Bulan bercerita [Malaikat Tak Bersayap]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Pengarang (Akun Wp) : @annisaaly
Malaikat Tak Bersayap


Bunyi klakson motor saling bersahutan ketika aku terbangun karena kepala ini tak sengaja menyentuh kursi bus yang ada di depanku. Bahu kananku linu akibat terhimpit tas seorang ibu paruh baya di sampingku. Kulihat raut wajahnya menahan rasa sesak, letih dan ingin segera turun dari bus. Menjelang maghrib adalah waktu berbagai kendaraan memenuhi jalanan demi mengantar penumpangnya selamat sampai tujuan.

Bus yang kutumpangi berhenti sejenak setalah melihat beberapa penumpang melambaikan tangannya. Aku terkesiap ketika melihat lima orang masuk disaat bagian tengah bus yang seharusnya dipakai untuk berjalan kini dipenuhi oleh orang-orang yang menggantungkan tangannya. Heran saja pada kenek bus yang tetap memaksakan penumpang masuk ketika di dalam sudah penuh, bahkan mencari celah untuk menggerakkan kakipun tak bisa. Rasanya aku ingin segera sampai rumah dan merebahkan diri ke kasur.

Hari ini terasa panjang dan cukup melelahkan, rasa kantuk, lapar, semua jadi satu. Kuucapkan salam dan berharap mama menyambutku dengan senyum teduhnya. Tetapi, tak ada satupun jawaban yang kudengar. Akupun terus berjalan menuju ruang keluarga mencari sosok mama yang biasanya duduk di kursi sambil membaca Al-Qur’an setiap selepas maghrib. Rasa khawatir menggangguku, langkah kakiku dengan cepat menelusuri seluruh ruangan di rumah ini. Kamar mama yang pertama kali kubuka. Lampu menyala dan kulihat selotip, potongan kertas dan beberapa pita berserakan di lantainya. Kemana mama? Untuk apa semua ini?

Tanpa sadar air mataku rebas, rasa lelah yang kurasakan sejak turun dari bus kota tadi mendadak hilang. Bahu kananku tak terasa linu lagi, yang pasti keringat dingin mengguyur tubuhku dan berharap menemukan mama. Aku teringat pada satu ruangan yang belum kusinggahi. Musholla yang terletak di samping kamarku itu terlihat gelap. Air mataku kembali menetes, rasa takut jika mama tidak ada di sana semakin menjadi-jadi. Kulihat jam tanganku dan menunjukkan pukul 18.05 WIB, mama tidak pernah mematikan lampu jika sedang beribadah. Aku segera memastikannya dengan penuh harap mama benar-benar ada di sana.

Kulihat sosok perempuan mengenakan mukena putih sedang melaksanakan sujud kemudian tasyahud akhir. “Mama,” ucapku dengan keras. Air mataku kembali rebas disertai sesenggukan lirih. Aku tak peduli dengan umurku yang sudah mendekati kepala dua dengan menangis seperti ini, yang terpenting adalah aku menemukan mama bak-baik saja. Sebelum mama menyelesaikan bacaan tasyahud akhir, aku segera melenggang masuk kamar. Aku tak ingin mama melihatku menangis seperti ini, meski aku tak yakin mama akan mendengarnya.

“Kiara,” sapa mama di depan pintu. Sengaja kukunci pintu kamar agar tidak ada yang mengganggu. Pura-pura tak dengar adalah hal yang kulakukan jika sedang kesal. Ya, aku kesal. Merasa tertipu dengan semua yang kualami beberapa menit yang lalu. Kupikir aku dipermainkan oleh kekhawatiranku sendiri. “Kia...” panggil mama sekali lagi.

“Iya, Ma ...,” sahutku kemudian karena aku tak sabar lagi menahannya.

“Nak, beliin Mama lampu di toko depan,” kata mama. Aku semakin kesal, bisa-bisanya mama tidak menanyakan keadaanku dulu dan malah menyuruhku membeli lampu?

“Ma, Kiara capek baru pulang. Besok aja, ya,” kataku dengan berusaha tetap menjawabnya dengan nada normal. “Kalau nunggu besok kelamaan, Kia. Tadi aja Mama meraba-raba ambil sajadah sama mukenah.” Kepalaku pusing mendengar keluhan mama, kalau tidak ada lampu, harusnya bisa pakai senter.

“Besok aja, deh, Ma, ngantuk banget nih.” ucapku yang masih dari balik pintu. Aku tak mendegar lagi suara mama, sepertinya sudah melangkah menjauh dari kamarku. Hari pertama haidh memang sangat berpengaruh pada emosiku, kadang marah lalu tiba-tiba menangis begitupun sebaliknya. Sudah seperti roller coaster yang siap mengguncangkan adrenalin penumpangnya.

Aku memutuskan untuk menyandarkan punggungku ke bantal yang telah tersusun, lalu membuka dengan acak WhatsApp story yang ada. Salah satu temanku memposting sebuah video yang cukup membuatku tertarik. Kubuka video tersebut yang berisi penjelasan seorang ustadz tentang ayat yang menerangkan tentang birrul walidain atau berbakti pada kedua orangtua.

“Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra’ Juz 15 ayat 23 yang artinya, ‘Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkan kepada keduanya perkataan yang baik.’ Ini, berkata ‘ah’ saja sangat dilarang karena hal itu sangat menyakiti hati kedua orang tua ....”

Aku terkesiap mendengar apa yang disampaikan Ustadz Husain. Rasanya seperti hantaman batu keras menembus dadaku, lalu aku teringat bagaimana tadi menolak permintaan mama. Hanya membelikan sebuah lampu di toko depan rumah dan tak perlu menggunakan motor untuk mencapai tempat tersebut, dengan tak tahu diri aku menolaknya. Hal itu tak sebanding dengan upaya mama membesarkanku sejak kecil hingga sebesar ini. Aku langsung bergegas keluar kamar untuk menemui mama. Aku tidak ingin satu-satunya surgaku kecewa apalagi sampai meneteskan air mata.

Kumelihat mama sedang melipat sajadah dan meletakkan di atas kasurnya. Pandangan teduh itu langsung menyadari kedatanganku, aku langsung memeluk dan tangisku pecah dalam pelukannya. “Ma, maafin Kia,” ucapku lirih. “Kenapa nangis?” suara mama menambah dalamnya tangisanku.

“Kia nyesel tadi nggak nurutin Mama, padahal cuma beli lampu aja Kia bisa, Ma,” kataku yang semakin mengeratkan pelukan pada mama. “Nggak apa-apa, Kia, besok aja belinya. Mama udah siapin senter di musholla,” ujar mama padaku. Mama tak menunjukkan marah sedikitpun, hanya ulasan senyum menghiasi wajah ayunya.

Malam ini entah mengapa aku ingin berbaring di samping mama. Meski awalnya menolak, tetapi mama tetap menurutinya. Terasa hangat ketika berada di dekat mama, mendengarkan nasihat-nasihatnya adalah hal yang kunantikan sambil sesekali kubertanya, membenarkan bahkan membantahnya dengan argumenku yang kadang tak masuk akal. Aku teringat sesuatu ketika kami mulai hening. Aku membuka lemari dan mengambil sebuah paper bag yang diluarnya terdapat label nama sebuah produk.

Mama tersenyum lebar ketika mengetahui apa yang ada di dalamnya, sebuah gamis berwarna pastel yang sangat cocok melekat di tubuhnya. Gamis itu adalah incaran mama beberapa hari yang lalu, dan sebagai hadiah ulang tahun kubeli dengan uang tabunganku. Angin malam yang segar menembus melewati celah jendela kamarku, membuat rasa kantuk ini menjadi beban berat di mata. Dua hal yang tak bisa aku tahan di dunia ini adalah rasa kantuk dan lapar. Aku segera memutuskan menarik selimut dan tenggelam bersama hangat pelukan mama di sampingku, lalu berharap mama meridhoiku atas peristiwa hari ini.

“Maafkan Kia, Ma,” ucapku lirih. Mama tersenyum simpul lalu mengangguk. Mama selalu sabar menghadapi sikap anak-anaknya, meski hatinya terluka ia selalu menutupi dengan senyuman paling tulus. Mama layaknya malaikat tak bersayap, takkan pernah ada yang menggantikan mama di hatiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro