8. Wrong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jungkook-ah... "

Jemari Jungkook sedingin es di kutub utara begitu dia mendengar suara bariton itu memasuki indra pendengarannya. Peluh mulai bermunculan, padahal pendingin ruangan sedang bekerja sebagaimana mestinya. Tidak ada yang berubah di ruangan itu,—apapun. Kecuali satu, sosok pria itu. Eksistensi mereka begitu tidak nyata bagi satu sama lain.

"K-kim Taehyung?" Jungkook berusaha meyakinkan kedua bola matanya yang menyipit memastikan sejak tadi. Taehyung tersenyum, mendekat untuk merengkuh tubuh yang jauh lebih kekar darinya. Jungkook tak menolak, ada getar aneh begitu Taehyung memeluknya. Mereka berpisah bukan karena orang ketiga, atau salah satu dari mereka berhenti mencintai. Mereka berpisah karena sebuah keharusan. Benci dan cinta, kedua hal itu masih bercampur seperti larutan kimia. Namun sayangnya, Jungkook tak tahu apa yang mendominasi diantara kedua rasa itu.

Taehyung merengkuh. Kepingan di hatinya seperti puzzle, kembali tertutup dengan sentuhan lembut sepihaknya. Meskipun begitu, dia cukup senang begitu dia menghirup aroma Jungkook. Masih wangi april cotton, salah satu scent kegemaran Taehyung —yang pernah menjadi hadiah ulang tahun prianya.

Taehyung menatap wajah Jungkook dari dekat—mulai dari mata, hidung lalu terkunci di labium merah muda. Dia rindu intensitas romansa mereka dulu. Dia rindu setiap perhatian kecil yang Jungkook berikan. Taehyung berusaha mempersempit jarak untuk mendaratkan sebuah kecupan singkat, menuangkan rindunya. Namun, Jungkook segera menepis tangan Taehyung yang ingin meraihnya lebih jauh. Ini tidak benar, logikanya terus-terusan menjerit seperti itu sejak tadi. Dia berjanji akan menjauh dan melupakan Taehyung kalau dia ingin selamat, setidaknya kata-kata itu tertanam di benaknya. Kalimat yang diperintah langsung oleh mendiang ibunya dua tahun yang lalu.

"Silahkan menunggu, Tuan Kim. Pesananmu akan datang sekitar dua jam lagi." Jungkook berusaha tersenyum profesional, tak menghindari tatap mata Taehyung yang berusaha bicara—bahwa pria itu sangat merindukannya.

"Persetan dengan buku itu!" Kim Taehyung memaki. "Aku hanya perlu bertemu denganmu. Itu yang aku mau. Kau pikir, aku benar-benar menginginkan buku murahan itu? Aku hanya membuat atasanmu sibuk. Apakah sudah jelas?"

Jungkook tak sepenuhnya terkejut. Dia tahu, Taehyung bukan orang yang bodoh. Dan menyusun rencana seperti ini adalah hal kecil yang sama sepelenya dengan membalikkan telapak tangan bagi Kim Taehyung.

"Aku tak berencana untuk menemanimu karena kau telah membuang waktu berhargaku. Silakan menunggu, aku akan bekerja lagi."

Jungkook meninggalkan ruangan itu, bahkan sebelum Taehyung membalas ucapannya. Rahangnya bergemeretak kesal, fakta bahwa Jungkook menolaknya terang-terangan sangat membuat iblis di hatinya bergerak liar. Panas dan marah. Kedua hal itulah yang menguasai relung hatinya sekarang.

Tak menunggu waktu yang lama untuk Taehyung keluar dari ruangan Min Yoongi. Dia pergi begitu saja dengan amarah dan dendam yang semakin menggunung.

"Jeon Jungkook, kau harus mati!" pekik Taehyung dalam hati.

~

Suara ketukan heels milik Minji terasa begitu menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Dia terburu-buru, rasanya organ di kepalanya ingin meledak dan berhamburan begitu saja. Mencuri dengar pembicaraan selalu berujung tak baik, dan Minji sedang merasakan sensasi itu sekarang. Dia memasuki salah satu ruangan setelah memastikan bahwa Dokter yang ingin dikunjunginya tidak ada pasien.

"Sudah lama tidak bertemu." Kim Seokjin tersenyum ramah setelah menutup hasil ronsen salah satu pasiennya, menulis catatan sebentar lalu menatap Minji yang telah duduk di hadapannya.

"Ya, aku butuh obat sakit kepala yang luar biasa."

Kim Seokjin tertawa. "Kau sakit kepala? Sejak kapan?" Seokjin beranjak ingin memeriksanya, tapi Minji bilang tidak perlu. Sakit kepala yang dimaksud Minji adalah beban pikiran yang menumpuk dan kekhawatiran yang melebur jadi satu.

"Lalu, apa urusannya denganku kalau begitu? Kau tidak ingin diperiksa."

"Berikan obat sakit kepala biasa. Aku tahu, aku bisa mendapatkannya di apotek terdekat," ucap Minji begitu dia melihat Seokjin yang ingin bicara lagi.

"Dan kau menghabiskan setengah jam berhargamu untuk ke sini?" Seokjin menyerahkan selembar kertas yang berisi resep obat. Minji menariknya dan menghela napas. "Aku butuh teman bicara, Jin-ah. Masalah yang kuhadapi benar-benar membuatku tak bisa hidup dengan tenang."

Seokjin mengernyit, perhatiannya tersita dan berpusat pada gadis yang duduk di hadapannya. Choi Minji gadis yang tenang, sangat plegmatis sehingga jarang terlibat suatu masalah seperti perkelahian atau sejenisnya. Mendengarnya berkeluh kesah seperti ini jelas mengherankan sekaligus membuatnya ingin tahu apa yang sedang terjadi.

"Maksudmu?"

Minji menghela napas. Masih memindai pria di depannya. Dia bertemu dengan Seokjin enam bulan yang lalu, saat dia perlu perhatian lebih pada organ ginjalnya. Walaupun sudah sering bercerita dan bertemu, dia tidak yakin akan menceritakan apa yang didengarnya pagi tadi di depan ruangan Kim Taehyung.

Suatu rencana gila yang Taehyung inginkan—membunuh seseorang.

"Sudahlah, hanya masalah biasa. Bagaimana kalau kita ke suatu tempat? Aku akan menraktirmu." Minji mengalihkan pembicaraan mereka. Masalah Kim Taehyung, walaupun itu membahayakan, dia akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakannya kepada siapapun.

Seokjin tersenyum sambil melepas kacamata dan jas dokternya. Sepenuhnya lupa dengan ucapan Minji yang sempat mendapat perhatiannya.

"Baiklah. Yuk!"

~

Park Jimin menatap pagar hitam itu lagi. Sejak kemarin hanya hal ini yang bisa dilakukannya, mengamati dari jauh sosok Hyunjin yang sedang membuang sampah atau menyiram kebun bunganya.

Jimin sebenarnya ingin berkunjung, seperti yang sudah-sudah. Namun, dia tidak yakin. Pekerjaannya menuntut, dan berdekatan dengan Hyunjin membuatnya lemah sekaligus kotor. Apalagi, sudah pasti dia akan dihantui sejumlah pertanyaan terkait dengan Taehyung, yang kemungkinan tak bisa dijawabnya. Beruntung, Kim Taehyung terlihat ramah kemarin, terlihat seperti orang yang berbeda dengan pribadi yang sebenarnya.

Jimin baru saja ingin beranjak dari tempat persembunyiannya—di balik pohon maple yang berjejer rapi di pinggir jalan. Pergerakannya terhenti begitu netranya bertemu sepasang manik yang menatapnya sejak lima menit yang lalu.

Jimin membungkuk memberi salam, ingin cepat-cepat pergi tapi sebuah tangan sudah terlebih dulu menghentikan pergerakannya.

"Kau sudah makan malam, Jimin ssi?"

~

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro