1- Pedagang yang Sial

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malang betul nasib para pedagang itu. Sebelumnya pengawal sewaan membawa lari uang mereka di Garaden, kota perbatasan di timur laut Misty. Kini mereka harus meneguk pil pahit sesampainya di Fira, kota tujuan mereka.

Fira

10000 jiwa

Rumah dari linen terbaik di Misty

Sejak tadi mereka tak bisa berkata-kata. Prasasti di batas kota mematung ketika kota yang dibanggakannya kini hangus dan rata dengan puing-puing. Bukit sehijau zamrud yang menopangnya tak bisa memadamkan bara api terakhir dari arah ladang flax.

Aroma abu bercampur linen hangus menyamarkan bau badan para pengembara dari jauh yang baru saja turun dari kereta kuda. Seorang pria berkacamata dengan pakaian necis hanya bisa gigit jari dan meremas kipas lipatnya. Sontak dia menjejakkan kaki sekuat tenaga sambil menggerutu.

Sungguh ironi mengingat cahaya keemasan membelah awan kelabu yang menaungi kota bak pilar-pilar cahaya di langit Fira.

"Fulgoso!"

Pria dengan badan setegap baja di sisinya tak bisa berkata banyak. Semua cara sudah tidak mempan untuk menenangkan sang majikan yang terus menggerutu di sepanjang perjalanan. Bicara pun salah apalagi membantah.

"Carikan penginapan! Se-ka-rang!"

Begini nasib rombongan Serikat Pedagang Mercer. Akhirnya mereka meninggalkan Fira dengan tangan hampa. Mereka berusaha mencari penginapan terdekat sebelum langit gelap.

Siapa juga yang mau bermalam di tengah liarnya Misty dalam keadaan seperti sekarang?

Fira sudah hancur sebelum mereka datang. Otomatis hal itu memancing keberadaan para bandit dan pencuri yang memanfaatkan situasi untuk menjarah apa saja termasuk para pedagang.

Keberadaan sosok misterius muncul di sekitar Eltia, ibu kota Misty yang juga kota terdekat dari Fira, semakin memperburuk keadaan. Selama ini Misty sudah terkenal dengan binatang buas, monster, dan tebalnya kabut yang menyesatkan pada musim tertentu. Konon sosok misterius itu mematikan siapa saja dalam sekejap. Kabar itu menyebar dari para pedagang dan pengembara yang selamat lalu singgah di Garaden.

Langit semakin gelap. Mega merah sudah menancapkan diri di langit. Hamparan padang flax dan tanah lapang yang menghampar dari bibir Fira berganti hutan perawan. Lolongan binatang buas mulai bersahutan dari hutan sekitar. Para kusir memacu kuda-kuda mereka lebih cepat melewati jalanan yang semakin sepi.

Langit kini berselimut kegelapan malam, tapi mereka tak kunjung sampai pada penginapan terdekat. Jarak pandang semakin terbatas. Pilar-pilar pepohonan menyekat sinar rembulan hingga nyaris tidak menyentuh temaramnya hutan. Menggunakan sihir penerang atau lentera pun beresiko. Setitik cahaya bisa menuntun para bandit dan binatang buas.

Para kusir tak hentinya berdoa demi keselamatan mereka. Tidak terkecuali Fulgoso yang memandu kereta kuda di barisan terdepan. Lagi, dia menenangkan sang majikan yang menggerutu dari dalam kereta kuda.

Mereka belum menemukan pertanda akan keberadaan desa. Sesekali mereka melambatkan langkah kudanya karena situasi di sekitar yang semakin gelap.

Sampailah mereka pada sebuah tempat dengan papan tanda pengenal di depan sana.

Selamat Datang di Desa Pinus

Pepohonan hutan yang semula rapat berganti rumah-rumah penduduk. Cahaya lembut dari kejauhan semakin membesar dari arah berlawanan. Tiga orang pria mencegat mereka di batas desa. Salah satunya membawa sebuah lentera. Fulgoso menghentikan kereta kuda yang diikuti para kusir di belakangnya.

"Siapa kalian?" tanya pria berlentera.

Fulgoso bertanya pada sang majikan, "Sekretaris Firm. Apa yang harus kita lakukan?"

Seorang pria berpakaian necis turun dari dalam kereta kuda. Pakaiannya tetap licin walau suasana hatinya sedang kusut. Bayang-bayang ketiga pria penjaga desa terpantul pada kacamata yang bertengger di hidung.

"Apa-apaan ini? Siapa kalian?"

"Kami adalah anggota regu patroli desa. Siapa kalian? Kenapa kalian berkeliaran di hari segelap ini?" tanya pria pembawa lentera.

"Kami pedagang dari Norbert yang baru saja kembali dari Fira. Bisakah kalian tunjukkan penginapan terdekat dari sini?"

Ketiganya menuntun mereka menuju sebuah penginapan di dekat batas desa dengan istal yang muat menampung hingga 50 ekor kuda sekaligus. Deretan kereta kuda berjajar rapi di depan penginapan. Masih ada tempat bagi para pedagang untuk memarkirkan kereta kuda berisi barang bawaan mereka.

Para pedagang memasuki penginapan. Terdapat sebuah bar di bagian depan penginapan yang ramai dengan orang-orang. Seorang pria bertelinga kucing berdiri di depan meja bar. Pria itu keturunan felis, ras dengan telinga dan ekor kucing yang berayun-ayun saat berjalan. Dia menoleh ke arah rombongan para pedagang yang baru saja datang.

"Selamat datang di Penginapan Pinus. Apakah tuan-tuan ingin makan, minum, atau sedang mencari tempat menginap?"

Sang sekretaris dan Fulgoso mendekati meja bar.

"Adakah kamar yang kosong untuk 20 orang?" tanya sang sekretaris.

"Dua puluh orang? Tunggu sebentar."

Pria bertelinga kucing itu berjalan menuju pintu kecil di belakang bar. Seorang wanita bertelinga kucing berjalan meninggalkan tempat itu lalu berbisik padanya.

"Masih ada kamar untuk sekitar 30 orang. Tarifnya 5 eur untuk semalam. Karena tuan-tuan datang dalam rombongan, tuan-tuan harus membayar 80 eur untuk semalam. Ini sudah termasuk uang keamanan."

"Tidak masalah."

Sang sekretaris langsung meminta Fulgoso mengambilkan uang dari dalam kereta kuda. Felis pria itu meminta felis wanita untuk menggantikannya berjaga di bar. Ia mengantar mereka menuju ke area menginap yang berada di belakang bar.

******

Malam berlalu. Pagi menjelang. Para pedagang memeriksa keadaan kuda dan barang bawaan di luar penginapan. Lebih baik pulang cepat daripada terus merugi.

Keberadaan seorang pengawal memang penting dalam setiap perjalanan bisnis terutama di negeri asing. Para pedagang tidak akan pernah tahu bahaya yang mengintai setelah Fira hancur. Perjalanan pulang menuju Norbert akan jauh lebih beresiko.

"Tuan Sekretaris. Apa yang sedang Tuan pikirkan?" tanya Fulgoso.

Pagi itu sang sekretaris bersama dengan ajudannya menikmati hidangan di sekitar bar, depan area penginapan. Sejak tadi sang sekretaris menghitung aset yang tersisa untuk perbekalan pulang.

Keadaan bar di depan penginapan sedang ramai. Sebagian besar di antaranya adalah para tamu yang menginap. Sekelompok orang berjalan memasuki penginapan. Mereka memesan makanan dan minuman pada wanita felis yang berjaga di sana. Sepasang pria berbincang di meja dekat sang sekretaris dan Fulgoso berada. Salah seorang di antaranya mengenakan pakaian serupa petugas patroli desa.

"Hei. Apa kau dengar kabar soal Fira?" tanya pria yang menyantap roti di depannya.

"Iya. Aku sudah mendengarnya dari regu yang berjaga kemarin. Mereka membawa para pengungsi dari Fira ke desa. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Bagaimana bisa kota itu hancur?"

"Entahlah. Kudengar nyaris tidak ada prajurit yang berjaga di sana karena insiden di Eltia."

"Apa para tabib sudah menemukan obatnya?"

"Entahlah. Kudengar semakin banyak orang yang menjadi korban dari penyakit itu."

Sang sekretaris memasang telinganya lebar-lebar. Pembicaraan di antara para penduduk setempat semakin menarik.

Untung saja para pedagang tidak mencari penginapan di Eltia. Desas-desus yang beredar di Garaden memang benar. Serangan sosok misterius itu menyebabkan penyakit aneh pada para korban. Umumnya mereka akan mati setelah mengalami kehilangan darah sekaligus tubuh yang mengeras. Para tabib kerajaan masih belum menemukan obatnya.

Pembicaraan mereka lalu melebar ke hal-hal lain. Mulai dari masalah keamanan negeri sampai mitos akan sebuah artefak yang tersembunyi di jantung Fira.

Sepasang penduduk yang duduk di dekat sang sekretaris lalu pergi meninggalkan penginapan. Keberadaan mereka menutupi sosok deman yang sejak tadi menikmati makanan di dalam bar. Pendaran cahaya bak berlian kemerahan nyaris membutakan mata sang sekretaris.

Ia tidak seperti deman lain yang berkulit kelabu atau bertotol bak sapi. Kulitnya seputih kanvas tak bernoda. Tanduk hitamnya melengkung persis telinga beruang dari kejauhan. Rambut merah darahnya tergerai sebelum kembali tertutupi tudung dari mantel hitamnya. Ia menyarungkan pedang yang tergeletak di atas meja. Benar saja. Itu kilauan dari mata pedang.

Sang sekretaris berbisik pada Fulgoso, "Apa kau pikir deman di seberang sana itu seorang pengawal?"

Fulgoso mendelik ke arah deman di dekat jendela itu. "Memangnya Tuan Sekretaris pikir semua deman yang membawa senjata itu pengawal?"

Deman memang ras yang terkenal dengan kekuatan fisiknya seperti para orc. Mereka kerap identik sebagai pengawal dan pasukan bayaran. Bukan berarti semua deman seperti itu. Lirikan mata sang sekretaris memaksa Fulgoso untuk membawa deman itu.

Fulgoso meneguk liur. Biasanya deman cenderung kasar dan kerap merendahkan orang lain. Layaknya deman yang membawa lari uang serikat sewaktu singgah di Garaden. Namun, tidak dengan pria itu. Ia justru menuruti permintaan Fulgoso agar segera menemui sang sekretaris.

"Ada gerangan apa hingga Tuan memanggil hamba?"

Kesantunan pria yang menutupi wajahnya membuat sang sekretaris tertegun. Ia duduk layaknya seorang pria terpelajar.

Runa Firm, itulah nama sekretaris berkacamata yang menggulung kembali catatannya. Sekretaris Serikat Pedagang Mercer asal Norbert, negeri nan jauh di utara sana. Dia sedang mencari pengawal untuk mengawal para pedagang kembali ke Norbert dengan selamat. Dia mulai bertanya soal deman itu.

Benar saja. Ia memang seorang pengawal.

Deman itu berasal dari Agartha. Ia selesai mengawal seorang bangsawan Cassia dari sana. Kabar soal keberadaan sosok misterius membuat bangsawan itu meminta bantuannya. Ia singgah di penginapan sekaligus menunggu keadaan Misty membaik. Krisis sosok misterius baru saja teratasi setelah dirinya datang, tapi tirai kabut masih saja merintangi perbatasan dari Misty menuju Agartha.

Runa berusaha membujuk pria deman itu. Tak lupa dia mengeluarkan sekantung uang berisi kepingan emas dan perak di atas meja.

"Sekretaris Firm!" bisik Fulgoso.

Lirikan mata tajam Runa membekukan Fulgoso. "Apa kau ingin menambah kerugian serikat lagi dengan tetap berada di sini?"

Tawaran uang muka 20 keping emas dan 20 keping perak bukanlah uang yang sedikit. Deman memang terkenal sebagai prajurit tangguh, tapi loyalitas mereka sebatas nominal uang. Semakin besar semakin baik.

"Maaf. Hanya itu yang bisa kuberikan. Aku ingin melihat kinerjamu terlebih dulu. Selain itu, seorang penipu mencuri perbekalan kami di Garaden. Kami harus mengirit pengeluaran untuk perjalanan pulang. Sisanya akan kuminta Ketua membayarnya setelah kita sampai di Noto."

Deman itu mulai meraba-raba sekantung uang di depannya. Kini Runa berada di atas angin.

"Apa Tuan tertarik?"

"Masalahnya hamba belum pernah ke sana. Selama ini hamba sebatas tahu jalanan Misty dan Eshanya."

"Tenang saja. Bayaran yang akan kami berikan nanti lebih dari cukup untuk bekal pulang. Kami juga punya peta yang bisa membantu Tuan kembali ke Misty. Bagaimana?"

Deman itu menghela napas sesaat. "Baiklah kalau begitu. Hamba akan melakukannya."

Runa mengulurkan tangannya. "Baguslah kalau begitu. Kita akan mulai bekerja sekarang."

Deman itu menjabat erat tangan Runa.

"Omong-omong, siapa namamu?"

"Namaku tidak penting. Lebih baik Tuan beri tahu apa saja yang harus kulakukan."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro