Chapter 4 - I WILL LET YOU DECIDE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hei, apakah kau ingat?

Kata-kata yang kau ucapkan padaku ketika itu.

Walaupun hanya sebuah kebohongan,

akan selalu tersimpan di suatu tempat dalam diriku.

Sekarangpun, kata-kata itu telah terukir di hatiku.

Bagai sebuah kutukan manis.

Yang suatu saat akan menghancurkanku.

***

CHAPTER 4

I WILL LET YOU DECIDE

Lebih dari seminggu telah berlalu sejak aku terbangun tanpa ingatan di dunia ini. Selama itu, aku tinggal dan bekerja di tempat yang dikelola oleh Madam Dutch. Hari-hari itu berjalan dengan normal dan damai, meskipun kebingungan tentang siapa aku dan bagaimana aku bisa berada di sini selalu menghantui pikiranku.

Suatu siang yang terik, saat aku sedang menyapu lantai bar bersama rekan-rekan lainnya, datang seorang tamu yang tak biasa. Seorang pria berbaju zirah abad pertengahan lengkap dengan pedang yang tergantung rapi di pinggangnya memasuki pintu bar dengan langkah ragu. Badannya sedikit membungkuk, kepala berputar ke kanan dan kiri, sementara wajahnya tertutup oleh helm perang yang mengkilap.

Sang kesatria berhenti bergerak saat matanya menemukan pandanganku. Ia mendekat, mengabaikan teriakan Dee yang mencoba mengusirnya karena masuk sebelum bar dibuka. Setiap langkahnya menghasilkan suara gesekan logam yang khas dari baju zirahnya.

"Apakah benar kau adalah orang baru di Wonderland yang banyak dibicarakan orang?" bisiknya dengan suara halus, hampir tak terdengar oleh telinga.

Rasanya seperti di alam mimpi yang aneh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Aku tidak tahu apa yang dibicarakan orang-orang, tapi aku memang orang baru di sini," jawabku cuek, mencoba untuk tetap tenang.

"Sang Ratu memintamu untuk menemuinya," ujarnya perlahan, lalu menambahkan, "sekarang juga."

Oh, tidak. Aku harus menemui sang Ratu, entah yang mana, dengan segera. Apakah aku harus menyembah-nyembahnya untuk mendapatkan pengampunan dan dibiarkan hidup dengan tenang?

Dedee bertanya dengan kasar sebelum aku sempat menjawab. "Untuk apa Ratu ingin bertemu dengannya?"

Sang pria berbaju zirah tetap diam. Dia hanya menatapku dengan mata hijau zamrud yang tampak sekilas dari balik helm berkilatnya.

Dedee sepertinya menyadari bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban apa pun dari sang kesatria dan memilih untuk bungkam. Wajah gadis itu memerah karena kemarahan, dan tangannya mengepal. Aku heran mengapa belum ada adegan baku hantam antara mereka berdua. Mungkin Dedee menyadari bahwa akan sia-sia melawan kesatria yang mengenakan baju zirah besi.

Madam Dutch dan Tweed berdiri diam tak bergerak di tempat mereka masing-masing. Tatapan mereka beralih antara aku dan sang kesatria berzirah.

Wajah Madam Dutch menunjukkan kekhawatiran, dan sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak tahu apa yang harus diucapkan. Bibirnya berkali-kali membuka dan menutup seperti ikan. Sementara itu, Tweed tetap tanpa ekspresi seperti biasanya, dengan mulut terkunci rapat.

Kesunyian itu membuatku merasa canggung.

"Apakah harus?" tanyaku pada akhirnya.

"Ya. Ayo cepat." Sang kesatria menjawab singkat lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan ke luar tanpa menunggu keputusanku.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Kau harus mengikutinya," jawab Tweed.

"Terima kasih, Tweed, atas penjelasan yang begitu mudah dimengerti," kataku dengan nada sindiran.

"Sama-sama," balasnya tanpa terpengaruh.

Dalam hati, aku bersumpah akan mencabut habis rambut pirang Tweed sampai dia botak jika aku berhasil kembali dengan selamat.

"Hei, apakah kau melakukan sesuatu yang membuat Ratu marah?" tanya kembarannya dengan perasaaan yang sepertinya sudah agak tenang.

"Luar biasa, sekarang giliran kembarannya yang menguji kesabaranku," gumamku dalam hati.

"Aku tidak melakukan apapun," jawabku singkat.

Kecuali menendang kelinci gila dengan sekuat tenagaku.

"Sudahlah, berhentilah berdebat," ucap Madam Dutch sambil tersenyum, meskipun masih terlihat khawatir. "Sepertinya kau harus segera menyusul Ksatria itu jika tidak ingin tertinggal."

Aku mengangguk tunduk. Aku tak mau menambah masalah dengan menjadi buronan Ratu. Dengan cepat, aku melangkah untuk mengejar sang kesatria, tanpa memedulikan tatapan heran dan curiga dari orang-orang di ruangan itu.

---

Pria berzirah itu hanya melirikku sekilas ketika aku berhasil menyusulnya dengan terengah-engah. Kami berjalan berdampingan dalam diam.

Menyusuri jalan sempit yang berliku jauh dari keramaian. Walaupun seharusnya matahari bersinar dengan cerah, tetapi di lorong yang sedang kami lalui ini gelap dan menguarkan aroma lembab dinding batu bata yang mengapitnya. Dinding-dinding tinggi yang dingin ini membuatku merasa seperti seekor tikus yang terperangkap di sebuah jebakan. Hanya terdengar suara langkah kaki kami dan kelontangan baju zirahnya.

"Kenapa kita lewat jalan kecil ini? Kenapa tidak lewat jalan besar saja?" bisikku. Entah kenapa aku takut jika suaraku akan menggema. Membayangkan akan ada makhluk-makhluk 'luar biasa' yang muncul dari dalam dinding jika mendengar suaraku.

Sang kesatria tidak menjawab dan terus saja berjalan. Seakan tidak mendengar pertanyaanku.

"Kau tidak tiba-tiba menjadi tuli, kan?" sindirku.

Dia tetap menutup mulutnya rapat-rapat.

Ketika aku memutuskan berhenti berusaha untuk membuka obrolan dan akan menyumpahinya dalam hati, sang kesatria tiba-tiba menghentikan langkah.

Kakiku ikut berhenti bergerak. Aku menajamkan semua indraku.

"Ada apa?" tanyaku was-was.

Apakah ada seseorang, atau lebih buruk lagi ... musuh yang datang?

"Aku tidak suka keramaian."

Aku setengah tidak mempercayai pendengaranku. "Apa?"

"Kita lewat jalan ini karena aku tidak suka keramaian," ulangnya.

Dan aku yakin baju zirah yang kau pakai itu akan membuatmu terpanggang di bawah panasnya matahari.

Ketika aku tak memberinya tanggapan, dia kembali berjalan dan aku mengikutinya.

Kami berbelok lagi ke arah kanan. Entah sudah berapa belokan yang sudah kami lalui. Sepertinya aku tidak akan bisa kembali ke bar tanpa penunjuk arah atau seorang tour guide. Jika aku nekat, kemungkinan besar aku tidak akan bisa keluar dari labirin sial ini seumur hidupku.

"Siapa namamu?" Aku memutuskan untuk sekali lagi mengajaknya bicara.

"Apakah itu penting?" Dia menoleh ke arahku. "Apakah penting untuk mengetahui namaku?"

"Well, aku tidak tahu harus menyapa atau memanggilmu dengan apa," ucapku santai sambil mengangkat kedua bahuku. "Atau kau lebih suka kusebut dengan Si Baju Zirah?"

"White Knight," jawabnya lirih dengan nada sedikit kesal. "Kau bisa memanggilku Knight."

Jadi, yang ingin bertemu denganku adalah si Ratu Putih.

"Kenapa Ratu memintaku menemuinya? Apa dia ada urusan denganku? Atau aku berbuat suatu kesalahan yang tak kusadari dan dia ingin menghukumku? Apakah aku akan dipenjara atau langsung dihukum pancung?" Aku berusaha mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari Knight.

"Entahlah ... dan tutup mulutmu. Sebentar lagi kita sampai," ucapnya kasar.

Kesatria yang tidak berperilaku seperti kesatria, pikirku.

Setelah berbelok ke kiri untuk kesekian kalinya, kami berdua akhirnya keluar dari lorong sempit dan gelap itu. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku menyipitkan mata.

Di depan kami berdiri kastil besar berhalaman luas dengan pagar batu yang kokoh di sekelilingnya. Kastil itu menjulang tinggi dengan menara-menara indah yang menjuntai dari dindingnya. Aku merasa seakan-akan berada di dalam kisah dongeng dengan pemandangan indah di hadapanku. Bangunan kastil yang menjulang tinggi dengan ornamen-ornamen artistik memancarkan aura kemegahan dan keanggunan.

Kami terus berjalan menyusuri halaman kastil yang dipenuhi dengan taman-taman indah. Beberapa pohon besar dan rerimbunan bunga-bunga berwarna-warni menambah pesona area ini. Dalam keheningan, langkah kaki kami terdengar berdentum di teras marmer yang mengarah menuju pintu megah kastil.

Pintu tersebut terbuat dari kayu yang kokoh dengan ukiran yang rumit dan indah. Logam berwarna emas melengkapi detail-detail ornamental pada pintu. Di atas pintu, terdapat lambang kerajaan yang menunjukkan kekuasaan dan martabat Ratu Putih. Dengan gesit, White Knight membuka pintu, mengisyaratkan aku untuk masuk.

Ketika kami memasuki kastil, aroma wangi dari dupa dan lilin menyambut kami. Koridor megah dengan lantai marmer bergaya klasik menghiasi setiap langkah kami. Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan berbingkai emas. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal di atap membuat suasana ruangan terasa hangat dan misterius. Aku merasa seakan-akan berada di dalam labirin megah yang penuh dengan misteri dan pesona.

Akhirnya, kami tiba di ruang singgasana yang megah di dalam kastil. Ruangan ini begitu luas dengan langit-langit yang tinggi, dihiasi dengan lukisan-lukisan besar bergaya klasik.

Di tengah ruangan, terdapat takhta indah yang dihiasi dengan ukiran-ukiran artistik. Di atas takhta, duduk seorang anak laki-laki berumur sekitar 13 tahun. Di kepalanya terdapat mahkota emas yang ukurannya jelas terlalu besar untuk dipakai olehnya.

Rambut emas lurus pendeknya menambah pesonanya, dan bola matanya yang biru menatapku dengan malas dan agak acuh. Aku sedikit terkejut melihat sosok Ratu Putih yang unik dan berbeda dari ekspektasiku.

White Knight berlutut dan menundukkan kepalanya di hadapan sang Ratu dan menyapa dengan hormat, "Ratu, saya telah membawa gadis ini seperti yang Anda perintahkan."

Aku yang berada di belakang sosok White Knight, secara tidak sadar mengikuti tingkah laku kesatria itu.

Ratu Putih menjawabnya dengan nada acuh, "Baiklah. Kau bisa pergi sekarang. Aku ingin bicara dengan gadis ini."

White Knight mengangguk, "Seperti yang Anda kehendaki, Yang Mulia Ratu." Kemudian pergi meninggalkanku di ruang singgasana hanya berdua dengan Ratu.

"Jadi, siapakah kau?" tanya Ratu Putih malas-malasan.

"Nama saya adalah Joker," jawabku singkat. Aku berharap ini tidak akan memakan waktu lama.

Rasanya ada yang salah duduk berlutut di depan seorang laki-laki cilik yang tindak tanduknya tidak mencerminkan anggota kerajaan.

"Joker?" tanyanya heran. Sang Ratu Putih menegakkan posisi duduknya dan menatapku dengan tidak yakin. "Tidak pernah ada nama 'Joker' di dunia ini."

Aku tidak menjawabnya.

Matanya yang menyipit seperti kucing menatapku dengan pandangan menuduh. "Kau berbohong padaku."

Aku mengawasi sekeliling dengan curiga, berbicara hati-hati, "Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Yang Mulia?"

"Aku hanya ingin tahu apa nama aslimu," jawabnya tak sabar.

"Mengapa kau begitu tertarik dengan nama asliku? Apa artinya bagi dunia ini?"

Ratu Putih tersenyum sinis. Dia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Nama asli adalah identitas seseorang, dan identitasmu adalah kunci untuk menyelesaikan tugas besar ini."

"Maaf, tapi aku tidak akan mengaku apa pun. Aku lebih suka tetap menjadi Joker," kataku keras kepala.

Bahkan aku tidak ingat nama asliku sendiri dan kau menyuruhku mengakui sebuah nama entah itu milik siapa?

"Tentu saja, itu adalah pilihanmu. Tapi apakah kau siap untuk menghadapi akibatnya?"

Aku menggigit bibir, berpikir keras. "Apa yang akan kau lakukan padaku jika aku tidak mengaku? Dan apa yang sebenarnya ingin kau capai?"

Ratu Putih bermain-main dengan jubahnya, menjawab agak acuh, "Jika kau tidak mengaku, maka kau akan dikurung di penjara bawah tanah selamanya. Aku ingin kau tahu siapa sebenarnya dirimu."

Aku menatap sang Ratu dengan tatapan gusar. "Apa yang harus kuakui? Bahkan aku sendiri tak ingat siapa sebenarnya diriku. Aku tidak pernah mengerti mengapa nama Alice begitu penting bagimu."

Laki-laki cilik bermahkota itu menatapku dengan serius dan berkata, "Aku tahu bahwa kau adalah yang terpilih. Hanya orang dengan identitas yang kuat seperti Alice yang bisa menyelesaikan tugas ini."

"Tugas apa?" tanyaku curiga.

Ratu Putih berbicara dengan agak gelisah, "Dunia ini adalah dunia imajinasi yang rapuh. Tugasmu adalah menyelesaikan cerita ini dengan cara membunuh Ratu Merah. Jika cerita ini tidak selesai, semua orang akan terjebak selamanya di dunia ini, tanpa akhir."

Aku tercengang mendengar penjelasannya.

"Membunuh Ratu Merah? Tapi mengapa aku harus melakukan hal itu?"

Ratu Putih mengangkat bahu acuh dan menjawab, "Karena kau adalah Alice, dan hanya Alice yang bisa menyelamatkan dunia ini dari kehancuran, atau keabadian yang mengerikan ini. Tugas ini adalah nasibmu, dan kau tidak punya pilihan selain menerimanya."

Aku berpikir sejenak. Menimbang-nimbang kalimat yang akan kuucapkan selanjutnya.

"Bisakah kau memberiku waktu untuk berpikir terlebih dahulu?" pintaku pada akhirnya.

Ratu Putih tertawa kekanakan, menampakkan gigi putihnya yang berjajar rapi. "Kau benar-benar lucu, Alice. Tapi ingat, dunia ini tidak akan memberimu pengampunan. Waktumu terus berjalan, dan tugasmu sudah menunggumu."

Ratu Putih menatapku dengan tatapan tidak sabar dari balik mahkota yang terlalu besar untuknya. Matanya berwarna biru laut yang tajam, seolah mencerminkan lautan yang dalam dan misterius. Tatapannya yang arogan dan agak kekanakan memancarkan kepercayaan diri dan ketegasan yang memaksaku untuk mematuhi kehendaknya. Meskipun usianya terlihat muda, tetapi aura kekuasaan dan ketenangan di matanya menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang tidak boleh dianggap enteng.

Apakah karena dia sudah tinggal lebih lama di dunia ini dibanding denganku?

Sudah berapa lama dia terjebak di dunia aneh ini?

Berbagai pertanyaan mulai bermunculan dibenakku.

Sorotan biru laut yang menatapku itu seolah dapat melihat jauh ke dalam hati, mengungkapkan segala rahasia dan keraguan yang mungkin tersembunyi. Ratu Putih tidak ragu untuk menunjukkan dominasinya dan menegaskan bahwa kehendaknya harus diikuti. Tatapan itu berbicara banyak hal, dari rasa tidak sabarnya atas sikap keras kepalaku hingga keyakinan bahwa dirinya adalah pemegang kebenaran.

Dalam tatapannya yang tajam, Aku merasa seakan dihadapkan pada ombak lautan yang ganas dan kuat, memaksa untuk mengikuti alirannya. Namun, di balik itu semua, ada juga kebekuan, menyiratkan bahwa Ratu Putih mungkin juga menyimpan rahasia dan beban di balik kekanakannya. Tatapan biru lautnya adalah kombinasi antara kearoganan, ketegasan, dan ketidak pedulian, menciptakan pesona misterius yang sulit untuk dilawan.

"Jadi ... apa yang ingin kau lakukan, Alice?"

Aku tahu itu adalah pertanyaan umum yang sering ditanyakan oleh orang-orang.

Apa yang 'ingin' aku lakukan, eh?

Aku mengulang pertanyaan itu dalam hati. Setengah mencemooh.

Entah kenapa pertanyaan tentang 'keinginan' yang ditujukan padaku itu berkesan tak berarti. Dalam dunia ini, aku tidak bisa memilih apa yang ingin kulakukan. Dunia ini sudah menentukan peranku. Aku tidak bisa merubahnya. Dan aku tidak berniat untuk merubahnya.

---

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro