0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gerincing rantai kaki bergaung di sepanjang lorong kelabu. Sepasang tungkai telanjang mengayun tak bertenaga, diapit dua kaki besar bersepatu kulit hitam masing-masing di belakang dan di depan yang mengiringi dengan kokoh. Para pemilik kaki itu bergerak ke ujung lorong, di mana cahaya menunggu mereka.

Mentari yang membakar kulit, caci maki, dan cemooh seketika menyambut ketika ketiga orang itu keluar dari lorong. Teriakan yang ada lebih ditujukan kepada orang yang diapit dua penjaga berbadan besar dengan tudung kepala berwarna hitam. Gemuruh suara penonton semakin beringas saat pria dengan rantai di kaki dan tangannya itu diseret kasar ke tengah lapangan bertanah kering.

Di hadapan pria yang telah berlutut dengan dua tombak teracung di sisi kiri dan kanan, sebuah panggung berdiri. Di sana, seorang wanita bertopeng gelap dengan tiara emas dan berpakaian serba hitam berdiri dari takhtanya. Bunyi sangkakala mengiringi setiap langkah sampai dia berhenti di hadapan si pria. Saat wanita itu mengangkat tangan yang mengepal, seketika seluruh suara menjadi senyap.

Dia—yang kini menjadi pusat perhatian—mengeluarkan sesuatu dari lengan jubah yang menjuntai sampai ke bawah, menyapu lantai. Selembar perkamen kulit panjang kemudian melayang di hadapannya bersamaan dengan lengan yang mengayun gemulai.

Dengan suara lantang laksana gemuruh, dia berucap tegas, "Adipati Agra, engkau didakwa atas korupsi, pemalsuan dokumen, penggelapan pajak, dan pembunuhan berencana. Semua merugikan hajat hidup orang banyak yang setara dengan pengkhianatan kepada negara."

Ada hening yang mencekam. Bahkan para penonton dibuat bungkam. Mereka hanya bisa menutup mulut tak percaya dengan dakwaan yang diberikan.

Sang Hakim kemudian melanjutkan. "Engkau dituntut hukuman mati." Dari balik topengnya, dia menatap tajam. "Apakah engkau ada kata-kata terakhir?"

Adipati Agra menengadah, menatap ampun kepada sang Hakim. Air matanya tak mampu dibendung. Bibir merahnya bergetar menahan kata. Dalam bisik-bisik lautan manusia awam untuk setidaknya meminta keringanan, pria itu tahu pembelaan terakhirnya tidak akan berbuah apa-apa. Semua telah diputuskan. Takdir telah ditetapkan.

"Patik[1] hanya meminta kepada Maharani untuk menjamin keluarga patik agar tetap hidup dengan layak," mohon Adipati seraya berderai air mata.

Dia—yang disebut Maharani—hanya menatap dalam. "Hukum telah ditetapkan!" teriaknya.

Sorak-sorai warga yang merasa dirugikan atas tindakan Adipati Agra bergaung.

Dia—yang juga berperan sebagai Hakim Agung—melepaskan topeng, sebagai tanda dan pemandangan terakhir bagi si terdakwa. Wajah putih datarnya menatap dingin sekali lagi, bak melihat makhluk paling rendah yang ada di bumi.

"Algojo!" panggil sang Maharani lantang. Tangannya terangkat untuk menenangkan keriuhan, sekaligus memulai eksekusi.

Pria yang ada di kanan Adipati Agra menyimpan tombaknya di belakang punggung, lantas mengambil kain hitam yang disampirkan di pinggang. Dengan tangan kekar nan cekatan, mata sang Adipati terbalut seketika.

Penjaga lain yang ada di sebelah kiri, menyiapkan pedang dengan bilah melengkung. Dia mengangkat alat eksekusinya tinggi-tinggi, membuat cahaya mentari terpantul menyilaukan.

Sebelum Algojo benar-benar memutus nyawa si makhluk fana, sang Maharani mengangkat tinggi kedua tangannya. Dia pun berujar pada semesta. "Melalui mata baskara, Sang Hyang Adidharma menjadi saksi. Satu lagi hukum ditegakkan. Semoga negeri ini, senantiasa dalam keadilan sejati. Astungkara[2]!"

"Astungkara!" ulang seluruh warga yang ada.

Seiring dengan surya di atas kepala, serta bayangan yang tiada, mata pedang meluncur ke leher sang Adipati yang cendala.

...

Glosarium:

[1] Patik = hamba.

[2] Astungakra = semoga terjadi (atas kehendak-Nya).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro