17. Janji yang Diingkari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Asami memanggang banyak kue lezat dan kami mengadakan pesta kecil di kediaman Kazuhiko. Alasannya sederhana, karena orangtua Kazuhiko tidak mengincar pemasukan lebih akibat perayaan Natal. Mereka menutup toko lebih cepat dan pergi berkencan, menikmati keramaian serta kemeriahan yang jarang bisa dihabiskan berdua.

Seperti tidak ingin kalah dari Asami, Maeko hadir bersama dua botol soda, asinan-asinan, dan daging hasil memeras Kak Amane. Aku sendiri menenteng sekotak camilan tradisional entah apa yang sejatinya diberikan oleh Ayah untuk Kakek. Tenang, Kakek sendiri yang memaksaku menghabiskan panganannya bersama kawan-kawan.

Kazuhiko sebagai tuan rumah tidak menyiapkan apa-apa selain tempat dan peralatan makan. Ia sempat menawarkan dekorasi-dekorasi khas Natal, tapi Maeko menentang sebab tidak ingin merepotkan. Toh meski disebut pesta kecil, nyatanya hanya pertemuan berisi obrolan dan makanan. Mungkin yang menjadikan hari ini lebih istimewa adalah terbebasnya Kazuhiko-Asami dari kelas perbaikan.

Si Kucir Dua memulai dengan memotong kue yang ia bawa, membaginya menjadi delapan sambil menjelaskan proses pembuatan. Maeko nampak tidak sabar, ia terus mengucap ayo-ayo sambil mengetukan sendok ke piring. Sementara Kazuhiko menyimak dengan seksama seolah suatu hari ia akan mempraktekkan apa-apa yang Asami jelaskan.

Obrolan dibuka dengan keluh kesah Maeko mengenai si penguntit. Ia telah beberapa kali menemui si pelaku dan berusaha bicara dari hati ke hati. Mungkin karena ia tidak ingin bermusuhan dengan si penguntit, sebab si penguntit pernah menjadi penggemar yang mendukungnya. "Ia bilang tulisanku sudah menemaninya selama latihan, apalagi salah satu tokohnya pandai karate, jadi ia kesal setelah menyadari bahwa aku yang mengalahkannya di arena adalah CherryPossum."

"Tafi bafaimana ia bisa mendapat foto dari dalam gedung SMA Ueno?" Asami bertanya sambil mengulum sendok.

"Ia tidak sendiri!" Kazuhiko memberi jawaban tegas. "Mungkin teman atau saudaranya bersekolah di Ueno."

"Benar, tapi ia bersikeras untuk tidak menyebut nama." Kekesalan muncul sejenak di wajah Maeko sebelum dinetralkan oleh kue-kue manis buatan Asami.

"Kalian sudah berbaikan?" Kini aku yang angkat bicara. Maeko mengangguk dengan kue di mulutnya. "Bagus lah."

Kazuhiko menggeleng, entah karena tidak senang mendengar masalah Maeko terselesaikan atau tidak setuju dengan pilihan berbaikan. "Aku tidak mengerti kenapa seseorang rela bersusah payah menguntit dan meneror, hanya untuk masalah remeh, dikalahkan dalam pertandingan."

"Ia pasti sudah berusaha keras dan mungkin memasang target terlalu tinggi, jadi saat ia gagal lukanya jadi semakin dalam." Asami memberi penjelasan sambil menuang soda ke gelas-gelas. Aku membantunya membagikan gelas dan ia memberi senyum hangat sebagai balasan.

"Kamu tidak akan menjelaskan mengenai Agensi Yang atau apapun itu?" Kazuhiko terlonjak mendengar pertanyaan Maeko. Si Jangkung lantas bercerita dengan runtut, mengenai pertemuannya dengan Yang Jeha serta tawaran-tawaran yang ia terima setelahnya. Beberapa kali ia menatapku takut-takut, seperti meminta persetujuan apakah ia boleh menyebutku sebagai salah satu alasan di balik keinginannya untuk menjajal dunia hiburan. "Sekarang bagaimana? Orangtuamu sudah setuju?"

"Ya, tapi aku harus berjanji akan bersungguh-sungguh mengikuti ujian masuk." Maeko tertawa, mungkin ia membayangkan kegagalan Kazuhiko dalam ujian masuk. Padahal belum tentu Si Jangkung itu mendapat penolakan. "Aku akan menghadiri banyak les semester depan."

"Bagus bukan? Kamu akan jadi semakin pintar, dan mungkin melampaui Asami juga Maeko." Aku menjeda dan menyendok potongan terakhir. "Tapi kamu jangan banyak berharap bisa melampauiku."

"Aku jadi ingin mencoba dunia hiburan juga seperti Kazuhiko, anak-anak Klub Memasak bilang aku cukup imut dan manis, mungkin aku bisa menjadi idol!" Asami mengepalkan tangan kanannya dengan berapi-api.

"Kupikir kamu ingin jadi koki atau sejenisnya?" Asami menatap Maeko lekat-lekat, seperti berpikir sebelum melempar jawaban.

"Benar, aku akan jadi pa-pati-patissier saja." Ia tetap nampak manis meski terbata. "Maeko akan jadi penulis bukan? Ya? Ya?" Kekagumannya kepada CherryPossum kembali mengudara.

"Aku belum memikirkan, lagipula CherryPossum itu hanya iseng, aku mungkin akan mengambil alih toko karena Ayah akan kesulitan jika kedua anaknya berkuliah." Aku hendak menanyakan kabar Kakak Maeko yang meninggalkan Yanaka Ginza untuk menuntut ilmu, tapi gadis itu lebih gesit. "Benar, kakakku belum lulus jika kalian penasaran."

"Kamu bisa menulis sambil mengurus toko bukan?" Asami tersenyum penuh makna. "Ryu harus mencoba membaca tulisan Maeko!"

"Aku lebih suka membaca buku pelajaran atau komik."

"Begini saja!" Asami mengeluarkan ponsel dari saku roknya, ia lantas sibuk menekan-nekan. "Aku sudah mengirimkan tautannya, jika Ryu berubah pikiran." Aku mengangguk sementara Maeko menggeleng.

"Bagaimana denganmu? Kamu akan pergi?" Gadis tangguh itu memang tidak kenal ampun. Padahal aku tidak ingin membicarakan hal-hal yang belum bisa aku putuskan.

"Entah, aku mungkin akan meninggalkan Yanaka Ginza dan tinggal dengan ayahku, atau tetap di sini dan mengambil alih toko Kakek, aku belum memutuskan."

Kupikir Kazuhiko menyadari ketidaknyamanan yang muncul, ia lantas mengambil alih obrolan-obrolan dan menyudahi pembahasan. "Lakukan saja apa yang kamu suka, atau kamu anggap benar, lagipula kita masih punya waktu untuk bersenang-senang, omong-omong aku sudah tidak sabar untuk ronde kedua! Ayo masak dagingnya!" Maeko bersorak gembira dan Asami mengiringi dengan tawa. Rasanya aku ingin "bersenang-senang" lebih lama, dengan Kazuhiko, Maeko, Asami, Kakek, dan mungkin Ibu jika diperbolehkan.

Maeko dan Asami pulang lebih awal dengan alasan kewajiban membantu membereskan toko. Sementara aku memilih menemani Kazuhiko sambil menghabiskan waktu dengan beberapa permainan konsol. Kami benar-benar bermain sampai Paman dan Bibi Ito kembali, sekitar pukul sebelas lebih beberapa menit.

Kakek masih sibuk membereskan peralatan reparasi saat aku pulang. Lantas aku berinisiatif menyeduhkan teh untuknya sebagai penebus waktu yang tidak dihabiskan bersama. Jadi kami duduk berhadap-hadapan di ruang tengah, sambil memandangi televisi yang menampilkan acara-acara spesial.

Orang tua itu mungkin tahu apa yang hendak aku bicarakan, tapi ia tidak mengambil kesempatan untuk membuka. Sementara aku yang masih dihantui oleh keraguan dan berbagai pemikiran memilih diam sambil sesekali menyimak ponsel. Maeko mengirim pesan, berisi keinginan-keinginan untuk bicara lewat panggilan dan aku memintanya menunggu sebentar.

"Kakek, mengenai ajakan Ayah."

"Aku tidak keberatan, apapun yang kamu inginkan, kamu bisa tinggal di sini dan menemani Kakek, mungkin kita bisa memulai usaha lain yang lebih menguntungkan daripada menjual jam atau menawarkan jasa perbaikan." Kakek memainkan cangkirnya sebelum melanjutkan. "Kamu juga bisa mengikuti ayahmu, Kakek akan baik-baik saja di sini, menjaga ibumu dan tempat yang kamu anggap istimewa ini."

"Aku meminta waktu lebih kepada Ayah, untuk berpikir, tapi sepertinya, jawaban dan pilihan terbaik sudah terpampang jelas sejak awal." Aku meneguk teh dalam cangkir dan menatap bayangan di dalamnya lekat-lekat. "Aku hanya menutup mata dan telinga, tidak bisa melihat dan merasakan, meski Ibu membuatku sakit, aku tidak bisa menganggapnya bersalah."

"Jadi? Aku ingin mendengar keputusanmu sekarang, jika bisa."

Aku menatap Kakek, televisi yang dibisukan, dan cangkir-cangkir secara bergantian. Mencari-cari kalimat yang tepat untuk menggambarkan isi pikiran. "Tapi setelah aku membuka mata, yang ada hanya ketakutan, bagaimana jika semua yang masih tersisa dan aku miliki sekarang, akan hilang sepenuhnya saat aku kembali."

Kakek tersenyum, lantas tertawa pelan beberapa saat. Aku tidak mengerti bagian mana dari kalimatku yang lucu atau menggelitik. "Semua bisa berubah dan hilang, bahkan jika semua masih berada di tempat yang sama." Kakek menjeda. "Mungkin perasaanmu yang berubah."

"Seharusnya aku bertanya saja pada Kakek sejak awal."

"Pengalaman itu akan berguna nantinya Ryu." Kami saling mentertawakan setelahnya, hingga tengah malam dan aku didesak oleh keinginan untuk menyelesaikan segala urusan.

Aku sudah merebahkan tubuh di ranjang, tapi jemariku masih sibuk mengetik pesan singkat untuk Ayah. Mengenai permintaan-permintaan maaf, pencerahan-pencerahan, dan keputusan yang mungkin ia tunggu. Aku tidak mengira Ayah masih terbangun selarut ini, tapi ia membalas dengan sangat cepat dan membubuhkan banyak karakter lucu di akhir kalimat. Seperti kehadiranku sangat menggembirakan untuknya, atau memang selalu seperti itu selama aku menutup mata.

Pesan Maeko hampir terlupakan, aku cepat-cepat menghubunginya sebelum Gadis yang Tidak ada Manis-manisnya itu melemparkan kemarahan dan kejengkelan. Ia mengangkat di dering ke-lima lantas mengatakan telah menungguku lama. "Aku baru saja selesai bicara dengan Kakek, apa terlalu malam, bagaimana kalau besok saja?"

"Tidak, sekarang!" Gadis tangguh itu membentak dan telingaku diserang oleh ketidaknyamanan. "Aku baru ingat, kamu berhutang padaku, kamu setuju untuk mengajakku menonton."

Aku mencoba mengingat-ingat kapan, di mana, dan mengapa, tapi tidak berhasil. "Kamu tidak sedang mengada-ada bukan?"

"Tidak, saat di kantin, kamu menginginkan informasi mengenai rumor yang menimpa Asami." Dipikir kembali, rasanya memang ada meski samar. "Jadi ayo menonton, berdua saja, kapan?"

"Kamu tidak ingin mengajak Kazuhiko dan Asami? Kita bisa pergi bersama dan." Usulanku dipotong dan ditolak mentah-mentah. "Ya, kapan saja, aku tidak masalah, selama bukan akhir pekan, ayahmu memang memberi libur tapi aku masih harus membantu Nenek Yadori."

"Kalau begitu, sebelum tahun baru? Atau malam tahun baru saja? Kita bisa melakukan banyak hal bukan? Er, berjalan-jalan dan menonton kembang api misalnya." Aku merasa Maeko sedikit gugup, atau perutnya bermasalah setelah memakan banyak kue dan manisan.

"Tentu, tahun baru, itu saja?"

"Ya, selamat, tidur."

Saat itu aku tidak tahu bahwa Ayah akan sangat bersemangat. Ia datang pagi-pagi sekali dengan berbagai hadiah dan penjelasan mengenai apa-apa yang ia rencanakan untukku. Aku tidak pernah melihat ia tertawa dan tersenyum setulus ini di kunjungan-kunjungannya yang jarang. Seperti aku membangkitkan anak kecil dalam tubuhnya yang telah lama memendam keinginan untuk berteman.

Ayah membawaku pergi lebih cepat, aku bahkan tidak sempat memikirkan janjiku pada Maeko untuk menonton. Lantas apa yang aku takutkan benar-benar menjadi kenyataan.

Aku melupakan Kakek, Maeko, Kazuhiko, Asami, juga Ibu, meski mereka masih berdiam di tempat yang sama.



🌸__________🌸 SELESAI 🌸__________🌸

Ahaha

( ;∀;)

Haha

Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro