Part 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak matahari belum menampakkan diri, Asih telah dilanda cemas. Pasalnya, Sarta kembali ke rumah membawa Wira yang tak sadarkan diri. Asih tak ingin tahu bagaimana nasib Kemoja, yang dipikirkannya saat ini adalah kesehatan Wira. Di dalam hati, Asih mulai membenci Kemoja. Gara-gara gadis itu, Wira semakin sakit seperti itu.

Mengapa dulu dia menyetujui Wira menjalin kasih dengan gadis itu? Mengapa dia tak memisahkan mereka lebih cepat? Sungguh, Asih sangat menyesalinya sekarang.

Asih menatap jam dinding bandul kala jam tersebut berdentang lima kali. Meski Subuh telah mengambil alih, tetapi di luar gelap masih menyungkupi hari. Asih tak sabar menunggu Dokter Deni, saudara sepupu Amanda, datang. Beruntung Amanda dengan segera menelepon sang dokter meski malam-malam buta.

“Tante, tenanglah ….” Amanda mengelus punggung Asih dengan lembut.

Asih menangkap tangan Amanda lalu menepuk-nepuknya.

“Terima kasih,” ucapnya dengan suara gemetar. Asih telah menahan tangisnya sejak kedatangan Sarta yang membawa Wira.

“Seandainya sejak dulu kularang Wira mencintai gadis itu, tak akan begini keadaannya.”

“Ya, Tante, Kemoja memang selalu membuat masalah kepadanya. Aku dan Mama sering sekali bilang kepada Wira bahwa gadis kampung itu tak cocok dengannya dan akan selalu menyusahkannya. Tapi ….” Amanda tak melanjutkan ucapannya dan berganti mencebik, kesal.

“Ya, Tante pun salah, seharusnya Tante lebih peka pada kondisi Wira.” Asih memandang kamar Wira yang terbuka. Di dalamnya, pada sebuah ranjang, Wira masih tak sadarkan diri.

“Yang sudah berlalu biarlah berlalu, Tante. Saat ini fokus kita menyembuhkan Wira.”

Asih mengangguk lalu memeluk Amanda. “Terima kasih, Manda. Terima kasih.”

Dalam pelukan itu, Amanda tersenyum. Bukan senyum penuh ketulusan, tetapi senyum licik saat merasa buruan telah masuk ke dalam jeratnya. Dia berpikir takdir telah berpihak kepadanya karena Wira tiba-tiba jatuh sakit. Jika tidak, bisa jadi Asih akan terus mendukung apa pun kemauan Wira.

Sedikit lagi, sahutnya dalam hati, dia akan menjadi Nyonya Bratajaya.

***

Matahari telah naik sepenggalah ketika jasad Ratri telah selesai dikuburkan. Kelopak-kelopak bunga telah ditaburkan, nisan atas namanya pun telah tegak berdiri. Para pelayat selesai memanjatkan doa lalu berbalik meninggalkan permakaman satu per satu.

Hanya Endang yang masih duduk menekur, memandang sendu pusara anaknya. Wajahnya pucat dan masih dipenuhi air mata. Sesekali dengan selendangnya, Endang mengusap air mata di pipinya.

“Menangis seperti itu tak akan membuat anakmu bangun kembali.” Sebuah perkataan menyentak Endang dari bertekurnya.

Endang mendongak dan melihat Ki Darya dengan tongkat hitamnya telah berdiri di depannya. jarak mereka hanya terpisah pusara Ratri.

“Ki … Ki Darya, ke mana saja kau, Ki. Aki bilang akan melindungi dan menolong Ratri. Tapi apa? Ini ….” Endang mengambil segumpal tanah pusara Ratri. “Dia … dibunuh, dia ….”

Endang kembali menangis sambil menggenggam kuat tanah kuburan itu. Tangisannya penuh sakit hati dan dendam. Rasanya, jika ada Kemoja sekarang, Endang sangat ingin mencabik-cabiknya.

“Kalau kau ingin membalaskan perbuatannya, berhentilah menangis, karena kali ini aku akan melawannya langsung.”

Tangis Endang langsung berhenti. Dia kembali menatap dukun sakti itu untuk menyelisik kebenarannya. Pada akhirnya dia percaya sebab pandangan Ki Darya amat serius. Bahkan Endang baru menyadari, Ki Darya menampakkan diri di pagi hari seperti itu artinya kondisi mereka memang sangat serius. 

“Ki … apa pun, aku bersedia membantumu.”

***

Asih dapat menghela napas lega kala mobil mercy berwarna biru kelasi memasuki pekarangan rumahnya. Rosi keluar pertama kali lalu menyongsong Asih, memeluknya ketika Asih menumpahkan tangis. Dokter Deni menyusul dengan menjinjing tas dokternya. Segera saja Asih langsung membawa mereka masuk.

Amanda datang membawa nampan berisi teh dan cemilan. Namun, Rosi menyuruh Dokter Deni memeriksa kondisi Wira terlebih dahulu. Asih bahagia atas usulan Rosi dan sangat berterima kasih karenanya. Tak lama kemudian, mereka segera memasuki kamar Wira.

Selama pemeriksaan itu Asih tak berani bertanya apa pun. Dia cemas menunggu hasil pemeriksaan sang dokter. Selesai memeriksa, Dokter Deni menoleh lalu melepas stetoskop.

“Bagaimana?” tanya Asih dengan segera.

Dokter Deni tersenyum. “Saraf-saraf tubuhnya menolak respon yang dipaksakan, itu kenapa dia tak sadarkan diri.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Wira ….”

“Tante tenang saja, saya akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Wira.”

Asih mengangguk. Ada secercah harapan dalam hati dan pikirannya. Sungguh jika tak ada Amanda dan Rosi, Asih bingung apa yang harus dilakukannya.

Selesai memeriksa Wira, mereka semua keluar untuk membiarkan Wira beristirahat setelah sang dokter menyuntikkan obat. Asih membawa tamu-tamunya ke ruang tamu sebelum berlalu ke dapur untuk menginstruksikan pelayan membuat makanan dan minuman.

Seperginya Asih, wajah Rosi yang penuh senyum ketulusan berubah menjadi penuh ejekan. “Begitu mudah dibodohi,” ucapnya setengah menggumam.

“Apa benar kondisi Wira baik-baik saja? Aku sudah memerintahkanmu membuatnya lumpuh sampai akhir hayatnya.” Rosi berbisik di telinga Dokter Deni.

Dokter Deni terkekeh-kekeh. “Tante dan Manda tenang saja, obat yang kusuntikkan tadi kandungannya akan melemahkan saraf-saraf tubuhnya. Bisa jadi, dia akan menjadi idiot nanti.”

Rosi ingin tertawa terbahak-bahak. Dia puas membalaskan sakit hatinya kala Wira dengan mudahnya mencampakkan Amanda. Sekarang, melihatnya lumpuh dan tak bisa apa-apa, tentu tak akan ada yang mau menikahinya. Amanda pilihan satu-satunya yang akan bergelar Nyonya Bratajaya.

***

Karena majikan muda sedang jatuh sakit, para pelayan tak ada yang berani mengganggu bahkan sekadar melewati kamarnya. Mereka memilih jalan memutar, kecuali bila datang bersama Asih. Karena itulah, kamar Wira lebih hening dan tenang. Hanya sepoi angin gunung yang masuk dan membersihkan sirkulasi udara di dalamnya. Dan melalui angin itulah, Kemoja memasuki kamar Wira.

Wira terbaring di ranjang, terpejam bagai pulas. Reaksi obat yang diberikan dokter membuat saraf pada indra-indranya lumpuh. Benar-benar lumpuh hingga jika dicubit pun, Wira tak bisa merasakannya.

Kemoja menggerakkan tangannya bagai mengipas. Pintu kamar perlahan-lahan menutup tanpa membuat suara sedikit pun. Setelahnya, gadis itu menaiki ranjang dengan pandangan sendu.

“Maaf, Kang. Maafkan aku ….” Kemoja membelai rambut Wira lalu mengecup keningnya.

“Ini mungkin terakhir kali aku menemuimu, Kang. Banyak hal dan rahasia takdir yang tak dapat kita capai bersama. Maafkan aku ….” Kemoja terisak sambil mengecupi tangan Wira.

Sungguh, jika dia bisa memilih, dia ingin tetap sebagai manusia biasa. Namun, seiring waktu-waktu yang berjalan, pada akhirnya kisah mereka tak akan pernah bersatu sebagaimana kisah cinta sepasang manusia biasa.

Kemoja menaruh tangan Wira kembali dengan lembut lalu mengusap air matanya. Dia melirik kaki sang kekasih, memindainya hingga cahaya hijau matanya bersinar terang. Detik berikutnya, Kemoja mendekatkan bibirnya pada bibir Wira, membukakannya lalu meniupkan cahaya hijau yang keluar dari mulutnya.

Itu adalah hadiah terakhir. Wira harus sembuh dan melupakan dirinya. Ya, Kemoja menghapus semua ingatan Wira tentangnya. Ketika dia terbangun nanti, nama Kemoja tak pernah ada dalam memorinya.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro