Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada saat-saat Jeana menjadi budak di perusahaan ini, terutama budak dari timnya sendiri. Mempunyai sifat yang suka membantu orang dan tidak tega dengan kesulitan orang-orang terdekat membuatnya mudah dimanfaatkan. Ida yang semena-mena sering memakinya, Adelio yang bersikap seolah paling pintar, Nail yang memerintah tanpa kesadaran seorang pemimpin dan yang paling parah adalah Amera. Setiap saat selalu merepotkan Jeana atas nama pertemanan yang sangat tidak adil. Sendirian mengatur pekerjaan, membereskan masalahm dan mencari jalan keluar untuk setiap hal, pada akhirnya menjadikan Jeana bulan-bulanan di kantor ini. Ia tidak ingin mengalami masa pahit itu lagi.

"Kamu sudah dapat kerja di tempat lain?"

"Belum, Pak."

"Kalau begitu kenapa nggak kembali kemari? Kalau memang kamu nggak suka dengan tim lima, nggak cocok dengan mereka lagi, bagaimana dengan tim tujuh?"

Semua orang menahan napas mendengar tawaran Firman pada Jeana. Tim tujuh bisa dikatakan tim eklusif karena hanya orang-orang yang dianggap punya kreatifitas tinggi serta memegang klien paling besar. Tim tujuh bisa dikatakan impian semua orang karena bergaji besar. Sebenarnya tim lima termasuk bagus, tapi semenjak tidak ada Jeana, performa mereka menurun. Terakhir justru melepaskan PT. Real Food dan juga mendapatkan klompenan dari klien lain karena dianggap hasil karya kurang memuaskan. Firman yang kesal dengan anak buahnya yang dianggap tidak punya kemampuan sesuai dengan pendapatan yang diterima memutuskan ingin memberi sangsi. Kalau sampai klien terakhir penilaiannya buruk, ia berniat membubarkan tim lima. Harapannya muncul saat melihat kemunculan Jeana. Sekarang Firman menyadari kalau Jeana adalah tulang punggung sesungguhnya dari tim lima.

"Maaf, Pak. Saya merasa belum mampu menjadi bagian dari tim tujuh."

"Jeana, kamu hebat. Asal kamu tahu Pak Dean dari PT. Real Food sangat tertarik dengan konsepmu. Sampai sekarang beliau bilang masih menunggu iklan dari kita tapi kamu yang mengerjakan."

Dean memang laki-laki yang baik, Jeana teringat perbincangan terakhir mereka berdua yang begitu akrab dan hangat. Laki-laki kaya raya yang tidak pernah sekalipun memandang rendah dirinya. Menyanjung kemampuannya tanpa peduli bagaimana bentuk tubuhnya. Kalau ada laki-laki yang tulus dalam memperlakukannya itu ada dua, Dean dan Dustin. Jeana mendadak menyadari sesuatu kalau nama keduanya berawalan huruf yang sama. Dipikir lagi wajah mereka juga punya kemiripan di rahang yang tegas dan bentuk alis. Jangan-jangan mereka ayah dan anak. Jeana tanpa sadar tertawa karena menyadari kekonyolannya. Kalau memang Dustin anak Dean, tentu tidak akan sebebas itu bepergian dengan motor. Bukankah anak seorang jutawan punya mobil dan sopir sendiri? Lagi pula Dustin pernah mengatakan kalau sudah tidak punya orang tua? Ia merasa kalau pikirannya sangat menggelikan.

Firman yang tidak bisa merayu Jeana, meminta agar diberi kesempatan bicara berdua. Berharap bisa mengubah pendapat Jeana. Rapat ditunda karena itu. Selama bicara berdua di ruang kerja Firman, keduanya mengobrol serius. Tidak tanggung-tanggung Firman bersedia memberikan kenaikan gaji dan Jeana yang tidak enak hati menolak, mengatakan dengan sungguh-sungguh akan memikirkannya. Sejujurnya ia lebih suka pindah dari tempat ini.

"Kamu harus pikirkan permintaanku, Jeana."

"Tentu saja, Pak. Terima kasih sebelumnya untuk penawaran yang luar biasa."

Tidak ada lagi bujukan yang bisa membuat Jeana mengubah keputusan, dengan berat hati Firman membiarkanya pergi. Dengan harapan Jeana akan kembali setelah berpikir jernih. Penyesalan memang selalu datang belakangan, itu yang dirasakan Firman saat melihat sosok Jeana menghilang ke balik pintu. Harusnya ia dulu tidak menyetujui usulan Amera dan Nail, menyerahkan proposal PT. Real Food pada keduanya. Kini ia kehilangan klien potensial karena kebodohannya sendiri.

Keluar dari ruangan Firman, Jeana menuju ruangan tempat dulunya bekerja. Ia menduga semua anggota tim lima ada di dalam menunggunya dan dugaannya benar. Mereka semua duduk di kursi masing-masing dan menunduk di atas meja. Seluruh pandangan tertuju padanya saat Jeana mengetuk pintu.

"Sorry, ganggu kalian. Gue cuma mau ngambil barang-barang lalu pergi!"

Tidak ada jawaban, dan Jeana pun tidak mengharapkannya. Menuju mejanya yang ada di sudut belakang, Jeana mengambil totebag, membukanya dan mulai merapikan barang-barang di atas permukaan. Dari mulai fotonya, jam, sampai pajangan. Ia menyadari tatapan tajam Amera yang tertuju padanya dan tidak goyah untuk bersikap ramah. Membuka laci, ia mengeluarkan perlatan kerja serta barang-barang pribadinya .

"Jeana, gue mau ngomong sama lo!"

Amera menghampiri, berdiri di depan meja Jeana.

"Gue sibuk!"

"Sebentar aja, 10 menit."

Jeana menggeleng. "Sorry, nggak ada waktu."

Mencengkeram pinggiran meja, Amera mendesiskan kekesalan. "Sombong sekali lo sekarang. Kenapa? Udah merasa lebih cantik dari gue?"

Kata-kata Amera membuat Jeana tanpa sadar tergelak. "Gue? Ngerasa kalah sama lo? Yang benar aja? Waktu kuliah gue pernah menang pas ajang putri kampus. Lo juga ikut dan kalah. Kenapa gue harus takut sama lo?"

"Buktinya lo nggak mau ngomong sama gue. Kalau bukan takut apa namanya?"

"Males aja. Emangnya ada alasan lain?"

Amera merasa sangat diremehkan. Kalau di dalam ruangan tidak ada Nail dan yang lain, ingin rasanya mengulurkan tangan dan mencekik leher Jeana. Tapi ia menahan amarah demi harga diri yang harus dijaga. Jeana menghilang selama satu tahun dan kembali dengan kepribadian yang juga berubah. Entah apa yang merasukinya.

"Lo kenapa Jeana? Kita dulu sahabat. Seharusnya kita bisa bicara baik-baik!" Amera mengeluarkan seluruh kemampuannya dalam bersandiwara, bicara dengan mata berkaca-kaca. Membuat Nail dan yang lain merasa iba padanya.

Jeana yang tidak tertarik dengan drama Amera, hanya mendengkus keras. "Terus aja lo ngedrama, nggak lucu lagi buat gue."

"Jeana, bener-bener lo ye!" teriak Ida yang kehabisan sabar. "Amera itu sahabat lo, paling nggak hargai dia!"

Amera menunduk, menggigit bibir bawah sambil meremas kedua tangan di depan tubuh. Terdengar isakan pelan dari bibirnya, membuat Nail dan Adelio merasa iba. Jeana memutar bola mata, menatap lekat-lekat pada Amera sambil menghela napas panjang. Ia memerlukan banyak suplai oksigen untuk membuatnya tetap tegar. Ia harus bisa melewati semua ini, keluar dari perusahaan ini dengan tenang dan tanpa drama. Orang-orang yang ada di sini membuatnya sangat muak.

"Amera, berhenti bersikap kenak-kanakan. Nggak semua orang terpesona sama wajah cantik dan sikap sok lugu lo!"

"Jeana, teganya—"

"Halah! Tai kucing! Dari pada lo sok-sok kalah dari gue. Mending lo urus pacar lo itu. Bilang sama Prima, kalau dia harus ngomong sama orang tuanya dengan jujur. Kita sudah putus dan jangan ajakin gue ketemu sama orang tuanya!"

Amerea ternganga. "Apa maksud lo?"

"Kenapa nggak tanya sama Prima? Bukannya kalian tinggal bersama? Kenapa orang tuanya datang malah ngajak gue? Ckckck, rupanya lo cuma dianggap teman tidur, Amera. Kasihan sekali! Udah capek-capek jadi pelakor malah nggak dihargai."

Semua orang saling pandang dengan bingung mendengar percakapan Jeana dan Amera. Mereka tidak percaya kalau Amera yang lembut akan menjadi perusak hubungan orang lain tapi itulah yang terjadi. Jeana meneggakan tubuh, menatap penuh kebencian pada Amera.

"Di hari gue pergoki kalian tidur bareng, gue nggak mau kenal sama kalian lagi. Bukan karena gue patah hati atau apalah, tapi gue nggak mau punya teman ular macam lo!"

"Jeana! Kurang ajar!"

"Lo yang kurang ajar dan sebaiknya tutup mulut!"

Keduanya berdiri berhadapan dengan penuh permusuhan. Kehangata sebagai sahabat yang pernah terjalin dulu, menguap bersama amarah. Jeana menolak untuk mengalah, terutama dengan Amera yang sudah mencabik-cabik hidupnya. Ia meraih tote bag yang penuh dengan barang-barang dan bergegas pergi meninggalkan Amera yang memucat. Tidak sanggup lagi berlama-lama di sini. Saat mencapai pintu, Jeana menyempatkan diri untuk bicara dengan Ida.

"Ida, seingat gue lo dah punya pacar? Saran gue, jangan kenalin ke Amera kalau nggak mau direbut!"

Ida tercengang, Jeana membuka pintu dan langkahnya disusul oleh Nail. "Jeana, gue perlu bicara sama lo! Jeana, ini penting. Tolong dengerin gue dulu!"

"Gue harus buru-buru!"

"Jeana, tolonglah!"

Jeana tidak mengindahkan panggilan Nail, melanjutkan langkah memasuki lift menuju lobi. Sialnya Nail masih terus merendenginya. Tiba di lobi, Jeana memanggil taxi dan sebelum masuk ia berujar tegas pada Nail yang sedari tadi menganggunya.

"Gue tahu lo mau ngomong apa, Nail. Minta gue tetap kerja biar tim lima nggak bubar? Apa lo tahu kalau Pak Firman sanggup gaji gue dua kali lipat? Gue tolak tentu saja. Tahu apa alasannya?"

Nail meneguk ludah. "Amera?"

"Salah satunya dia tapi alasan terbesar adalah lo. Gue nggak mau punya ketua tim yang piliha kasih dan tukang curi makalah kayak lo!"

Berdiri diam menahan rasa marah dan malu, Nail menatap taxi yang membawa Jeana menjauh. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan terlibat pertikaian dengan Jeana dan terlebih harus memohon-mohon padanya demi masa depan pekerjaannya. Nail tidak ingin mengakui kalau semua yang terjadi karena kesalahannya dan kini terlambat menyadarinya. Tim lima yang dipimpinnya akan bubar bila Jeana tidak kembali..
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro