi

oke ~

See you next Monday!

With love,

Natha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro