Bagian 40: Kembali Pulang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo lagiiii

Yuk dimulai dari 0 ya, jangan lupa tekan tombol bintang dan ramaikan kolom komentar 😍

Enjoy reading~
.
.

━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Cukup dengan hadirmu, aku merasa aman.

Tidak perlu saling menggenggam.

Hanya dengan hadirmu, aku bisa tahu bahwa aku sudah kembali pulang.

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 40: Kembali Pulang

Seingat Sanuar, tadi siang perasaannya masih berbunga-bunga. Bahagia karena tahu akan berbincang dengan Cadel-nya lewat telepon nanti malam. Jangan lupakan percakapan singkat lewat telepon barusan yang membuatnya girang tidak karuan. Namun ketika hujan turun, ia merasa gelisah.

Berkali-kali menghubungi nomor Cadel-nya, tetapi nihil. "Ah, iya! HP si Cadel lowbatt, kan katanya tadi!"

Sanuar tampak gugup. Kakinya tidak henti bergerak kala jemarinya sibuk mengetik pesan ke Abiyyu. Bibirnya digigit tipis ketika tidak juga mendapat balasan. Maka dengan cepat ia melakukan panggilan suara. Berkali-kali ringisan keluar dari bilah bibirnya. Lelaki itu semakin tampak gelisah, tidak sbaar karena panggilannya tidak juga diangkat.

[Apaan? Gue baru sam---]

"Bi, please. Anterin gue---ah nggak! Gue pinjem mobil lo deh ya?"

[Oke. Gue ke rumah lo sekarang.]

Abiyyu tidak tahu apa yang terjadi pada Sanuar. Namun mendengar lelaki itu memohon begitu lirih, ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Sanuar bukan tipikal orang yang mudah sekali meminta bantuan. Selama bersahabat dengan lelaki itu, momen Sanuar meminta bantuan bisa Abiyyu hitung pakai jari. Beda lagi kalau itu soal Abiyyu. Sanuar mungkin sudah bosan ketika ponselnya berdering dan mendapati Abiyyu yang merengek soal tugas, atau hal lainnya. Namun, Sanuar tidak pernah tidak ada untuk Abiyyu. Maka dari itu, ketika Sanuar butuh bantuan, rasanya Abiyyu tidak perlu tahu alasannya. Ia hanya perlu menghadirkan entitasnya di sisi Sanuar. That's what friends are for, right?

"Heh! Buruan masuk, gue anter!" Abiyyu berteriak dari dalam mobil. "Duh, lu ngapain, sih, nungguin di luaranjir?!"

"Gue nggak apa-apa, kok."

"Bukan lo! Kursi mobil gue jadi basah itu didudukin sama lo!"

Kalau bukan dalam keadaan genting. Sanuar rasanya akan dengan senang hati memukul bagian belakang kepala Abiyyu. Meski Abiyyu itu selalu baik, tetapi sikap menyebalkan cenderung kurang ajarnya itu selalu berhasil menyulut emosi.

"Anterin gue ke kosan deket kampus, Bi," ujar Sanuar.

"Ngapain?" Abiyyu berujar santai sambil memasukkan persneling mobil.

"Jemput si Cadel."

"Betari? Kok di kosan?"

Sanuar memejam. Entah mengapa, tiba-tiba saja bayangan tidak menyenangkan terlintas di pikirannya. "Perasaan gue nggak enak, Bi. Si Cadel ... Betari ... dia lagi sama Jamal di kosannya."

Abiyyu tidak lagi berpikir panjang. Ia langsung melajukan mobilnya. Inginnya mengebut, tetapi hujan lebat menahannya untuk tetap mengandarai dengan kecepatan aman. "Lo coba telepon Betari lagi coba, San," ujar Abiyyu yang tak kalah gelisah.

"HP dia mati, baterainya abis, Dari tadi nggak bisa gue hubungi. Terakhir nelepon 30 menit yang lalu." Rasanya Sanuar ingin mengomeli Cadel-nya habis-habisan. Sejak dulu, Sanuar sering kali mengingatkan kalau mau pergi, pastikan baterai ponsel penuh atau setidaknya bawa power bank. Betari dan segala sikap bodoamatnya adalah perfect combo untuk definisi menyebalkan.

"Ini bukan, sih?" tanya Abiyyu. 

Keduanya tiba di depan sebuah gang kecil yang di apit rumah makan padang di sisi kanan dan restoran Jepang di sebelah kiri. Sanuar bergegas turun sambil membawa payung kecil yang memang selalu ada di mobil Abyyu. "Lo tunggu sini, ya, Bi. Stand by HP."

Sanuar mengikuti arahan dari map digital yang ada di ponsel. Inginnya, sih, berlari. Namun sekali lagi, ini sedang hujan. Jalanan pun total menjadi licin. Sampai akhirnya Sanuar tiba di depan sebuah bangunan dengan pintu besi abu-abu yang tertutup rapat. Pun, arahan dari map digital sudah berhenti. Sanuar yakin ini tempatnya.

Perlahan ia mencoba meraih bagian dalam pintu dari celah yang memang sengaja dibuat untuk meraih slot pintu tersebut. Ketika masuk, suasana sepi. Tentu saja, karena sedang hujan semua orang pasti memilih menutup rapat pintu mereka. Namun, satu yang mencuri perhatian Sanuar adalah motor yang tadi siang ia lihat di depan rumahnya, juga sendal karet yang ia hafal betul siapa pemiliknya. 

Tidak peduli jalanan yang licin karena lumut, Sanuar berjalan cepat. Melaps asal payung yang digenggamnya seraya mengetuk keras pintu kamar kosan bernomor 01 itu. Tidak juga dibuka, Sanuar mendobrak pintu itu dengan dua kali dorongan keras.

"Bangsat!" Sanuar menggeram lantang seraya menarik kencang tubuh Jamal yang berada di atas Betari.

Napas Sanuar tampak terburu. Raut wajah garam tercetak di wajah yang biasanya penuh senyum. Kedua telapak tangannya mengepal. Dengan gerakan cepat Sanuar menarik baju Jamal hingga membuat kedua wajah mereka berdekatan.

 "Sialan!" Tepat setelah mengucap kata itu, Sanuar seolah diselimuti kabut hitam. Tidak ada yang bisa ia lihat dan dengar selain wajah dan erangan kesakitan lawannya yang tampak hampir tidak berdaya. 

Jamal berkali-kali mecoba membalas. Namun, Sanuar tidak sekali pun memberi kesempatan. Tidak ada maaf untuk lelaki bajingan yang merusak apa yang selama ini ia jaga setengah mati.

"K-kak ...," Betari coba memanggil. Keadaan Jamal cukup mengkhawatirkan. Ada darah yang mengalir dari hidung dan ujung bibir lelaki itu.

"K-kak Alpha!" Berhasil. Sanuar berhenti memukuli wajah Jamal setelah mendengar pekikan Betari yang sedikit lirih. "U-udah."

Napas Sanuar masih terdengar berat. Dada lelaki itu naik-turun seiring hentakkan napas kasar yang ia keluarkan. 

'Nggak bisa, orang kayak dia nggak bisa dikasih ampun.' Dengan pemikiran itu, Sanuar siap mengarahkan tinju tepat di tulang hidung Jamal.

"Kak! P-pulang ... a-aku mau pulang ...."

Sanuar menahan gerakannya, menatap sinis wajah babak belur Jamal yang ada di bawahnya. Ia menghela napas seraya melepaskan genggaman pada baju Jamal. Ia menepuk pelan pipi Jamal yang agak membiru seraya berkata, "Cowok boleh bandel, tapi jangan bejat, bro."

Sanuar menatap Betari dengan tatapan yang sulit diartikan. Keadaan Cadel-nya sangat buruk. Gaun cantik yang ia lihat tadi siang tampak lusuh dengan robekan besar dibagian bahu. Buru-buru Sanuar melepas jaket jeans-nya dan menyampirkan ke bahu Betari.

"Kamu pake payungnya sendiri. Nanti kakak ikutin dari belakang. Di depan ada Abiyyu yang nungguin kita di mobil," Sanuar berucap tanpa melihat Betari. Rasanya hatinya masih tidak kuat melihat keadaan Betari saat ini.

"Kakak nggak pake payung?" tanya Betari sedikit terbata-bata.

"Payungnya kecil, Del. Kalau berdua nanti yang ada kita dempe---"

"Nggak apa-apa, ayo?" Betari menarik ujung kaos Sanuar.

Keduanya berjalan di bawah payung kecil itu dengan sedikit kesulitan. Sanuar masih kukuh menjaga jarak aman hingga tubuh bagian kirinya tetap basah. Tidak apa pikirnya, yang terpenting Betari tidak kebasahan. 

"Pelan-pelan, awas kepalasnya," Sanuar berujar cemas kala ia memayungi Betari masuk ke mobil. 

"Duduk di belakang sama aku, ya?" Betari masih menahan ujung kaus Sanuar. "Nggak dempetan kok. Aku ... nggak mau sendirian."

Sanuar menurut. Meski banyak kata dan kalimat yang ingin  diucapkan, ia memilih diam. Bukan apa, perasaannya sedang tidak stabil. Ia hanya takut semua kata yang ia keluarkan nantinya hanya akan memperburuk keadaan atau bahkan perasaan Cadel-nya. Begitu pula Abiyyu yang sejak tadi melirik-lirik lewat kaca dalam mobil. Bibirnya sudah gatal ingin bertanya langsung pada Sanuar. Namun, atmosfer sekitar memaksanya untuk bungkam. 

***

TBC

Notes:
Uhuuyy chapter selanjutnya adalah chapter terakhir~~

Yok sampaikan perasaan kalian stelah baca chapter iniii

See you soon~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro