1. Malaikat dari Klub Memasak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ryu Takahashi

Gadis berkucir dua mondar-mandir dalam ruang serba guna yang telah disulap menjadi dapur oleh anak-anak klub memasak. Ia mengoceh ini-itu sambil memberi penjelasan dan instruksi, menggantikan guru prakarya yang terduduk pucat bersama bulir-bulir keringat dingin. Perlu diperhatikan bahwa Bu Fumiko--guru prakarya--tidak sakit, ia hanya terkejut dan didera kebingungan setelah kelas sebelumnya menghanguskan tiga per empat ruang praktik.

Penyebab pasti dari terbakarnya ruang praktik masih menjadi misteri, tapi anak-anak berandal kelas sebelas B telah dicurigai sebagai pelaku utama. Kelakuan mereka memang patut dipertanyakan, lagi kabarnya mereka bergerombol dekat sumber api saat kebakaran terjadi. Beruntung tidak ada korban jiwa pun luka dari insiden menghebohkan itu. Namun praktik memasak untuk kelas sebelas C dan D nyaris dibatalkan.

Sejatinya, aku lebih sependapat dengan wacana pembatalan kelas, tapi murid-murid perempuan memprotes dengan alasan sudah bersusah payah menyiapkan bahan-bahan serta resep, bahkan telah sesumbar akan memanggangkan kue untuk kekasihnya. Rangkaian protes dari sebagian besar murid perempuan mengusik hingga si gadis kucir dua dan kawan-kawannya dari klub memasak memutuskan untuk turun tangan. Mengesalkan memang, terlebih kami--aku dan murid laki-laki lain--hanya bisa menurut sambil mengolah bahan-bahan yang ada sebaik mungkin.

"Setelah itu adonan harus didiamkan hingga mengembang," ucap si kucir dua lantang dengan senyum sehangat musim panas. Anggukan dan "oh" menyusul setelahnya dari sebagian besar murid perempuan kelas sebelas C SMA Ueno. Mereka melingkari Asami dengan berisik dan tidak efisien, persis seperti karakteristik anak-anak SMA kebanyakan. Sementara aku dan si jakung Kazuhiko mengamati sambil bersandar di sisi depan ruangan, bersebelahan dengan Bu Fumiko yang--masih--terduduk lemas.

Praktik memasak bukan masalah besar untukku dan Kazuhiko, mengingat aku kerap memasakkan sarapan dan makan malam untuk Kakek, sementara Kazuhiko--mungkin--sering memasak untuk ayahnya. Terlebih kami berteman baik dengan Asami alias si kucir dua yang mendapat julukan malaikat dari klub memasak.

Kemampuan si gadis kucir dua memang tidak bisa dianggap remeh. Ia telah belajar memasak terutama membuat kue serta roti-rotian sejak kecil. Bakat serta ilmu dari orangtuanya yang menjadi pemilik toko kue legendaris di komplek pertokoan Yanaka Ginza--Sato's Bakery--jelas diwariskan pada Asami. Lalu aku dan Kazuhiko yang notabene bertetangga dengan Asami sedikit mendapat pengalaman sebab kadang membantunya berkreasi atau sekedar mencicipi.

"Ini enak," Bu Fumiko berkomentar setelah memamah sebongkah kukis dengan taburan cokelat chip yang Aku dan Kazuhiko buat. Lihat, kami--aku dan Kazuhiko--benar-benar tidak kesulitan dan telah berhasil memanggang setoples kecil kukis. Sementara murid-murid lain masih sibuk menyimak penjelasan Asami. "Seharusnya kalian tidak satu kelompok supaya kelas memasak ini lebih cepat selesai, atau kalian pasti bisa memantu Asami memberi penjelasan." Aku dan Kazuhiko saling menatap.

Kazuhiko mengumbar tawa lalu tersenyum sebelum memberi jawaban diplomatis. "Haha, kami hanya akan menghambat Asami Bu." Aku diam-diam mengacungkan jempol ke arah Kazuhiko dan ia membalas sambil mengerling.

Bu Fumiko kembali menikmati kukis, sementara aku dan Kazuhiko sepakat untuk tidak mempertanyakan hak kami sebagai pemilik sah dari apa-apa yang berada dalam toples kecil. "Benar-benar calon penerus toko kue legendaris dari Ginza," ia melanjutkan. Aku menyikut lengan Kazuhiko beberapa kali, memberi kode agar ia menanggapi komentar Bu Fumiko.

Si jangkung ini sempat membisikan sesuatu seperti, kenapa tidak kamu saja atau sejenisnya sebelum menyerah. "Iya Bu, Asami memang pandai memasak, ia juga tanggap dan senang menolong, seperti bulan lalu, ia mencarikan rumah untuk anak anjing yang dibuang di dekat jalan masuk Ginza, saya dan Ryu juga ikut membantu, lebih tepatnya dipaksa membantu," Kazuhiko menepuk pundakku. "Kami tidak bisa menolak Asami, sulit sekali, dan berakhir dengan diseret ke sana-kemari." Ia mengakhiri dengan tawa renyah dan Bu Fumiko mengikuti.

Aku tidak begitu menyimak apa yang diobrolkan oleh Kazuhiko bersama Bu Fumiko setelahnya. Sebab si kucir dua menatap dan melambai ke arahku. Bibirnya yang merah muda seperti memanggil atau menyemangatiku, aku tidak yakin karena ramai riuh suara dalam ruang serba guna menghalangi segalanya. Aku hendak mendekati si kucir dua untuk meminta penjelasan tapi murid-murid lain dengan cepat mengambil alih kekuasaan atas dirinya. "Ryu? Bagaimana?" Bu Fumiko bertanya.

Aku menatap ke arah Kazuhiko, meminta ia memberi kode mengenai apa yang sebenarnya Bu Fumiko tanyakan. Sayang si jangkung itu bergumam tidak jelas dan Aku tidak menangkap satu pun kata dari mulutnya. "Maaf apa?" aku menyerah.

"Apa kamu bisa membantu Ibu membereskan ruang praktik sepulang sekolah Ryu? Ibu tahu kamu pandai memperbaiki barang jadi Ibu rasa akan sangat membantu jika kamu ikut." Aku mengangguk paham, tapi menggeleng setelahnya sambil menggaruk tengkuk. "Kazuhiko juga akan ikut."

"Ah saya ingin membantu, tapi saya punya pekerjaan sambilan," jawabku ragu. Sekolah memang mengijinkan muridnya melakukan kerja sambilan, tapi aku rasa akan terdengar aneh mengetahui seorang murid SMA mengambil shift malam. Terlebih murid itu adalah aku yang notabene menduduki peringkat lima besar.

"Di tokomu sendiri? Itu bukan kerja sambilan," Kazuhiko memprotes. Ia berkacak pinggang sambil menatapku penuh dendam.

"Tentu saja bukan." Aku membalas tatapan tidak menyenangkan darinya.

"Lalu? Aku kira kamu sudah cukup sibuk dengan belajar Ryu." Aku bungkam. Akan terdengar semakin aneh jika Kazuhiko dan Bu Fumiko mengetahui aku mengerjakan berbagai macam kerja sambilan--dan lalai dalam belajar. Mengingat aku adalah anomali dari stereotip murid pintar tidak melakukan kerja sambilan dan belajar sepanjang waktu. Kini keduanya menatapku intensif, seolah meminta penjelasan yang tidak ingin Aku utarakan.

"Jadi begini ...." Untungnya, beberapa murid perempuan datang mendekat, menyudahi percekcokan serta tatap menatap antara aku dengan si jakung Kazuhiko. Mereka meminta Bu Fumiko dan Kazuhiko untuk mencicipi dan memberi komentar atas kreasi mereka. Beberapa bahkan telah membungkus kue-kuenya dengan cantik, lalu sambil tersipu dan malu-malu menyerahkan kepada Kazuhiko. Aku? Tentu saja diabaikan, mereka terlalu takut untuk mendekat serta mendengar kritik pedas dariku. Seluruhnya, kecuali Asami.

Si kucir dua mendekat membawa sepiring kukis cokelat dengan taburan buah kering. "Ryu! Cicipi," ucapnya sambil menyodorkan sebongkah kukis ke mulutku. Ya, ia memberiku makan alias menyuapiku. Aku mengigit pemberian Asami lalu mengambil alih sisa kukis dari ceruk tangannya.

"Kamu kan memang pandai memasak, tanpa dicicip pun sudah jelas enak dan layak jual." Asami terkekeh, lesung di pipi kirinya merekah seperti bunga sakura saat musim semi. Cantik meski berada dalam naungan musim gugur.

"Tapi aku jarang membuat kue kering, tokoku kan menjual roti, kue basah, bukan kukis." Harus kuakui bahwa kukis Asami cocok untuk mereka yang senang dengan makanan manis. Sebab renyah yang meleleh dalam mulutku memberikan aroma serta sensasi gula. Sayang, buah kering di atasnya tidak menambah cita rasa, bahkan asam atau segar pun tidak.

"Kamu benar, cokelat dan buah kering bukan pasangan serasi," aku berkomentar.

Asami melesu lalu bertanya. "Menurut Ryu apa yang cocok untuk adonan cokelat?" Aku bukan koki pastri pun mengerti banyak masalah masak-memasak. Jadi tidak banyak pilihan jawaban yang terlintas di otakku.

"Entah, cokelat chip jelas tidak, taburan keju mungkin?" Asami kembali terkekeh, tangan kirinya menutupi sebagian tawa dan bilahnya yang terang menyipit.

"Tapi ada produk kemasan kukis cokelat dengan cokelat chip yang laris sekali looh." Benar juga, bahkan sudah dikirim dan dijual di berbagai negara.

Aku mengedik lalu berkilah. "Menurutku terlalu manis jika ditaburi cokelat chip."

"Itu karena Ryu memang tidak suka manis, keju diserut?" Koreksi, aku tidak begitu menikmati makanan manis, tapi sesuatu seperti Asami yang nampak manis tidak masuk hitungan.

"Dipotong kecil seperti buah kering ini," jawabku sambil menggaruk tengkuk. "Terimakasih kukisnya."

"Sama-sama Ryu, tapi mendengar komentar Ryu aku jadi ragu untuk membungkus ini dan memberikannya pada Kazuhiko."

"Kenapa? Ini enak, lagipula aku yakin tiang listrik itu tidak peduli dengan apa yang ia makan." Ah sialan bukan?



🍪__________🍪__________🍪__________🍪

Bu Fumiko mengajar kateika alias home economic education atau kalau di-Indonesia-kan menjadi pendidikan kesejahterahan keluarga. Karena terjemahan resminya terlalu panjang dan tidak cantik, saya ubah menjadi prakarya.

Kateika berisi ilmu-ilmu untuk bertahan hidup sendiri atau dalam rumah tangga, seperti memasak, menjahit, memperbaiki alat-alat elektronik, dan pertukangan sederhana. Jadi kateika memang dekat dengan mata pelajaran prakarya di Indonesia.

Yanaka Ginza yang menjadi tempat tinggal Asami, Ryu (aku), dan Kazuhiko terletak di Tokyo. Tempat tersebut merupakan shopping street dengan puluhan toko-toko tradisional yang kebanyakan diturunkan dari generasi ke generasi. Seperti toko kue legendaris Sato's Bakery milik keluarga Asami (Asami Sato). Kalau di Indonesia terlihat seperti komplek pecinan dengan jalan berpaving yang sempit dan ramai.

Ryu (aku) sempat mengatakan bahwa lesung di pipi Asami cantik meski dalam naungan musim gugur. Jadi saya rasa para pembaca bisa menebak latar waktu yang digunakan kan?

Terimakasih
Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro