Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nail yang merasa bangga untuk kesuksesan hari ini, menceritakan dengan berapi-api pada tim lain. Membuat semua orang iri karena mereka juga ingin bertemu langsung dengan Dirut dari PT.Real Food. Selama ini tidak pernh ada Dirut yang berhubungan dengan mereka, biasanya ditangani sesama tim marketing. Terlebih PT. Real Food adalah bagian dari Health Group yang membawahi banyak perusahaan makanan serta minuman kemasan.

"Bisa-bisanya kalian ketemu langsung dengan Pak Dean!"

"Gilaa! Tim lima meskipun tanpa Amera, ternyata tetap keren!"

"Iya, dong. Siapa dulu ketuanya. Kalau bukan karena gue mikir cepat, nggak bakalan kami bisa sampai seperti sekarang!"

Tidak ada satu pun yang ingat untuk berterima kasih atau memuji Jeana. Nail, Ida, dan Adelio sibuk dengan rasa bangga mereka sendiri. Padahal dari awal semua yang mengerjakan adalah Jeana. Menatap keriuhan di depannya tanpa kata, Jeana berusaha membungkus rasa kecewa dan getir yang dirasakan dalam diam. Ia mengirim dua pesan. Satu untuk sahabatnya yang sampai sekarang masih terbaring sakit sedang kan satu lagi untuk tunangannya. Bercerita tentang hari ini yang berjalan sukses.

"Cintanya gue, hari elo harus sembuh. Biar elo ikut ngerasa bahagia juga. Gue presentasi buat gantiin elo, langsung di depan Pak Dean. Gilaa! Benar-benar pengalaman hebat!"

Centang satu, pesan yang dikirim untuk Amera. Jeana menatap ponsel lalu mengirim pesan lain untuk Prima. Padahal pesannya yang lebih awal dikirim sampai sekarang belum dibaca apalagi dibalas.

"Sayang, aku hari ini bahagia. Berhasil dan sukses presentasi. Kamu pulang kapan? Aku mau traktir kamu makan malam sekalian kita ke butik untuk fitting baju pengantin!"

Jeana tidak pernah merasa hidupnya sesempurna ini. Mempunya karir yang bagus, pekerjaan yang berjalan sukses, sahabat yang baik, dan tunangan yang setia. Banyak orang memandang rendah padanya karena punya fisik yang dianggap tidak menarik. Pendek, gemuk, dengan wajah bulat. Kalau dibandingkan dengan Amera, bagaikan bumi dan langit. Beruntung dirinya bersahabat dengan Amera yang tidak pernah memandang rendah padanya.

"Elo sama gue itu sahabat baik. Selamanya kita akan bersahabat apa pun yang terjadi!"

Mereka berteman dari semenjak kuliah. Amera yang mempunya nilai pas-pasan, banyak dibantu oleh Jeana saat menghadapi ujian. Balasannya adalah Amera selalu mengajak Jeana ke setiap kegiatan di kampus. Dengan begitu ia merasa punya pergaulan sosial yang tidak hanya berpusat pada keluarga dan pelajaran saja. Jeana sangat berterima kasih untuk bantuan sahabatnya itu. Orang lain boleh menghinanya asalkan bukan Amera.

Pintu ruangan diketuk membuat semua orang terdiam. Sekretaris Firman, seorang pemuda yang gemulai dengan kepala nyaris botak menunjuk pada Jeana yang duduk sendirian di pojok.

"Jeana, lo dipanggil Pak Direktur, sekarang!"

Jeana melongo dan bangkit dengan kikuk. "Kak Candra, apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya.

Candra menggeleng lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Lo tanya aja sendiri. Ayo, buruan!"

Jeana menatap Nail, meminta tolong pada ketua timnya itu. Sebuah permintaan yang sia-sia karena Nail seakan tidak menggubrisnya. Melangkah dengan putus asa diiringi tatapan seluruh orang di ruangan, Jeana mengikuti Candra. Sepanjang jalan, ia terus bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah dilakukannya sampai dipanggil oleh direktur. Apakah ada kesalahan dengan presentasinya? Apakah direkturnya marah karena itu?

Ia dibawa ke ruang tamu khusus VIP. Saat pintu dibuka oleh Candra, orang yang pertama dilihatnya adalah Dean. Jeana mengangguk gugup dan menyapa dengan sopan.

"Pak Dean."

Dean membalas anggukannya. "Duduklah, aku ingin bicara."

Jeana duduk di sofa yang empuk dengan pikiran bertanya-tanya. Kenapa di ruangan ini hanya ada Dean? Kemana Firman? Bukankah sang direktur yang ingin bertemu dengannya? Candra pun menghilang, dan kini hanya ada dirinya duduk berhadapan dengan Dean yang punya pandangan setajam elang. Jeana melipat tangan di depan paha dan menunduk mengamati karpet di bawah meja.

"Namamu Jeana?"

Suara bariton Dean membuat jantung Jeana berdetak kencang. Memberanikan diri mengangkat wajah, ia mengangguk. "Iya, Pak."

"Kamu ketua tim iklan kami?"

"Bukan, Pak. Ketua timnya Nail."

Dean mengangkat sebelah alis. "Aku lihat kamu menguasai seluk beluk sereal kami. Apa kamu merisetnya?"

Untuk kali ini Jeana tersenyum lebar. "Tentu saja saya selalu meriset setiap barang yang akan kami iklankan. Untuk sereal ini, saya membeli beberapa kotak di supermarket dan mengajak makan anak-anak di sekitar komplek. Dari situ saya tahu, rasa apa yang mereka suka, bentuk apa yang paling menari, dan bagaimana membuat iklan yang akan membuat anak-anak berminat. Bukankag sereal ini target market utama adalah anak-anak usia belasan?"

Mau tidak mau Dean terkesan dengan perkataan Jeana. "Benar sekali. Rentang usia sekolah dasar sampai menengah."

Lagi-lagi Jeana tersenyum. Wajah bulatnya terlihat memerah dengan mata berbinar. "Kalau begitu saya nggak salah, Pak. Karenanya saya memberikan konsep iklan seperti yang saya presentasikan. Eh, maksudnya seperti yang ditunjukkan oleh tim kami."

Dean mengangkat sebelah kaki dan menangkupkan kedua tangan di bawah dagu. Mengamati perempuan muda yang terlihat tidak percaya diri, tapi begitu bicara soal pekerjaan maka semua penjelasannya sangat lancar. Dean bisa menilai kalau Jean adalah pekerja yang cekatan. Ia selalu menghargai orang dengan kemampuan kerja di atas rata-rata.

"Bagus. Aku suka mendengarnya. Jeana, proyek iklan ini harus kamu yang menangani."

Jeana meneguk ludah dan mengangguk. "Baik, Pak."

"Meskipun kalian punya tim dan ada ketuanya, tapi aku ingin kamu yang memimpin. Jangan kecewakan kami, aku yakin kamu mampu Jeana. Kamu menguasai materi dan mengerti kondisi lapangan, pasti iklan sereal kami akan menjadi yang paling hebat kalau kamu yang mengerjakan."

Dada Jeana mengembang dalam rasa bangga karena pujian dan perkataan Dean. Seorang direktur utama dari banyak perusahaan memujinya secara terang-terangan. Saat ia berpamitan keluar, langkahnya menyusuri lorong dengan ringan. Selama bekerja belum pernah ada orang yang memujinya dengan begitu tulus. Tidak pernah ada orang yang menganggapnya hebat tanpa melihat fisiknya. Dean adalah orang pertama yang melakukannya, kelopak mata Jeana basah karena terharu.

"Siapa yang manggil lo? Ada urusan apa? Apa lo melakukan kesalahan?"

Nail dan yang lain mencecar Jeana dalam beragam pertanyaan. Semuanya dijawab dengan senyuman. "Nggak ada apa-apa, tadi Pak Dean yang ngajak bicara."

"Apa? Pak Dean? Kok bisa? Kalian bahas apa?" Ida meraih lengan Jeana dan hampir saja menubruk meja saking buru-burunya menghampiri. "Kenapa diam saja? Jawab Jeana?"

Jeana sedikit jengkel dengan sikap timnya yang menunut. Masih ada waktu besok untuk mendiskusikan semuanya, kenapa mereka memaksanya bicara hari ini. Jeana menatap ponselnya yang berdering. Ada satu pesan dari Amera. "Gue masih sakit. Maaf, nggak bisa ke kantor. Syukurlah kalau presentasi berhasil."

"Lo di mana?" tanya Jeana, membalas pesan Amera. Sayangnya tidak ada jawaban lain dan ia pun merasa kuatir. Tidak biasanya Amera suka menghilang seperti sekarang. Pernah kejadian Amera sakit dan merengek penuh kemanjaan pada Jeana. Kali ini sepertinya sesuatu yang besar terjadi pada sahabatnya.

"Jeana, jawab!" tuntut Ida.

Jeana mengangkat wajah, terkejut dengan suara Ida. Ia meraih tas dan bergegas pergi, menyingkirkan tangan Ida dari lengannya. "Besok gue kasih tahu semua. Gue cabut dulu! Mau nengok Amera!"

"Heh, jangan pergi dulu!" teriak Nail berusaha mencegah kepergian Jeana. Sayangnya, perempuan bertubuh tambun itu sudah menghilang. Meninggalkan mereka dalam rasa penasaran yang tinggi. "Mentang-mentang hari ini berhasil presentasi jadi belagu!" maki Nail.

Mereka semua mengakui kepintaran Jeana tapi tidak ada yang suka dengan sikapnya yang dianggap sok pintar, setidaknya itu pembelaan mereka. 
.
.
Di Karyakarsa update bab 6-10.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro