Kita & Kanker - 12 🎗️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berdiri di depan cermin yang tergantung di salah satu dinding toilet. Menatap wajahku yang semakin hari semakin pucat, juga tubuhku yang semakin kurus menyisakan sedikit lemak yang tersisa melekat di tulang. Hal ini lantas membuatku berpikir, apa aku mampu bertahan dengan penyakit ganas ini? Sekalipun aku mampu, maka berapa lama aku akan bertahan?

Setelah keluar dari toilet, aku kembali dibantu suster berjalan menuju ranjangku. Lagi-lagi, aku merasa seperti orang lanjut usia saja, yang harus dibantu kapanpun aku hendak beraktivitas. Apalagi seminggu terakhir ini, bahkan untuk makan saja harus disuap karena keadaan tubuhku yang benar-benar lemah.

Suara decitan pintu terdengar, memecahkan semua lamunanku.

“Hai, Key. Gimana kabar kamu?” Rupa-rupanya Rendy yang datang berkunjung ke ruanganku. Tentunya tidak sendiri, ia ditemani oleh Nayla. Kini, tak ada lagi senyuman sinis yang terpampang di wajah Nayla, melainkan sebuah senyuman hangat khas orang bersahabat.

Perlu kalian ketahui, bahwa kemarin aku sudah mampu mengingat semuanya tentang Nayla, dan aku kembali berbaikan dengan Nayla. Aku melontarkan begitu banyak kata maaf, sebagai rasa penyesalanku sudah pernah melupakan Nayla. Nayla juga berlaku demikian. Ia meminta maaf, sudah pernah menyindir mengenai penyakitku. Ia berkata bahwa itu hanyalah sebuah refleks karena ia begitu kecewa mengetahui aku benar-benar sudah melupakannya. Ia berkata, bahwa selama belasan tahun ia mencariku, dan justru setelah menemukanku, aku malah tidak ingat apa-apa. Ah, aku ini benar-benar kejam.

“Baik, Ren,” jawabku berbohong. Bagaimana mungkin dengan keadaanku yang sekarang, aku dapat berkata bahwa aku baik-baik saja?

“Kamu sendiri, apa kabar, Ren?” tanyaku balik.

Rendy mengangguk, kemudian tersenyum. “Aku juga baik, Key.”

“Oh, iya, aku bawain kamu parsel buah. Semoga kamu cepat sembuh, ya,” ujar Rendy, kemudian lelaki itu meletakkan sebuah parsel yang ukurannya tidak begitu besar itu ke atas meja.

Keheningan tercipta, kala aku, Rendy, bahkan Nayla seperti terkurung dalam pikiran kami masing-masing.

“Aku kesini juga sekalian mau ngasi ini.”

Sebuah undangan disodorkan Rendy kepadaku. Itu adalah undangan pernikahan.

“Secepat ini kalian nikah?”

Rendy mengangguk. “Iya, Key. Sesuai permintaan dari papa, selepas lulus, aku dan Nayla akan segera dinikahkan.”

“Oh gitu, gak kerasa, ya. Kita udah lulus aja. Ralat, kalian udah lulus, hehe. Selamat untuk kelulusan kalian, dan selamat juga untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku bakalan datang, kok. Aku gak sabar, ingin melihat resepsi pernikahan dari mantanku, dengan sahabat kecilku. Semoga kalian berbahagia, ya, dan sukses untuk persiapannya. Doa aku yang terbaik untuk kalian.”

Tanpa kusadari, setetes air mata turun dari pelupuk mataku. Aku segera berkedip, berusaha untuk menghilangkan bekas cairan itu. Namun, sepertinya terlambat, karena Rendy dan Nayla sudah keburu melihatnya.

“Jangan nangis, Key. Kamu tahu aku, kan? Aku paling gak suka ngelihat seorang perempuan nangis, terlebih itu ialah kamu.”

“Iya, Ren, aku gak nangis, kok. Aku tadi cuma terharu aja, sebentar lagi kalian akan hidup bahagia bersama.”

Lagi, sebuah kebohongan terucap dari bibirku.

Ren, seandainya kamu tahu, bahwa semenjak hari dimana hubungan kita berakhir, maka semenjak hari itu pula, aku tak sanggup untuk menahan air mata ini agar tak menetes.

🎗️🎗️🎗️

Beruntung ruanganku berada paling tepi, sehingga ada sebuah jendela yang langsung menghubungkan pandanganku dengan dunia luar. Melalui jendela itu, dapat kulihat biru langit yang sebentar lagi akan berubah menjadi mendung. Di tanganku masih tergenggam surat undangan yang diberikan Rendy tadi.

Tak pernah aku sangka, ternyata akan jadi seperti ini akhirnya. Kisah cinta yang selalu aku agungkan, rupanya berakhir tragis seperti ini. Aku, ditinggal menikah oleh Rendy. Haha, miris.

“Pantas saja langitnya mendung, rupanya ada yang lagi galau didalam kamar, sambil meratapi nasib.” Suara itu tiba-tiba saja terdengar, memecahkan heningnya ruanganku. Aku sontak menoleh, dan mendapati Fino di sana. 

Fino? Sejak kapan Fino berada di ruanganku, dan darimana dia tahu bahwa aku berada di ruangan ini?

Belum sempat aku mengutarakan tanyaku, Fino yang tadi berada di depanku sekarang sudah berada di sampingku. Lelaki itu menatap ke arah jendela dan sibuk memperhatikan hujan yang sudah mulai turun membasahi bumi.

“Kenapa beberapa hari ini, kamu tidak pergi ke taman? Ada masalah?” tanyanya. Aku tidak menjawab. Hanya menggeleng kecil.

“Jangan bohong. Masalah itu ada untuk dibagi, bukan untuk di pendam sendiri. “ Mendengar ucapan Fino, aku menghembuskan napasku kasar, lalu menatap wajah Fino sejenak. Perlahan, sedikit demi sedikit masalahku, mulai kuceritakan padanya. Entahlah, lagi lagi Fino berhasil membuatku buka mulut mengenai semua masalahku. Dimulai dari kondisiku yang semakin drop, perihal Nayla, dan undangan dari Nayla beserta Rendy.

“Syukur deh, kalau ternyata Nayla merupakan orang yang baik. Dan, untuk undangan dari Rendy dan Nayla, aku rasa, sudah saatnya kamu mengikhlaskan perihal itu. Bukannya ingin membuat kamu sedih, namun, coba deh kamu pikir. Apakah dengan kamu terus-terusan bersedih seperti ini, hubungan antara kamu dengan Rendy akan kembali utuh? Apakah dengan kamu galau seperti ini, Rendy dan Nayla tidak akan jadi menikah? Enggak, kan?”

Kepalaku kugelengkan, untuk menjawab pertanyaan dari Fino.

“Nah, jadi, untuk apalagi kamu bersedih? Ayo, Key, your life must be go on. Jangan terus-terusan stuck dalam kondisi seperti ini. Tentunya, dengan kamu bersedih seperti ini, itu tidak akan membuat kondisi kamu semakin baik. Yang ada justru berlaku sebaliknya, kondisi kamu bakalan lebih parah.”

Fino menarik lenganku, dan mendekap tubuhku yang tingginya berbeda sekian puluh sentimeter dengannya itu ke dalam pelukannya. Di saat itu juga, air mataku meluruh beriringan dengan suara tangis yang mulai meledak.

“Kalau kamu mau nangis, silakan nangis sepuasnya. Pundak aku siap untuk menahan semua beban kamu. Gak masalah, kok, kalau baju aku harus basah, asalkan itu buat kamu merasa tenang, maka aku sah-sah aja.”

Ucapan Fino yang seperti membuka jalan, membuat air mataku kian menderas. Aku tidak peduli lagi bila harus dikatakan seorang perempuan yang cengeng di hadapan Fino, yang aku butuhkan hanyalah tempat untuk aku meluapkan semua tangisku saat ini.

Fino mengusap puncak kepalaku dengan lembut. “Kadang kala, menangis itu bukan pertanda kelemahan seseorang. Menangis ialah suatu proses meluapkan beban yang selama ini sudah menumpuk di bahu, dan tidak ada yang salah dengan menangis. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak pernah menangis, bahkan dia orang terkuat sekalipun. Jadi, kamu jangan takut untuk menangis, ya.”

Aku tidak membalas ucapan Fino. Fokusku kini hanyalah meluapkan segala bentuk emosiku dalam bentuk tangisan.

Cukup lama, aku berada dalam dekapan Fino, hingga kurasa tangisku mulai mereda. Aku berusaha untuk keluar dari dekapan hangat lelaki itu, mengambil beberapa tisu dari kotak tisu yang ada di atas meja.

“Udah lega?”

Aku mengangguk, kemudian tersenyum. “Udah legaan, kok. Makasih, ya, Fin. Maaf, baju kamu jadinya basah, hehe.”

Fino berjalan mendekatiku, kemudian diacaknya rambutku dengan tangan sebelah kanannya. “Iya, gak apa-apa, kok. Asalkan perasaan kamu bisa lega, aku udah turut senang, kok. Karena, aku suka melihat seorang perempuan tersenyum, apalagi itu kamu.”

»»----------------¤----------------««

Terima kasih telah menjadi sandaran yang hebat bagi raga ini. Maaf, bila bebanku terlalu berat, hingga kamu kubuat terlibat dalam rasa yang tak sepantasnya ada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro