Chapter 3 - CALM DAYS, PASSING BY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Aku akan melakukan apapun,

meskipun aku harus terus berbohong pada diriku sendiri.

Agar kita dapat terus tersenyum,

agar kita dapat berpetualang di kehidupan ini bersama,

agar kau dapat tetap menjadi dirimu sendiri.    

***


"Apa benar ini adalah 'Wonderland'?" gumamku pada diri sendiri sambil mengedarkan pandangan. Merasa sangsi.

Aku berdiri terpaku sambil menggengngam sebuah gagang sapu di tangan kanan dan kain lap di tangan satunya. di tengah ruangan luas berbentuk persegi panjang berlantai kayu dan dinding bercat krem kusam. Menggenggam sebuah gagang sapu di tangan kanan dan kain lap di tangan satunya.

"Hei! Kenapa kau diam saja?! Bukan waktunya untuk melamun!" bentak gadis berekor kuda padaku. Dia memelototiku dengan bola mata hijau zamrudnya.

"Sudahlah, Dedee .... Jangan terlalu keras pada Joker. Dia baru saja mengalami hari yang berat." Madam Duch berusaha menenangkan gadis itu dengan senyumnya yang meneduhkan.

Tweedledee, gadis yang menyemprotku tadi, menatap tajam Madam Duch.

"Kau terlalu memanjakannya, Madam! Kulihat dia sudah baik-baik saja. Dan dia sudah tidur seharian! Demi Tuhan ..., sulit sekali untuk membangunkannya," keluh Dedee.

Benar. Aku hari ini bangun saat hampir jam makan siang. Sungguh rekor yang luar biasa. Terbangun oleh teriakan melengking persis di samping telinga kananku. Sampai membuat gendangnya berdengung.

"Terlebih lagi, kenapa aku harus meminjamkan pakaianku yang berharga padanya?" sambung Dedee cemberut.

Dia melirik blouse putih lengan panjang dan rok hitam berenda selutut yang kugunakan dengan wajah memelas. Seakan dia tak akan bertemu lagi dengan mereka. Well, memang pakaian yang manis.

"Aku tidak akan merebutnya dari tanganmu. Akan kukembalikan padamu setelah kucuci," kataku sambil memandangnya dengan tenang. "Aku akan berusaha untuk tidak membuatnya kotor."

Mata biru Dedee menyipit. Seakan memberi peringatan bahwa diriku tidak akan selamat jika terjadi apa-apa pada sepasang pakaiannya.

"Kau tak perlu marah-marah seperti itu, Dedee .... Nanti tidak ada pria yang mendekatimu karena ketakutan lho ...," canda Madam Duch. Mata coklat madunya melirik ke arahku dengan sendu. Seakan berkata dalam diam bahwa jangan terlalu memikirkan sikap Dedee.

Well, dia tidak perlu khawatir. Aku memang tidak memikirkannya.

Aku mengangguk sangat pelan untuk menjawab tatapannya.

Sang Madam tersenyum lega melihatnya. Dia lalu melanjutkan kegiatanya menyikat perabotan-perabotan cantik di dalam bar dengan penuh hati-hati.

Dedee yang kesal karena ejekan Madam Duch, menggembungkan pipinya. Dia memutar kepalanya dengan cepat ke arahku, membuat rambut ekor kuda keemasannya berayun.

"Hei, kenapa kau masih diam membatu begitu? Cepat gerakkan tangan dan kakimu. Sebentar lagi jam buka bar," katanya sambil berkacak pinggang. "Jangan harap kau bisa mendapatkan makanan gratis di sini. Kau harus bekerja agar bisa makan."

Wow .... Benar-benar duniawi.

Semakin membuatku ragu bahwa ini adalah 'Wonderland' yang terkenal itu.

Aku mangayunkan gagang sapu yang berada di genggamanku. Membantu mereka membersihkan bar.

Ukuran ruangannya tidak terlalu besar. Ruangan berbentuk persegi panjang yang hanya dapat menampung 5 meja bundar dengan 3 kursi yang semuanya terbuat dari kayu mahoni.

Di salah satu sisinya, didekat pintu masuk, terdapat meja panjang berukir. Di atasnya terpajang bermacam-macam benda antik. Yang paling mencolok adalah gramofon klasik yang sudah tua tapi terawat. Aku yakin alat pemutar musik itu masih bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Pada bagian sisi yang lain jam kikuk besar yang tak kalah kuno menempel erat di dinding. Jam itu mempunyai tiga bandul dan memiliki ukiran kepala rusa di bagian atasnya. Setiap setengah jam sekali, seekor burung akan muncul dari sebuah pintu kecil dan mengeluarkan nyanyiannya yang khas.

Tidak jauh dari jam kikuk, terletaklah jantung dari bar itu. Pantry sederhana tempat bartender meracik minuman-minuman para pelanggan. Bau manis yang tercium di ruangan tempatku berdiri bersumber dari tempat ini.

Dibelakang pantry, berdiri seorang pria muda jangkung berwajah hampir mirip dengan Dedee. Tweedledum, kakak kembar Dedee, sedang sibuk membersihkan dan menata gelas dengan hati-hati.

Tweed, panggilan Tweedledum, memiliki rambut pirang dan iris mata biru yang sama dengan Dedee. Tetapi sepertinya sifatnya hampir bertolak belakang dengan adik kembarnya. Tweed lebih pendiam daripada Dedee. Perbedaan lainnya adalah pria itu tidak begitu peduli dengan urusan orang lain di sekitarnya. Tidak seperti Dedee yang selalu mencampuri urusan orang lain jika ada kesempatan.

Dan juga Tweed agak aneh. Sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin karena otot-otot di wajahnya jarang sekali tergerak.

Sadar bahwa dirinya sedang ditatap, bola mata biru Tweed melirik ke arahku.

"Ada apa, Joe? Kau sudah lapar? Atau kau ingin mencoba cocktail spesial buatanku?" gumamnya.

Aku tak tahu dia bercanda atau serius bertanya padaku. Wajahnya tanpa ekspresi dengan mata setengah terbuka yang terlihat mengantuk.

Dan panggilan itu ....

Apa dia tidak berpikir 'Joe' terlalu maskulin untuk panggilan seorang wanita?

Tapi kalimat itu aku simpan dalam pikiranku sendiri. Entah kenapa aku yakin dia tidak peduli dan akan tetap memanggilku dengan 'Joe' walaupun aku melayangkan beribu keluhan padanya.

Aku menjawabnya dengan gelengan singkat.

"Kau yakin? Padahal aku baru saja mendapat ide baru sebuah resep cocktail. Aku jamin rasanya enak. Kau pasti akan menyukainya."

Aku melanjutkan tugasku, tidak memperhatikannya lagi dan pura-pura tak mendengarnya. Tapi, Tweed terus mengoceh.

"Aku akan membuatnya dari campuran jus jeruk, jus ceri, vodka, tequila, rum, sirup vanilla, dan mungkin akan kutambahkan sedikit jahe."

Ternyata dia jadi banyak omong jika berbicara tentang cocktail.

Dia diam sejenak sebelum berkata dengan nada antusias. "Aku akan menamakannya 'Black Joe'."

"Apa?" celetukku tanpa sadar. Sekali lagi menghentikan gerakan tanganku.

"'Black Joe' ...."

"Tidak, bukan begitu maksudku. Kenapa kau menamainya 'Black Joe'?"

"Apa kau lebih suka jika namanya 'Black Joker'?"

"Maksudku adalah ... kenapa kau memakai namaku untuk menamai minuman itu?"

Kenapa jika berbicara dengan Tweed begitu melelahkan?

Tanpa sadar aku mengerutkan kening.

Tweed menatapku tanpa ekspresi. "Tentu saja karena cocktail itu terinspirasi darimu. Resep itu muncul di kepalaku ketika aku melihatmu untuk pertama kalinya. Cocktail hitam, seperti warna rambutmu. Dengan rasa manis agak pahit. Dan minuman itu akan membuat tubuhmu hangat karena aku mencampurnya dengan jahe. Kurasa itu sesuai denganmu, bukan?" jawabnya dengan raut muka yang tak berubah.

Apa dia sedang mencoba merayuku?

Sepertinya bukan .... Tidak dengan wajah datar seperti itu.

"Kenapa kau berpikir begitu?" Aku menundukkan kepala. Mengalihkan perhatianku pada lantai kayu yang menunggu untuk dibersihkan.

Tweed tidak melihatku lagi. Tatapannya sudah beralih ke gelas-gelas dihadapannya. Tangannya dengan cekatan bekerja menyeka benda-benda bening itu sampai benar-benar mengkilap. "Hm .... Entahlah, terlintas begitu saja di otakku," katanya tak acuh.

Pikiran dan tingkah lakunya benar-benar tidak bisa diprediksi.

"Hei, kalian berdua! Yang berkerja itu tangan, bukan mulut kalian!" Auman amarah Dedee menghentikan pembicaraan kami.

"Dee, aku setuju dengan Madam. Bisa-bisa kau tidak akan menikah seumur hidupmu," celetuk Tweed tanpa menatap Dedee. Masih tetap sibuk dengan gelas-gelasnya.

Mata Dedee membulat, di sana terlukis jelas bahwa pemiliknya sedang dipenuhi oleh amarah. Melotot dengan murka ke arah Tweed. Aku tidak akan merasa heran jika kepala Tweed tiba-tiba berlubang atau meledak disebabkan tatapan itu.

Dengan langkah cepat dan berisik Dedee menghampiri pantry tempat Tweed bekerja. Kedua tangan gadis itu menggebrak meja pantry keras-keras. Yang, aku yakin, membuat kedua telapak tangannya berdenyut sakit.

"Apa katamu? Coba katakan sekali lagi, aku tidak begitu mendengarnya tadi," kata Dedee dengan nada mengancam.

Tweed sudah selesai mengelap semua gelas. Sekarang dia sedang menata gelas-gelas itu di tempatnya.

"Aku hanya khawatir padamu," balas pria itu tenang.

Dedee berteriak,"Tidak terlihat begitu di mataku!"

Pertengkatan saudara yang bodoh.

Aku menghela napas panjang. Ketika aku mengalihkan pandangan dari dua orang yang sedang beradu argumen itu, Ekor mataku tanpa sengaja menangkap sosok Madam Dutch di salah satu sudur ruangan. Mata kami bertemu. Kemudian dia tersenyum padaku dengan putus asa.

Aku kembali melakukan tugas yang diberikan padaku. Tidak mendengarkan lagi pertengkaran dua orang kakak beradik itu.

***


Waktu menunjukkan sudah lewat tengah malam ketika aku duduk di salah satu kursi di pantry. Sudah tidak ada pelanggan di dalam dan kami sudah memasang tanda bahwa bar telah tutup.

"Terima kasih atas kerja kerasnya," kata Madam Dutch padaku. Tersenyum sambil meletakkan segelas coklat hangat lalu duduk di sebelah kananku. "Bagaimana rasanya bekerja di sini?"

Campuran aroma manis dan pahit tercium dari minuman yang berada di hapananku. Aku menggenggam gelas itu dengan kedua tangan. Menunduk, memperhatikan kepulan uap putih yang munari-nari di udara.

"Tidak terlalu buruk," jawabku jujur.

Tugasku tidak berat ataupun memerlukan keahlian khusus, hanya menanyakan pesanan para pelanggan kemudian mencatatnya dan mengantarkan pesanan ke meja mereka. Sedikit melelahkan dan menjengkelkan, ketika kau berurusan dengan pelanggan yang mabuk.

Aku menghirup dalam-dalam aroma coklat sebelum aku menyesapnya. Hangat dari minuman itu langsung terasa di tenggorokanku. Tubuhku yang sedikit lelah menjadi rileks.

Aku meletakkan kembali gelas minumanku di meja lalu memandang Madam Dutch yang juga sedang menikmati minumannya.

"Sebenarnya tempat apa ini?"

Pertanyaanku yang tiba-tiba itu berhasil mengejutkannya. Madam Dutch hampir tersedak oleh coklat hangatnya sendiri.

"Apa maksudmu?" Wanita itu balas bertanya. Dia membalas pandanganku dengan tatapan heran.

Dia hanya pura-pura atau memang tidak mengerti maksud dari pertanyaanku?

"Sebenarnya aku sedang berada dimana?" tanyaku lagi.

Mata Madam Dutch membulat karena terkejut. "Apakah aku belum pernah mengatakannya? Ini adalah Wonderland."

Ya, aku tahu tempat ini bernama Wonderland. Tapi bukan itu yang kumaksud.

"Kalian menyebut ini adalah 'Wonderland', tapi ini bukanlah Wonderland yang kubayangkan selama ini," kataku tak sabar, "Tempat ini terlalu ... 'normal'."

Dan aku tidak mempunyai ingatan tentang diriku sendiri sebelum terbangun di tempat ini.

"Tempat ini seperti—"

Kata-kataku terpotong oleh suara Madam Dutch.

"Joker! Apa maksudmu dengan Wonderland yang tidak seperti bayanganmu?" tanya wanita itu dengan semangat. Tanpa sadar dia mencondongkan tubuhnya mendekatiku. Matanya yang berwarna coklat madu berkilauan. Memancarkan antusiasme, keingintahuan, dan sedikit ketakutan.

"Apa kau mempunyai ingatan sebelum kau tiba di Wonderland?" lanjutnya.

"Apa? Tidak, aku hanya ingat dengan cerita anak-anak tentang Wonderland," jawabku tergagap. Kaget dengan perubahan sifatnya yang mendadak itu.

"Begitu ...," balasnya.

Dia kembali tersenyum padaku. Senyum kekecawaan. Madam Dutch menegakkan posisi duduknya. Wanita itu mendesah kemudia berkata, "Jadi kau juga tidak ingat siapa dirimu, ya ...."

'Juga'

"Jadi, sebenarnya tempat apa ini?" tanyaku lagi, untuk kesekian kalinya.

"Tenang saja .... Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal itu, Joker," ujarnya dengan nada menenangkan.

"Apa maksud anda?"

"Kau aman berada di Wonderland. Selama kau bukan 'Alice', tidak ada yang perlu kau cemaskan," jawab wanita itu dengan ceria sebelum menyesap kembali coklatnya yang sudah mulai dingin.

Selama kau bukan 'Alice'.

Kalimatyang terus terngiang-ngiang di kepalaku malam itu.    

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro