3. Wajah yang Disembunyikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Aku dapat Polar Brute kemarin," ucap Kazuhiko sambil memamerkan layar ponselnya. Ia benar-benar tidak kenal waktu dan mengganggu secara keseluruhan. Tidak sadarkah ia jika aku sedang khidmat membaca catatan untuk kuis sejarah sebelum istirahat siang nanti.

"Aku sudah punya monster itu sejak event musim dingin tahun lalu." Jawabku sambil menutup buku rapat-rapat. Sebenarnya aku sengaja datang lebih awal untuk belajar, menghafal, dan mempertahankan pamor serta peringkat, tapi agaknya niatku telah diluluh-lantakan.

"Sial," serapah Kazuhiko setengah berbisik. Wajahnya berubah tidak sedap dan tanpa peringatan ia usir si peringkat satu dari peraduan. "Aku bosan duduk di belakang, kamu ingin bertukar?" ia bertanya sambil mempersilakan dirinya sendiri, menempati bangku si peringkat satu, tepat di hadapanku.

Aku menaikkan alis lalu terkekeh, menyadari bahwa laki-laki jakung itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk duduk di barisan tengah, apalagi depan. Tentu karena tidak ada yang mampu menyimak dengan baik dan benar jika duduk di balik bayangan Kazuhiko, ia menghalangi pandangan, terlalu tinggi. "Omong-omong Polar Brute hebat jika dikombokan dengan Lady Yukiko." Ia kembali membicarakan hasil buruannya sebagai upaya menyombongkan diri.

"Sekarang Sakura Dragon dan Frizzle yang sedang naik daun, kamu sudah dapat salah satunya?" meski gagal. Kazuhiko menggeleng, wajahnya melesu dan dihinggapi kekecewaan. Memang tidak mudah menyaingi kehebatan Ryu Takahashi, baik di dunia nyata maupun di dalam permainan.

Kami--aku dan Kazuhiko--larut dalam obrolan setelahnya, hingga tidak menyadari keberadaan murid lain yang kian mendekat. Mereka mengambil momentum dan turut bicara, sekedar saling adu hoki atau memamerkan monster hasil buruannya. Sesekali aku menanggapi, saat mereka salah mengkalkulasi cara membalas dan menghalau kombo-kombo berbahaya, atau saat kombo baru diutarakan dengan tidak banyak pertimbangan. Tipikal obrolan anak-anak SMA yang sedang menggilai suatu permainan. Setidaknya begitu, sampai salah satu membawa-bawa topik sensitif dengan lancang, "hei sudah dengar gosipnya?"

Lantas yang lain menimpali berbekal asumsi-asumsi. "Tentang Asami, wah Aku tidak menyangka." Padahal keduanya baru mengetahui sebagian dari duduknya perkara, aku yakin belum ada yang berani meminta penjelasan Asami.

"Akunmu hoki sekali Ryu! Aku ingin Frizzle!" Tentu saja, sebagian besar anak laki-laki kurang peduli dengan gosip dan rumor-rumor.

"Aku hanya habiskan empat diamonds untuk Frizzle," jawabku sombong.

"Cih, aku akan dapatkan Sakura Dragon lebih dulu, lihat saja pembalasanku Ryu!"

"Teruslah bermimpi kawan, teruslah bermimpi." Lingkaran manusia membesar bersamaan dengan obrolan yang kian dalam dan kental. Bahkan penunjuk waktu di ujung belakang ruang kelas tidak cukup kuat untuk membendung keseruan-keseruan. Persetan dengan kuis sejarah, membahas permainan lebih menyenangkan.

Sayang seluruhnya terhenti saat eksistensi megah Asami memecah jarum jam dan memasuki ruang kelas dengan sekali hentak. Kucir duanya melenggak bersama rok lipit pipih yang menutupi paha hingga sepuluh senti di atas lutut. Ia nampak sumringah dengan senyum lima jari dan pipi kemerahan, tapi sesuatu terasa berbeda. Bukan Asami, melainkan tiap-tiap makhluk penghuni ruang sebelas C. Seluruhnya diam seolah sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak berpikir, berbicara, dan bernapas mengenai kabar-kabar tidak sedap.

Aku yakin Asami menyadari kejanggalan dalam atmosfir ruang kelas, sebab langkahnya terhenti bersamaan dengan wajah yang memasam. Ia diam selama dua atau tiga detik, sebelum mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan apa-apa yang tertunda. Aku tidak bisa mengamati atau mengira-ira dengan lebih baik, sebab jarak yang menjengkelkan membentang antara kursiku dengan keberadaan Asami. Pikirannya tidak terbaca, tapi mungkin berada di antara menenangkan diri dan melampiaskan kekecewaan.

"Selamat pagi," ia angkat bicara setelah sampai di bangkunya. Namun sapaan ramah serta sopan milik Asami diabaikan oleh mereka yang berdiri atau duduk dekat dengannya. Aku hampir bertindak konyol dengan memberi balasan, jika saja Si ketua kelas yang tanggap dan bertanggung jawab tidak cepat-cepat menyahut dari kejauhan. "Selamat pagi Asami."

Maeko memang telah memperingatkan dan membuatku memikirkan apa-apa yang mungkin terjadi selepas rumor dari SMP Suwadai lepas kendali. Meski jujur, aku tidak mengira akan separah ini. Maksudku, kita sedang membicarakan Asami Sato, gadis manis yang dijadikan idola dan disebut-sebut sebagai malaikat dari klub memasak. Kupikir mereka yang menyanjung, memuja, dan mengkultuskan Asami tidak akan berpaling semudah itu. Terlebih hanya karena sebaris artikel tanpa kredibilitas yang masih simpang-siur.

Aku menatap Kazuhiko, mengirim sinyal permintaan bantuan agar ia melakukan sesuatu atas dasar persahabatan. Sebagai anak tukang lukis yang menjajakan barang-barang seni di Yanaka Ginza, ia pandai bicara dan menyetir suasana, termasuk bergaul juga berinteraksi dengan berbagai macam rupa manusia. Aku yakin Kazuhiko lebih dari sekedar mampu untuk mendinginkan dan mengendalikan ketegangan akibat munculnya kabar tidak sedap--mengenai Asami. Sialnya, si jakung itu hanya melirik sebentar, seolah tidak menangkap apa-apa yang aku kirimkan, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.

Sesuatu dalam pikiranku memuncak, seperti jengkel yang naik hingga ruas teratas tulang rusuk atau napas yang dicekat tepat di tengah-tengah tenggorokan. Beruntung aku telah dibekali dengan kesabaran seluas samudera oleh takdir dan keadaan. Otakku bergerak, menampilkan asumsi-asumsi mengenai isi pikiran para penghuni ruang sebelas C.

Aku tidak ingin berprasangka buruk jadi opsi paling positif kuambil sebagai kesimpulan semu. Mereka tengah didera ketakutan, kebingungan, dan keraguan di saat yang bersamaan. Maka aku harus bertindak, sesuatu yang mampu memecahkan pikiran tidak berguna milik penghuni kelas.

Aku bangkit dari kursi dan dengan serta-merta mengajak Asami bersitatap dari jarak tiga setengah atau empat meter. Sebuah helaan dan embusan berat kulayangkan sebelum bersuara tanpa menampilkan kesal yang memang telah tenggelam hingga dasar. "Selamat pagi Asami, kamu sudah belajar untuk kuis siang nanti?" Murid-murid yang sebelumnya asik membicarakan kombo-kombo mematung, mereka menatapku horor seperti sedang menonton tindak kriminal berat.

Asami tertegun dan asumsi-asumsi bermunculan dalam kepalaku. Bagaimana jika Asami memilih mengabaikan, atau parahnya ia lari tunggang-langgang meninggalkan ruangan karena malu? Memang rasanya kedua hal tadi tidak mungkin terlintas dalam pikiran Asami, tapi bagaimana jika iya. Aku dirundung cemas berkepanjangan sebelum bilah Asami yang cokelat terang membulat sempurna dan seulas senyum sehangat musim panas kembali ia layangkan ke penjuru ruang kelas. "Selamat pagi Ryu, aku sudah belajar tapi sepertinya tidak akan berhasil hehe."

Ya, gadis seperti Asami tidak mungkin melakukan hal buruk hingga mengganggu mental orang lain.

Tindakan tadi cukup ampuh hingga bisikan-bisikan yang mengimani kepercayaanku lamat-lamat ramai terdengar. Murid-murid yang sebelumnya diam mulai melingkari Asami, mereka menyapa dan menanyakan kabar si kucir dua seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan salah satu yang cukup berani meminta Asami mengajarinya membuat cake ulang tahun tanpa basa-basi. Si kucir dua? Ia jelas setuju, gadis manis itu memang cocok dinobatkan sebagai malaikat, toh dilihat dari sisi mana pun Asami terlalu polos untuk melakukan tindak tercela.

"Kita ada kuis?" Salah satu murid yang sebelumya asik memamerkan monster berteriak histeris.

"Iya, sejarah," jawabku enteng meski sejatinya aku sendiri belum bersiap sama sekali--dan Kazuhiko telah mengganggu konsentrasiku pada catatan serta hapalan-hapalan. Murid itu menggeleng tidak percaya, lantas bergegas menghampiri ketua kelas hanya untuk mendapatkan jawaban "ya benar" dan terkulai lemas setelahnya. "Kamu sudah belajar Kazuhiko?" tanyaku.

Si empunya nama menatap dengan bilah penuh pertanyaan, seperti baru saja melihat keajaiban atau mendapat monster baru yang ia idam-idamkan. Ia menggeser kursi lalu bicara dengan berbisik-bisik. "Ryu, bagaimana jika rumor itu benar? Kamu sudah memastikannya dengan Asami? Kamu masih waras bukan? Maksudku, kamu tiba-tiba bangkit dan melakukan tindakan heroik, aku tidak bisa berkata-kata."

Tanpa pikir panjang aku memukul puncak kepala Kazuhiko dengan buku catatan. Si jakung ini seperti orang bodoh saja, sebagai salah satu kawan Asami sejak kecil bukankah sudah seharusnya aku--dan ia--sedikit lebih mempercayai dan membela Asami. "Kita sudah berteman dengan Asami sejak kecil, kamu tidak pengertian sekali," jawabku kesal.

Kazuhiko mengelus kepalanya sambil mengaduh, ia menggeleng beberapa kali sebelum menimpali. "Jujur saja Ryu, kamu pasti tertarik dengan Asami bukan?"

Aku mengambil napas panjang-panjang dan mengembuskannya sekali hentak. Tentu saja iya, tapi "Kazuhiko, kamu tahu aku punya banyak hal untuk diperhatikan, apa menurutmu aku masih sempat memikirkan kecengengan-kecengan seperti itu?" Aku menjeda. "Sudah, aku tidak sempat belajar semalam," kilahku sambil membuka buku catatan, berpura-pura membaca demi menyembunyikan semburat yang mungkin saja muncul.

"Aku hanya menebak-nebak Ryu," pungkas Kazuhiko. "Kita memang sudah berteman lama dengan Asami, tapi nyatanya tidak begitu dekat bukan." Kupikir ia telah menyudahi argumennya.

"Kamu benar kali ini, aku hanya mengira Asami tidak mungkin melakukan hal buruk mengingat bagaimana ia bertingkah, tapi akan kutanyakan nanti," aku mengakhiri. Kazuhiko mengangguk, wajahnya nampak puas dan ... ah, aku harus belajar untuk kuis bukan?







🍪__________🍪__________🍪__________🍪

Game dalam cerita bukan p*kemon apalagi p*kemon go. Sejatinya saya mengambil beberapa nama monster dari permainan Ne*m*nster, silakan tambahkan saya sebagai teman jika kalian memainkan permainan ponsel itu juga.

Pandu: 69173266
Yang fotonya Rosempress

Kenapa saya main game itu? Karena gabut aja :D


Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro