Part 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Dia dalam pengaruh setan wanita itu.” Mata Ki Darya memelototi Wira.

Wira masih tak sadarkan diri. Dengan dibantu Ki Darya, tubuhnya dibaringkan ke sofa. Asih dengan cemas memeriksa suhu Wira dengan menempelkan tangannya pada dahi anaknya. Tubuh Wira dingin dan berkeringat hingga membuat cemas ibunya.

“Kau masih tak percaya dengan ucapan Ki Darya? Anakmu akan menjadi korban berikutnya.” Endang ikut mengompori.

“Benar. Amanda adalah salah satu korbannya. Beruntung, Ki Darya menyelamatkannya,” ucap Rosi sambil mengapit Amanda keluar dari kamarnya. Wajah gadis itu masih pucat, tetapi luka-luka melepuh di tangannya telah mengering.

Asih terkejut dan melirik Ki Darya. Apakah memang dia sesakti itu, pikirnya.

“Tante … jangan sampai Tante terlambat menyadari sehingga mempertaruhkan nyawa Wira.”

Asih kebingungan. Rosi, Endang, serta Amanda merongrongnya sana-sini, membaurkan berbagai kata-kata menakutkan yang membuat Asih memikirkan sesuatu yang mengerikan.

“Lalu, apa yang harus kulakukan, Jeng Rosi?” Asih teperdaya. Dia melirik Wira yang masih tak juga sadar.

Rosi tersenyum lalu mengelus punggung Asih. “Kau tenang saja, Jeng Asih. Ada Ki Darya yang siap membantumu.”

Asih memandang dukun dengan sisi wajah penuh luka bakar itu. Dia menunduk, ada keraguan yang masih mengelindan di hati. Namun, rasa takut kehilangan Wira pun tak kalah mendominasi.

“Aku … baiklah.” Asih mengangguk perlahan, ragu-ragu. Namun, segera dia menghilangkan keraguannya itu ketika melihat Wira kembali.

Rosi dan Endang saling melirik. Keduanya merasa bahagia kala target telah masuk ke lubang jebakan. Dia tak peduli dengan kondisi Wira, yang dia pedulikan hanyalah bagaimana menguasai harta Bratajaya. Bahkan jika Amanda harus menikah dengan mayat Wira pun dia akan melakukannya. Sekufu dengan Rosi, Endang pun tak peduli nasib pria itu, yang dipedulikannya hanyalah melihat pria itu mati dan menemani arwah Ratri di alam baka sana. Ya, Ki Darya menjanjikan hal itu.

Mendengar persetujuan Asih, Ki Darya tersenyum sinis. Tanpa izin kepadanya, dia mulai mendekati Wira. Tongkatnya berketuk-ketuk ketika beradu dengan lantai, satu-satunya suara yang memecah hening di dalam rumah besar itu. Ketika dia telah berdiri di sisi Wira, Ki Darya mengulurkan tangan berniat memegang dahinya. Akan tetapi, sesenti lagi telapak tangan itu menyentuh dahi, Wira membuka mata lalu menampik tangan sang dukun.

Wira tersnegal-sengal. Kepalanya kembali pusing, tetapi pandangannya mulai kembali jernih. Dia memelototi Ki Darya yang memandangnya dengan dingin.

“Wira!” Asih akan beranjak menyentuh anaknya, tetapi Ki Darya menghentikannya.

“Jangan mendekatinya!”

“Apa?”

“Dia.” Ki Darya menunjuk Wira. “Dalam tubuhnya, pengaruh wanita setan itu amat kuat. Jika kau mendekat, kau dan anakmu akan mati.”

“Omong kosong!” bentak Wira, “Apa maksudmu?”

“Kau penuh pengaruh setan. Kau harus disembuhkan!” Endang menambahi dengan wajah penuh keangkuhan.

Meski Wira masih dilanda pusing, dia mencoba bangkit berdiri. “Pergi! Pergi dari sini!” perintahnya, penuh amarah.

Asih membelalak saat melihat Wira memelototi semua orang yang berada di skeitarnya. Dibandingkan memihak mereka, Asih memilih anaknya, maka segera di menerobos tangan Ki Darya yang emncoba menghalanginya.

“Wira adalah penguasa rumah ini, dia berhak mengusir siapa pun yang tak dikehendakinya.”

“Jeng Asih, apa kaulupa dengan apa yang kukatakan sebelumnya? Wanita setan itu ….”

“CUKUP!” sentak Wira. “Aku menyuruh kalian pergi! PERGI …!”

“Wira ….” Amanda mencoba membujuk, tetapi belum selesai kata-katanya, Wira kembali membentak.

“Kau buta dan tuli? Aku mengusir ibumu dan teman-temannya.”

Amanda mundur beberapa langkah. Ada rasa takut mengelindap ketika memandang mata Wira yang dipenuhi api kemarahan. Wira tak main-main, kemarahannya tak dapat dipadamkan dengan apa pun, kecuali mereka pergi.

Endang akan menyahut dan membalas dengan kemarahan yang membuncah. Namun, Ki Darya memberikan tanda dengan tangannya agar dia diam.

“Anak Muda, aku akan pergi seperti maumu. Tapi … semua yang kukatakan kepada ibumu semuanya benar. Kau dalam pengaruh perempuan setan itu. Cepat atau lambat kau akan datang mencari bantuanku.”

Selepas berkata demikian, Ki Darya berbalik lalu melangkah pergi. Endang menyusulnya setelah meludah secara sembarangan ke lantai. Sementara Rosi dan Amanda sempat gamang, tetapi ketika Wira melirik mereka dengan sinis, keduanya memutuskan berbalik dan mengikuti Endang.

Ruang tamu sangat lengang dan hening setelah kepergian mereka. Asih mendudukkan diri di sofa sambil memijit keningnya. Dia benar-benar lelah dan dibuat pusing oleh kejadian ini. Apalagi kata-kata terakhir Ki Darya amat terpatri dalam pikirannya. Dia takut bila Kemoja memang memberikan tuju kepada Wira.

“Bu … apa maksud dukun itu sebenarnya? Perempuan setan yang disebutnya, siapa dia?”

Asih memandang Wira dengan tatapan sendu. Sungguh, hatinya sangat gamang. Dia takut Wira kembali tergila-gila kepada Kemoja dan nekat akan melakukan apa saja. Akan tetapi, melihat betapa tak mudah dibodohinya pria itu, Asih tahu cepat atau lambat Wira akan mengetahuinya.

“Kemoja … dia ….”

***

Setelah keluar dari rumah Bratajaya, Rosi mengikuti ke mana pun Endang pergi. Bahkan, ketika Endang membawanya ke pondok Ki Darya, Rosi dan Amanda tak banyak bicara. Keduanya dipenuhi dendam dan sakit hati karena perlakuan Wira. Sebab itulah, dia berniat ingin memberikan sedikit pelajaran kepadanya.

“Sebenarnya, Kemoja itu … apakah dia sudah mati?” Amanda tiba-tiba bertanya.

Endang dan Ki Darya mendongak hampir bersamaan. Ki Darya terkekeh-kekeh, tawa yang membuat Amanda merapatkan diri pada ibunya.

“Ya. Dia sudah mati. Tapi … kekuatan besar kembali menghidupkannya.”

Amanda dan Rosi saling berpandangan dengan heran. Endang pun melirik Ki Darya dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini dukun itu tak pernah menceritakan apa pun yang diketahuinya berkaitan dengan Kemoja.

“Dahulu kala, pada zaman Pajajaran berdiri, seorang putri yang cantik jelita menjadi momok kecemburuan seorang selir ayahandanya. Sang selir begitu bernafsu menguasai kerajaan sehingga hanya boleh anaknyalah yang menduduki tahta. Berbagai upaya dia lakukan hingga kemudian dengan kekuatan sihirlah semua dikendalikan dengan mudah.

Sang putri menjadi buruk rupa. Seluruh tubuhnya dipenuhi borok bernanah. Berbagai sayembara mencari tabib penyembuh sang raja lakukan, tetapi penyakit putrinya tak kunjung sembuh.

Rakyat diperdaya dengan isu-isu yang mudah menyulut keributan. Sang putri dikutuk sehingga mereka takut kutukan itu akan berimbas kepada para rakyat. Maka karena desakan itu, sang raja terpaksa membuang putrinya ke hutan.”

“Pada hutan itu justru sihir terjahat dilakukan sang selir. Dia menyuruh dukun santet kembali mengirimkan berbagai sihir yang pada akhirnya sang putri harus berlari makin jauh lalu menceburkan diri ke laut.”

Ki Darya memandangi tiga perempuan di depannya. “Ya, benar. Laut selatan. Dia adalah Putri Kadita.”

“Lalu, apa hubungannya dengan Kemoja? Apa hubungannya dengan ini semua?”

Ki Darya menyeringai. “Sangat berhubungan. Tak ada yang mengetahui bagaimana Putri Kadita dapat membangun kerajaan di laut selatan. Namun, dendamnya kepada sang selir juga tak pudar. Dia memburu dukun yang membuatnya diliputi sihir, mereka bertarung tetapi Kadita tak membunuh dukun itu. Dia mengutuknya, kutukan ribuan tahun yang membuatnya hidup dalam kegelapan, hanya darah gadis prajna yang akan melepaskannya. Namun … gadis prajna hanya dilahirkan dari pernikahan ras manusia dan trah markayangan.” Ki Darya melirik Endang lalu melanjutkan, “Ayah Kemoja … bukan seorang manusia, dia trah markayangan, panglima Kerajaan Laut Selatan.”

Endang membelalak. Kenangan masa lalu berkelebat yang mengungkapkan banyak keanehan pada pria yang sampai saat ini pun tetap terpatri di hatinya.

“Karena jatuh cinta kepada manusia, dia melepaskan hak istimewanya, termasuk permata agni yang merupakan sumber kekuatannya. Dia mati sia-sia sebagai manusia.” Ki Darya tertawa terbahak-bahak kala ingatannya berpendar pada masa silam, saat kerisnya menghunjami pria itu. Namun, meski dia menang, wajahnya hangus terbakar karena pria markayangan itu sempat mengeluarkan kekuatan terakhirnya sebelum mati.

“Lalu … apakah Kemoja ….” Endang terbata-bata bertanya.

Ki Darya tersenyum sinis. “Bahkan jika dia mempunyai permata agni di dalam dirinya, aku masih bisa mengalahkannya,” ucapnya demikian angkuh.

***

Sepoi angin membelai wajah Kemoja di atas tebing keraton. Ombak menghantam di bawah tebing, menderu-deru dahsyat seolah-olah gambaran hatinya kini. Pakaiannya serba hijau dengan sulaman benang emas, kain jarik parang menambah kesan keindahannya. Namun, dari semua sisi penampilannya, parang hitam yang dililit dengan selendang hijau, membuat auranya berubah. Parang itu digenggam kuat pada tangan kirinya bagai sebuah kuasa dan ikrar kepada alam semesta, bahwa dia adalah penerus ayahandanya.

Panglima Kerajaan Laut Selatan.

End versi LovRinz dan Wattpad.

----

Para pembaca yang budiman, perlu diketahui Kidung Kemoja kuikutkan lomba di grup LovRinz and Friends dan keluar sebagai pemenang juara pertama.

Nah, bila ingin membaca lanjutannya, silakan boleh PO novel ini ke WA-082126060596

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro