Author's fav. fiction #3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt : If things were different ....
Genre : Fluff, romance

.
.
.
.
.
.
.
.

If Us ....

"Eric, kalau kamu tidak pernah jadi vampir, bagaimana?"

Nice move, Pranata. Untuk kesekian kalinya, kamu berhasil membawa topik sensitif yang amat dihindari pemuda Crowley. Pembicaraan mengandai-andai pada sesuatu yang belum pasti itu adalah hal yang paling tidak ingin Eric singgung, tapi kenapa si gadis Blossom ini tidak pernah peka?

Helaan napas terdengar, tampaknya Eric tidak bisa menghindar untuk saat ini. Lyra yang selalu menanyakan hal aneh secara tiba-tiba, pasti ada yang tidak beres di baliknya. Artinya, Lyra sedang tak baik-baik saja.

Dasar, kenapa wanita selalu saja bisa meluangkan waktu untuk overthinking? Bukankah tidur malam lebih baik untuk merawat kulit? Yang Eric tahu, stress juga bisa menyebabkan penuaan dini.

"Yah, kalau begitu. Aku tidak akan pernah bertemu denganmu."

Lyra menoleh; Eric tidak mau lihat, ia melirik ke arah lain.

Rasanya ia belum pernah memberitahu masa lalunya dengan jelas pada si bungsu Pranata, ya? Terakhir kali, Eric hanya memberitahu bahwa ia ingin melupakan sesuatu dari memorinya yang begitu pahit di masa lalu. Tapi, Lyra tidak pernah mengetahui apa memori itu. Waktu itu ia hanya dapat memeluk Eric, dan mendapatkan satu klu bahwa memori yang disebutkan adalah menyangkut tentang seseorang.

Entah siapa.

"Kenapa jadi tidak bertemu?" Lyra mengerjap bingung. Eric menggigit lidahnya, ia tidak bisa mengatakan kalau ia datang ke Edentria adalah atas saran Hannah; pemimpin kelompok vampir yang menjaganya.

Juga cerita sebelum Eric berada di dalam pengawasan kelompok vampir. Bagaimana calon istrinya; Astrid mati dengan tragis di depan mata, di hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan semua orang. Khususnya bagi mereka berdua.

Ugh, kepala Eric berdenyut nyeri mengingatnya. Moodnya perlahan surut, namun ia harus tetap menjaga diri agar respon yang keluar tidak menyakiti perasaan sang gadis Blossom.

"Kalau aku manusia. Aku tidak akan pernah ke sini. Aku akan ada di Korea, menjadi seorang pria biasa dengan kehidupan biasa. Damai, tidak ada sihir, tidak ada perang," kali ini, Eric melirik dengan ekor matanya; iris jelaga miliknya bersitatap sekilas dengan manik hazel manis, "dan, tidak ada kamu."

Lyra terpaku selama beberapa detik. 'Tidak ada kamu,' katanya. Mereka tidak akan pernah bertemu. Eric tidak akan pernah mengenal Lyra, dan Lyra tidak akan pernah mengetahui keberadaan Eric.

Dalam bumi yang diisi oleh milyaran juta orang yang tersebar di berbagai benua, kemungkinan mereka tidak pernah bertemu jika Eric menjadi manusia adalah hal yang masuk akal. Bahkan mungkin, kemungkinan saat mereka bertemu kini, hanyalah angka-angka kecil yang berhasil didapat karena sebuah keberuntungan atau takdir.

Takdir, ya?

Lyra memeluk lututnya, jantungnya serasa kosong tanpa detak yang berarti ketika memikirkan hal semacam itu. Mereka mungkin tidak akan bertemu, itu masuk akal. Tapi, Lyra tidak menerimanya.

Rasanya sendu sekali.

Sebuah tangan mampir, mengelus pucuk kepalanya. Lyra menoleh, lagi-lagi kedua iris mata menukar pandang. Kali ini, lebih lama. Seakan menyelam dalam pikiran, seakan berusaha memahami perasaan masing-masing.

Eric benci masa lalu dan ketidakpastian, melihat Lyra begitu jelas berada di hadapannya kini; sedikitnya, Eric merasa lega.

"Tidak usah pikirkan itu." Jujur, Eric lelah. Tapi, ini Lyra di hadapannya. "Aku ada di sini sekarang."

Lyra tersenyum; sebuah pelukan mengakhiri sesi pengandaian mereka.

[END OF ARCHIVE - #3]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro