Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dustin mengawasi suster yang sedang memperban luka-luka di siku dan wajahnya. Ia baru saja diberi suntikan serta diinfus. Selama melakukan pemeriksaan oleh dokter, Jeana tidak pernah beranjak dari sisinya. Dustin merasa hatinya tersentuh, bagaimana tidak? Dalam keadaan terluka dan patah hati tapi Jeana tetap membawanya ke rumah sakit. Ia sudah menolak tapi Jeana bersikukuh.

"Luka-lukamu harus diobati, kalau nggak bisa infeksi dan bisa-bisa kamu kena radang."

"Aku bisa ke dokter sendiri, Kak."

"Nggak, sekalian aja. Biar aku tunggu kamu."

Benak Dustin berkecamuk dan hatinya tersentuh karena kebaikan serta kelembutan Jeana padanya. Perhatian yang diberikan bukan sikap yang palsu. Jeana bisa saja meninggalkannya sendiri. Dengan dalih sedang bersedih, Jeana berhak punya waktu untuk sendiri dan meratap. Tapi nyatanya tidak dilakukan. Tetap bertanggung jawab padanya ibarat kakak pada adiknya sendiri.

Selesai diperban dan diinfus, Jeana pula yang membayar biaya rumah sakit. Dustin mengucapkan terima kasih dan meminta nomor ponsel Jeana.

"Untuk apa?"

"Entahlah, mungkin suatu saat kalau kita ketemu lagi, aku ingin mentraktir Kakak karena sudah baik padaku."

Jeana tersenyum. "Nggak usah repot-repot. Cukup kamu sekolah yang benar dan jangan sembarangan berkelahi."

"Aku akan dengar nasehat Kakak, tapi tetap minta nomor ponselnya."

Dengan sedikit memaksa, Dustin berhasil mendapatkan nomor ponsel Jeana. Merasa senang bukan kepalang karenanya.

"Terima kasih, Kak."

"Untuk apa terima kasih? Hanya nomor ponsel. Kamu harus pulang, motor taruh di sekolah dan sebaiknya naik taxi biar aku yang bayar."

"Nggak usah, Kak. Aku ada uang. Kakak udah baik banget hari ini. Semoga kita bisa ketemu lagi!"

Jeana memanggil taxi dan meminta sopir mengantar Dustin. Saat mobil biru bergerak menjauh, ia menghela napas lega. Hujan sudah berhenti, tersisa angin dingin yang menerpa tubuh. Merasa lelah jiwa dan raga, ia terduduk di bangku halte. Termenung sendiri menatap keriuhan lalu lintas di hadapannya. Hatinya mendadak terasa kosong, saat teringat kalau kini sendiri. Sahabat dan tunangannya telah pergi meninggalkannya.

Menghela napas panjang berkali-kali hingga terlihat seperti orang yang terkena serangan asma, Jeana berusaha untuk tetap tegar. Hidup harus berjalan, matahari besok tetap akan muncul dari Timur. Orang-orang sibuk dengan urusannya dan begitu pula dirinya. Ia ingin berteriak, mengatakan pada dunia kalau semuanya akan baik-baik saja tapi entah kenapa dadanya terasa sesak dan kepalanya pening. Tenggorokannya tercekat karena cengkeraman emosi yang kuat di dadanya.

"Prima sialan! Amera sialan!" gumamnya sambil menepuk-nepuk dada. "Mereka berdua sialan!"

Bus yang akan dinaikinya sudah tiba, Jeana bergegas naik dan berdesakan dengan penumpang lain. Tubuh, rambut, serta pakaiannya setengah basah dan menimbulkan aroma yang tidak menyenangkan.

"Kenapa orang gendut itu badannya bau, ya?"

"Mungkin karena suka keringatan."

"Bisa jadi malas mandi."

"Ih, udah gendut, bau badan lagi. Nggak nyadar apa ya?"

Jeana bisa mendengar percakapan dua perempuan muda di sampingnya. Tidak punya energi untuk membalas cacian itu. Saat beberapa penumpang turun, mereka berdua bergegas ke arah bangku kosong dan duduk berdampingan. Masih dengan mata menatapnya dan bibir yang mencibir. Jeana menyandarkan kepalanya pada jendela, berdiri membelakangi penumpang lain. Tidak peduli dengan semua kasak-kusuk di belakangnya, hari ini ia hanya ingin meratap.

Turun di halte, ia bergegas menuju minimarket. Membeli beberapa bir dan membawanya ke kontrakannya yang kecil. Tidak membalas sapaan para tetangga, Jeana bergegas masuk. Menyalakan pintu, membuka bir dan langsung meneguknya. Ia tersedak karena rasa bir yang pahit di mulutnya. Mengabaikan semua itu, ia tetap hidup dan menandaskan dua botol. Jeana mengerang saat perutnya bergolak, bergegas ke toilet dan memuntahkan semua bir yang baru saja diminumnya. Rupanya ia tidak berbakat minum alkohol.

"Di drama, orang patah hati minum alkohol biar bisa tenang. Kenapa aku malah nggak bisa?" ucapnya dengan sengsara. Jeana merebahkan diri di lantai dingin, menatap langit-langit kamar dan termenung. Malam ini ia membutuhkan dua butir obat tidur untuk bisa terlelap, karena tidak ingin terjaga sepanjang malam hanya untuk memikirkan Prima dan Amera.

"Kakek, aku kangen pingin pulang," ucap Jeana keras, menatap foto sang kakek yang tergantung di dinding kamarnya dengan mata basah.

**

Dustin berdiri di depan rumah besar berlantai tiga di hadapannya. Gerbang dalam keadaan terbuka karena saat ia tiba, para penjaga terburu-buru membukanya. Untuk sesaat ia tertegun dan enggan masuk sampai akhirnya ditegur oleh kepala pelayan berseragam.

"Tuan Muda, silakan masuk. Kami sudah menyiapkan makan malam. Tuan Besar sudah di dalam."

Dustin menatap laki-laki separuh baya di depannya. "Daddy sudah pulang? Tumben?"

"Beliau sudah pulang dari satu jam yang lalu. Sekarang menunggu Tuan Muda di ruang tengah. Mari, masuk, Tuan. Jangan berdiri di sini, anginnya dingin."

Si kepala pelayan bisa melihat kalau Dustin luka-luka tapi tidak berani bertanya lebih banyak. Di dalam ada orang tua yang lebih berhak untuk bertanya. Dustin melangkah cepat melewati kolam yang ada di halaman, masuk ke teras dan mencopot sepatu. Mengganti dengan sandal rumah sebelum membuka pintu dan masuk. Entah kenapa ia selalu merasa asing dengan rumah besar dan mewah ini. Padahal ini adalah tempat tinggalnya. Di rumah berlantai tiga ini, hanya ada dirinya, sang ayah, dan para pelayan serta sopir. Tidak ada kerabat lain hanya mereka berdua.

Langkah Dustin terhenti saat melihat ayahnya duduk di sofa dengan majalah di pangkuan. Posisinya seperti sedang membaca tapi dilihat lagi sang ayah sebenarnya sedang melamun.

"Daddy, aku pulang!"

Dean mengangkat wajah, menatap anak laki-lakinya yang baru datang. Terbelalak saat melihat penampilan Dustin yang penuh luka dan diperban. Bangkit dari sofa ia menghampiri anak laki-lakinya.

"Apa yang terjadi? Kamu berkelahi?"

Dustin mengangguk. "Iya."

"Apa masalahnya sampai kamu berkelahi?" tanya Dean dengan sabar. Sebenarnya ia ingin berteriak dan marah pada anaknya tapi ditahan. Sudah berjanji akan membangun komunikasi dengan anak laki-lakinya. Meskipun marah, ia berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Bukan masalah besar," jawab Dustin dengan enggan. "Daddy nggak usaha pusing. Guru nggak akan manggil ke sekolah karena kejadiannya di luar."

Dean menyipit ke arah anaknya. "Kamu pikir daddy takut dipanggil?"

Dustin mengangkat bahu, melengos, dan mengalihkan pandangan dari sang ayah yang berdiri menjulang di hadapannya. Tinggi mereka hampir setara, tapi Dustin tetap merasa terintimidasi. Bisa jadi karena pandangan sang ayah yang penuh selidik ataupun kemarahan tertahan yang terlihat jelas tanpa ditunjukkan.

"Yah, gitulah."

"Dustin, dengarkan daddy. Kamu sekolah biar jadi pintar. Bukan untuk jadi berandalan!"

"Mau gimana lagi? Dari dulu Dustin memang gelandangan."

"Dustin! Kamu ini jadi anak nggak tahu diri!"

Teriakan Dean terdengar membahana. Sekejap kemudian terlihat rasa sesal di hatinya terutama saat melihat raut wajah Dustin yang menggelap. Ia memaki dalam hati, tidak bisa menahan rasa amarah pada anaknya padahal sudah bertekad akan memperbaiki sikap.

"Daddy mau bicara apa lagi? Mau memaki lebih keras atau mencaci lebih sadis?" tanya Dustin dengan raut wajah terluka dan nada penuh kekecewaan.

Dean menggeleng. "Dustin, bukan begitu. Daddy hanya kuatir denganmu."

Dustin mengangkat tangan ke udara. "Udahlah, nggak usah pura-pura peduli. Memangnya selama ini Daddy pernah ingat punya keluarga? Nggak sama sekali. Dalam hidup Daddy hanya ada kerja dan kerja. Bahkan saat Mommy ingin pergi pun, Daddy tidak peduli!"

Lagi-lagi pertengkaran meledak yang akhirnya mengorek luka lama. Dean tidak pernah suka mengungkit-ungkit masa lalu, tapi anaknya tidak pernah lupa. Padahal yang terjadi bukan seperti itu tapi Dustin tidak pernah mengerti yang sesungguhnya terjadi.

"Dustin, kamu harus tahu. Kalau Mommy itu-"

"Apa? Dia kabur? Mommy pergi bersama laki-laki lain? Aku sudah sering mendengar soal itu, Daddy. Tapi, apa Daddy tahu juga kalau Mommy nggak pernah bahagia? Selalu menangis dan meratap karena hidupnya menderita. Itu karena Daddy hanya peduli soal uang!"

Plak!

Dustin berjengit saat sang ayah melempar majalah yang dipegangnya ke lantai. Ia menatap laki-laki yang merupakan orang tua kandungnya dengan waspada. Tangan sang ayah menegang, bisa jadi ingin memukulnya tapi ditahan. Timbul sedikit rasa sesal di hati Dustin karena sudah membuat sang ayah emosi. Meski begitu ia menolak untuk meminta maaf.

"Naik! Masuk ke kamarmu! Dilarang keluar sampai besok pagi!"

Dustin melongo. "Daddy, aku-"

"Naiik! Tidak boleh keluar kamar! Makan dan minum akan diantar oleh pelayan!"

Dustin menunduk, melangkah dengan lunglai menaiki tangga menuju kamarnya. Malam ini ia diharuskan untuk tetap berada di kamar. Bukan hukuman yang sulit, toh selama ini ia memang suka mendekam di kamarnya sendiri tapi kemarahan sang ayah membuatnya tidak nyaman.

Terduduk kembali di sofa, Dean mengusap wajah dan rambutnya dengan jari gemetar. Tidak suka dengan pertengkaran yang terus terjadi antara dirinya dan Dustin. Ia berencana untuk mencari psikolog, barangkali dengan berkonsultasi secara rutin maka emosinya akan lebih stabil.

Dean menatap nanar pada dinding kokoh di hadapannya. Rumah besar yang ia bangun untuk keluarganya ini terasa sunyi dan mencekam. Tidak pernah ada tawa di sini, hanya tersisa kemarahan yang terus menerus dirasakan antara dirinya dan Dustin.

"Ya Tuhan, bagaimana sebenarnya aku harus bersikap pada anakku? Bagaimana membuatnya mengerti kalau bukan aku yang membuat mommy-nya kabur."

Termenung dengan pikiran mengembara, Dean tidak menyadari ada satu pesan masuk ke ponselnya. Saat ini ia terlalu marah dan kesal karena kehilangan kontrol pada diri sendiri. Akibatnya sudah membuat anaknya terluka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro