Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua manusia telanjang beradu di atas ranjang besar. Si perempuan terengah saat si laki-laki bergerak liar di kemaluannya. Jemarinya mencengkeram sprei, berteriak kala merasakan lidah yang bergerak keluar masuk di area intimnya. Harus diakui dalam hati kalau kekasihny sangat mahir dalam bercinta.

"Ameraa, suaramu serak sekali. Suka dengan yang aku lakukan?" tanya Prima sambil mengangkat mulut dari pangkal paha Amera dan menatap tubuh yang sexy dengan mata berkabut.

Amera tersenyum, menggigit bibir bawah lalu mendesah. Dadanya membusung seiring dengan gerakannya. "Kenapa kamu masih tanya, Sayang? Tentu saja aku selalu suka denganmu. Ayo, puaskan aku sekarang."

Prima bangkit, membuka paha Amera lebar-lebar dan memasukkan kejantanannya dengan cepat dan keras lalu bergerak dengan kasar. Amera tidak suka percintaan yang lembut, menyukai sex yang sedikit kasar dan brutal. Karenanya ia tidak bergerak lembut melainkan menggunakan seluruh tenaga hingga menimbulkan bunyi keras dua tubuh bertemu.

"Panas dan lengket, Ameraaa kamu luar biasa!" erang Prima. Membalikkan tubuh kekasihnya dan sekali lagi melakukan pentrasi dari belakang. Tangannya memegang bahu serta dada Amera dan mendorong kejatanannya agar masuk lebih dalam.

Amera berteriak saat tubuhnya diayun ke depan dan belakang. Tidak peduli dengan betapa keras tepukan Prima di pinggulnya, ia justru menyukainya. Sex adalah cara terbaik meluapkan emosi yang saat ini sedang meluap-luap dalam dadanya. Ia mendongak, kala bibir Prima melumat bibirnya. Mengingat tentang curahan hati Jeana yang mengatakan tidak pernah dicium oleh Prima sebelumnya. Ia tanpa sadar tersenyum, menyadari tidak ada laki-laki bodoh yang tertarik dengan perempuan bertubuh seperti gajah. Jeana saja yang tidak sadar diri kalau sedang dimanfaatkan.

Dorongan dan tekanan kuat di area kemaluannya membuat Amera merintih. Mencengkeram ujung tempat tidur. Prima yang begitu perkasa dan sangat mahir adalah keuntungan untuknya. Saat dibutuhkan, laki-laki itu dengan sukarela datang dan menghiburnya. Bukan hanya mencurahkan perhatian, uang, taburan hadiah, tapi juga memuaskan nafsunya. Ia tidak akan pernah menyesal merebut Prima dari Jeana yang bodoh.

"Aaargh!"

Prima berteriak saat mencapai puncak lalu ambruk ke atas tubuh Amera. Dalam keadaan telanjang dan berkeringat, keduanya berbaring nyalang menatap langit-langit kamar dengan dada mengembang karena nafsu yang terpuaskan. Amera bangkit perlahan, menuju meja untuk meraih rokok dan menyulutnya. Memijat pangkal hidungnya demi untuk meredakan rasa sakit yang dideritanya.

"Kenapa kamu kelihatan galau?" tanya Prima. Menatap kekasihnya yang sedang merokok dan memenuhi kamar dengan aroma nikotin.

"Si gendut hari ini mengirim pesan di grup setelah berhari-hari hilang."

Prima mengangkat tubuh dan menyangga dengan dua tangan. "Apa yang dia bilang?"

"Diua resign."

Prima duduk tegak. "Apa? Resign?"

Amera mengangguk dengan wajah muram. "Yaa, dia resign. Sialaan! Padahal kami baru saja mendapatkan klien yang besar. Dia tahu kamu membutuhkannya untuk revisi dan segala macam dan secara kurang ajar, pergi begitu saja!"

"Aneh benar Jeana berani melakukan itu. Selama aku kenal dengannya, dia itu tipe perempuan penakut. Tidak peduli sedang kesal sekalipun, tidak akan berani mengundurkan diri dari perusahaan. Kenapa dia tiba-tiba melakukan itu?"

"Nggak ada yang tahu alasannya. Beberapa hari lalu dia mendadak pergi, barang-barangnya pun masih ada di kantor. Sisa gajinya juga nggak diambil. Manajer bahkan berusaha membujuknya untuk kembali tapi Jeana tidak menjawab panggilan ataupun membalas pesan. Babi sialan!"

Prima bangkit dari ranjang, mengusap rambut kekasihnya yang sedikit basah karena keringat. Wajah cantik Amera sedikit memerah karena kesal. Baru saja mereka melakukan percintaan yang dasyat dan dikacaukan oleh pembicaraan tentang Jeana.

"Bukannya kalau dia keluar berarti bagus untuk kamu? Maksudku berkurang satu saingan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi?"

Amera mendesah, mengisap rokoknya dan mengembuskan perlahan. "Dia bukan batu sandungan untukku, justru pendorong untuk karirku. Semua presentasi yang mengerjakan adalah dia sedangkan yang menggunakannya adalah aku. Biasanya itu bekerja untuk semua orang tapi sialnya, tidak berlaku untuk PT. Real Food. Mereka menginginkan Jeana yang presentasi. Kami semua di ujung tanduk."

Sekarang Prima mengerti kegundahan kekasihnya. Secara wajah dan tubuh, Amera memang cantik dan menawan tapi untuk kepintaran dan kreativitas kalah oleh Jeana. Ia sendiri sangat suka dengan Amera dari awal bertemu tapi tidak bisa memungkiri sedikit kagum dengan otak Jeana. Sayangnya bentuk tubuh dari Jeana membuatnya kehilangan rasa untuk tetap bersama. Tidak peduli bagaimana pun ia berusaha, cinta tidak pernah tumbuh di hatinya.

"Kamu mau aku mencari tahu di mana keberadaan Jeana?"

Tawaran Prima diberi anggukan semangat oleh Amera. "Yaa, bila perlu membujuknya untuk kembali. Apa kamu bisa?"

"Tentu saja, mudah melakukannya karena aku yakin Jeana masih menyukaiku."

"Wah, terima kasih kamu sudah membantuku, Sayang."

"Sayangnya nggak gratis. Kamu harus membayarnya."

Amera mematikan rokok dan mengusap kejantanan Prima yang kembali menegang. "Dengan apa?"

"Kamu tahu dengan apa, Sayang?"

Prima mengangkat tubuh Amera dari atas kursi dan membuatnya berlutut di hadapannya. Ia memejam sata bibir yang ranum mengulum kejantanannya. Ini yang disukainya dari Amera, keinginan yang kuat untuk memuaskan dalam sex. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat Amera bahagia, bila perlu membujuk Jeana.

"Sayang, mulutmu enak sekali," erangnya menahan kenikmatan.

**

Dustin berjalan mondar-mandir di depan area gym. Ia sudah masuk dan bertanya tentang keanggotaan di sana. Saat ini sedang memastikan kalau tempatnya nyaman untuk berolah raga. Baru saja mengirim pesan pada Jeana dan mereka berjanji untuk bertemu di tempat ini. Ia senang karena Jeana baik-baik saja setelah dihantam begitu banyak masalah. Memutuskan untuk berolah raga adalah hal yang bagus.

Tidak pernah tersirat sebelumnya dalam benak Dustin akan memikirkan seseorang selain dirinya sendiri. Selama ini ia merasa hidup tanpa tujuan, sekolah, makan, dan tidur layaknya manusia normal padahal mentalnya rusak. Pertengkaran dengan sang ayah yang tidak pernah berhenti, membuat beban hatinya makin berat. Terakhir mereka bahkan saling teriak di ruang tamu.

"Dustin! Makin lama kamu makin kurang ajar!"

"Oh yaa, Papa yang mengajariku begini! Please, jangan heran, Pa!"

Hampir saja pukulan sang ayah melayang di wajah kalau bukan kepala pelayan merelai. Ia seolah tidak pernah puas ingin memancing amarah ayahnya. Meskipun pada akhirnya, tidak memberikan kenimatan atau kepuasan sama sekali untuknya.

Dustin celingak-celinguk di pinggir jalan raya, menunggu kemunculan Jeana. Tubuhnya bersandar pada pohon akasia rindang yang tumbuh di pinggir jalan. Tanpa sengaja ujung matanya menangkap satu sosok yang dirasa sangat familiar keluar dari arah minimarket. Cewek memakai kacamata dan training olah raga biru yang sudah pudar warnanya. Sandal jepit menjadi alas kakinya dan dan cewek itu sama sekali tidak memakai riasan. Meski begitu Dustin tetap bisa mengenalinya. Ia keluar dari pohon, mencegat langkah cewek itu dan bertanya pelan.

"Rachel, ini beneran elo?"

Es krim yang dipegang cewek itu jatuh ke tanah. "Bu-bukan," jawabnya terbata.

Dustin memiringkan kepala dan menajamkan pandangan. "Ah, bener. Kok. Lo Rachel! Biarpun lo nggak pakai riasan tetap aja gue bisa ngenalin."

Rachel memucat, sama sekali tidak menyangka akan bertemu teman sekolahnya di tempat seperti ini, terlebih Dustin yang sangat terkenal di sekolah. Ia menunduk untuk menyembunyikan wajah lalu berniat untuk pergi tapi Dustin meraih lengannya lebih dulu.

"Hei, kenapa kabur lo? Gue nggak jahat!"

"Lepasin!"

"Dustin? Ada apa?" Jeana muncul, membuat Dustin melepaskan cengkeramnnya dari lengan Rachel yang bergegas melarikan diri. "Siapa dia?" tanya Jeana heran saat sosok gadis berkacamata itu menghilang.

"Teman sekolah, Kak."

"Kenapa dia takut sama kamu?"

Dustin mengangkat bahu. "Nggak tahu. Cewek itu emang aneh." Ia mengamati Jeana dari atas ke bawah dan berseru riang. "Kaaak, lo kurusan?"

Jeana mengangguk dan tergelak. "Yes, makanya aku minta bantuan kamu cari tempat olah raga. Gimana, gym ini recommended?"

"Yes, ayo, kita masuk!"

Mereka melangkah beriringan masuk ke dalam gym, tanpa menyadari tatapan heran yang diarahkan oleh gadis berkacamata yang sedang bersembunyi.

"Siapa cewek itu? Kakaknya Dustin?"
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 60.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro