Hari 1 - Darah Leda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


BENJAMIN memandangi hamparan panorama di pucuk bukit, meresapi rasa bagai menjejaki kening bumi, memanjakan mata dengan pemandangan hijau yang sengaja dihampar khusus untuknya seorang. Sawah, ladang, dan huma—semua permai. Tampak jauh mengecil dari tingginya tempat sang Cokro mengamat.

Kalau didongengkan dalam drama korporasi picisan, bisa saja kondisi Benjamin saat ini merupakan sebuah skenario blessing in disguise; berupa bangkrutnya imperium kapital grup Cokro, Benjamin sekeluarga jatuh miskin, tergusur tinggal menepi di sudut peradaban dengan rumah bak gubuk, dan ujung-ujungnya jatuh cinta pada gadis desa lokal, menikah, dan hidup bahagia selamanya.

Tapi sayangnya, tidak.

Tidak, sebab kemaharajaan Cokro Group masih berdiri kuat, harga saham mereka masih kekar, financially secure dan terus melaba setiap kuartalnya.

Tidak, sebab alih-alih jatuh cinta dan menjalani hari-hari bahagia, Benjamin malah semakin bingung dengan posisinya sendiri saat ini.

Selepas mengantarnya kemarin, keluarga Om Moel bertolak kembali ke peradaban sebelum matahari genap tenggelam. Benjamin melepas kepergian sekelompok manusia yang merupakan penghubungnya dengan kehidupan lamanya itu dengan lambaian tangan, air muka teratur, yang sukses menyembunyikan gejolak hati yang tak terukur.

Di rumah ini, yang disebut 'Rumah Atas' oleh Leda, Benjamin menempati sebuah kamar sederhana yang khusus disediakan untuknya. Malam pertama, matanya sulit terpejam. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang begitu efektif mengusir rasa kantuk.

Bukannya lelaki itu tidak mencari jawaban. Semenjak ketibaannya di tempat ini kemarin, Benjamin telah berulang kali 'menginterogasi' satu-satunya manusia yang lancar berbahasa Indonesia di rumah ini—Leda, sang partner.

Pahit Benjamin mengakui, bahwa semakin dalam Benjamin berinteraksi dengan Leda, gadis itu semakin tampak cukup terpelajar, terlihat dari kalimat-kalimatnya yang lancar.

Untungnya Leda juga berbaik hati menjawab semua pertanyaan Benjamin, disertai bukti berupa album foto dan sederet penjelasan panjang kali lebar. Tapi tetap saja, Benjamin tidak puas.

Katanya, hubungan keluarga Leda dimulai saat buyutnya, Mbah Tum—alias si nenek aneh yang tiba-tiba memeluk Benjamin kemarin itu—mengasuh Om Moel sejak balita. Itu terbukti dengan Mbah Tum yang memanggil Om Moel dengan nama depannya, nama yang jarang sekali digunakan kecuali oleh orang-orang tertentu dan terdekat, yakni Joko. Joko Moelyadi, nama panjang paman Benjamin itu.

Sejak kecil, Om Moel ternyata berkawan dengan cucu Mbah Tum, yakni ayah dari Leda—Pak Budi. Perkawanan itu lantas terwaris pada anak-anak mereka, Leda dan Lisa, yang tumbuh sejak kecil bersama.

Benjamin sempat menggaruk kepala atas kerumitan hubungan dua keluarga ini. Tapi jelas yang paling membingungkan adalah fakta bahwa Mbah Tum mengira bahwa Benjamin ini merupakan Pak Budi, nama yang belakangan ini dia dengar disebut beberapa kali dalam sematan penjelasan Leda.

Benjamin masih tidak paham dimana miripnya dia sama si 'Budi' yang ternyata cucu dari Mbah Tum itu—ayah dari Leda, in fact. Satu-satunya yang mirip dari perawakannya dan Pak Budi adalah kacamata yang bertengger di batang hidung mereka (Benjamin tau ini dari gambar-gambar yang ditunjukkan oleh Leda dalam sebuah album foto).

Argh, ribet!

"Memangnya Lisa belum cerita?" tanya Leda sambil menyuapkan sesendok bubur beras ke mulut Mbah Tum. Buyut-bercicit itu sedang duduk di teras rumah, menyambut pagi dengan sarapan.

Benjamin yang saat itu sedang duduk di tangga teras, melamunkan semua ini, sontak terusik dengan pertanyaan Leda. Lelaki itu lantas mengingat-ingat. Lisa cerita?

"Oh. Iya." Benjamin baru ingat. "Nenekmu itu ... mengidap Alzheimer," lanjutnya kemudian.

"Betul." Leda menjawab ringan sambil kembali menyuapkan sarapan pada sang buyut, menyuguhkan senyum seakan fakta itu tidak memberatkannya sama sekali. Cintanya pada Mbah Tum tak goyah.

"Udah parah, ya? Sampai salah ngenalin orang gitu?" Benjamin bermulut belati, tak peka dengan sensitifitas hati atau topik apa yang sekiranya menyinggung lawan bicara sama sekali.

Beruntung Leda seperti memahami itu. Pandangannya berlabuh ke sosok Benjamin sekilas, yang masih duduk dengan santainya, sebelum mengaduk bubur beras dalam mangkuk genggamannya.

"Udah stage lima. Decreased Independence, menyusul memory loss yang terus-terusan menjadi. Intinya udah susah lah kalau harus hidup sendiri. Untuk keperluan sehari-hari aja kayak makan, mandi, itu udah mulai harus aku dampingi. Sulit ngenalin orang juga, kadang-kadang."

Mendengar penuturan itu, Benjamin mengangguk (sok) paham. Sepertinya hidup gadis itu tidak semudah apa yang Benjamin lihat di permukaan—murah senyum, pembawaan riang. Ah, tipe-tipe manusia seperti Leda ini yang Benjamin tidak suka. Tipe-tipe munafik, menutup masalah dengan senyuman.

Bagi Benjamin, masalah itu dihadapi, bukan disenyumin. Senyum tidak akan memberi solusi. In this case, bawa Mbah Tum ke psikiater adalah keputusan yang akan memberi solusi. Tapi itu hanya sebatas pikiran Benjamin saja. Hanya judgement di dalam kepala. Suka-suka mereka lah, mau diapain itu nenek buyut. Benjamin hanyalah orang luar dengan segala praduganya.

Yang menjadi fokus Benjamin saat ini adalah misinya. Mandat Eyang Kakung; tujuannya datang ke Desa Pandalungan. Benjamin sadar dia harus mulai bergerak—secepatnya.

"Eh loh, Ben, mau ke mana?" Suara Leda memanggil Benjamin yang tiba-tiba berdiri dan melangkah meninggalkan teras, menembus halaman lepas. Menuju desa.

"Riset," jawab Benjamin pendek.

Leda memandang panik sebelum menyudahi acara sarapan Mbah Tum, menuntun wanita manula itu kembali ke dalam rumah, dan bergegas menyusul Benjamin.

"Tunggu!" pekiknya sedetik setelah meninggalkan pintu rumah, berharap sosok Benjamin yang sudah kepalang jauh masih bisa mendengar.

Lelaki itu tampak terus berjalan, tak acuh. Leda akhirnya berlari menyusulnya, menembus hamparan rumput.

🌟

"Jadi kamu belum tau harus mulai dari mana?" Leda bertanya setengah tak percaya.

Napas gadis itu sedikit terengah-engah. Lelaki berkacamata yang sedang memimpin jalan mereka pun tampak tak terlalu mengacuhkannya. Sepertinya kehadiran Leda dianggap layaknya nyamuk hutan saja.

"Ben," tegur Leda. Sang Cokro tak merespons.

"Benjamin," ucapnya lagi. Lelaki angkuh itu masih saja acuh.

"Benjo!" Kali ini Leda menarik lengan atas Benjamin—merasakan otot bisep yang ternyata lumayan kekar.

Waduh. Leda merasa telah melakukan langkah yang salah. Jika dipiting dengan otot setebal ini, jelas gadis itu tidak akan bisa melawan.

"Sori." Buru-buru Leda melepaskan cengkeramannya. Nampaknya gerakan Leda tadi berhasil menarik perhatian Benjamin, membuat lelaki itu menghentikan langkah dan berbalik, menatap gadis itu lurus-lurus.

"Aren't you supposed to be some kind of help?" Benjamin menyunggingkan nada sinis, membuat Leda yang meraup oksigen jadi terbata seketika.

"Ya ... iya, sih. Tapi apa yang bisa aku bantu, kalau kamunya aja bersikap kayak batu begini. Tadi aja pas aku nanya kamu mau riset apa, kamu jawabnya belum tau." Leda menghirup napas dalam-dalam setelah melepas kalimat panjang itu.

Benjamin menggeleng tak acuh untuk kemudian berbalik badan, melanjutkan langkah. Dia siap meninggalkan tatkala Leda mulai menyusahkan.

"Eh, Ben!" panggil Leda lagi. "Tunggu!"

Lelaki itu melangkah cepat-cepat, melibas gulma dan ilalang di sepanjang jalan setapak dengan kaki jenjangnya. Leda mengikuti sang bhekal dengan napas yang kembali terputus, gerakan terburu, hingga beberapa detik kemudian ....

Bruk.

Bunyi berdebum itu sampai ke telinga Benjamin. Ketika menoleh, didapatinya tubuh Leda telah ambruk ke atas tanah, lemas.

Dengan panik Benjamin melangkah kembali, memangku gadis berambut ikal itu di pahanya, menopang tubuh yang terasa ringan itu dengan dua lengannya.

"Heh, kamu kenapa? Pingsan?" Benjamin mencoba menanyakan pertanyaan bodoh yang tentu saja tak terjawab.

"Lee? Leda??"

Alis Benjamin mulai berkerut. Garis khawatir di wajahnya mulai terlihat akut. Benjamin menoleh ke arah belakang—tanjakan yang membawa mereka kembali ke Rumah Atas—dan juga memicingkan pandangan ke depan, ke arah pedesaan.

Butuh dua detik untuk nalar Benjamin memutuskan sebuah solusi logis. Dengan satu gerakan mantap, diangkatnya tubuh Leda, dan dia mulai berjalan—setengah berlari, ke arah desa.

🌟

"Darah rendah ini, Cong*. Memang suda ada sejak kenik (kecil) dulu. Sering kumat."

Bi' Khos menaruh dua gelas belimbing berisi teh manis hangat, lalu mengambil minyak kayu putih dari laci meja dan membalurkannya di pelipis Leda. Alis gadis itu bergerak sedikit.

"Darah rendah, Bi'?" ulang Benjamin, yang direspons dengan anggukan Bi' Khos.

"Kenapa mak (kok) bisa semaput ini, Cong? Habis nganu apa kalian tu?" Gantian Bi' Khos yang bertanya, membuat Benjamin gelagapan karena tidak menyiapkan jawaban.

"Habis lari pagi, Bi'."

Bukan suara Benjamin yang menjawab, melainkan Leda. Rupanya gadis itu sudah membuka mata.

"Abbeh, mak nyare pollah (Aduh, kok cari perkara). Dak usa da lari-larian lagi kamu, Dek." Bi' Khos menjitak pelan kepala Leda yang terkulai lemas. Gadis itu tersenyum menerimanya.

"Suda sarapan?" tanya Bi' Khos sembari berdiri.

Benjamin dan Leda menggeleng bersamaan.

Tadinya, Leda hendak memasak mie instan plus telur untuk sarapan dirinya dan Benjamin setelah selesai menyuapi Mbah Tum. Namun lelaki itu tiba-tiba main kabur aja. Kan jadi nggak sesuai rencana.

"Tunggu sini," titah Bi' Khos sebelum menghilang ke arah dapur.

Ruang tamu kini hanya dihuni Benjamin dan Leda.

"Darah rendah ... seriously?" Benjamin menyipitkan matanya ke arah Leda, membuat gadis itu tersenyum maklum sambil mengangkat bahu.

"Penyakit aneh apa lagi yang kamu dan keluargamu punya?" cibir Benjamin sambil menggeleng tak minat.

Bukannya menjawab, Leda malah menyeletuk balas. "Kan tadi udah kubilang, tungguin."

Benjamin mendengkus gerah, diraihnya cangkir teh untuk menyeruput cairan hangat itu, berharap bisa menenangkan pikirannya.

"Ben." Leda beringsut mendekati sang bhekal, memajukan badan sedikit untuk berbisik lirih, "kita ini harusnya ada for better and for worse, loh. Dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit."

"Pffthh!" Benjamin hampir menyemburkan teh yang dihirupnya.

Ketika menoleh dengan tatapan setajam belati, didapatinya wajah Leda tersenyum lebar, berseri seakan puas sebab kalimatnya berhasil menohok kerongkongan Benjamin.

Ni cewek sinting lagi bercanda? pikir Benjamin dengan kesal.

"Nggak ada begitu-begituan. Kita ini nggak tunangan beneran." Benjamin menegaskan kalimat itu dengan nada yang dingin menusuk, membuat senyum Leda sedikit pudar.

"Ah, nggak asik."

Benjamin terkesiap mendengar celetukan itu. "Kamu pikir kedatangan saya ke sini itu untuk main-main, Leda?"

"Nggak kok." Leda menggeleng ringan. "Aku paham tujuanmu ke sini itu lumayan mulia. Kamu sedang dalam ujian besar. But can't we make it fun?"

"Dengan apa? Kawin??"

"Bukan itu maksudku!" Sanggah Leda buru-buru. Entah mengapa keblak-blakan Benjamin yang diluar dugaan itu membuat Leda sedikit ... terintimidasi.

"Loosen up a bit, Benjamin. Santai, rileks. Asyikin aja lah. Kamu masih punya dua minggu, 'kan?" lanjut Leda sambil meraih gelas tehnya.

"Saya hanya punya dua minggu." Benjamin menekankan kalimatnya, membuat Leda tak menjawab lebih lanjut—sebab gadis itu sedang fokus menghirup isi gelasnya.

Bersamaan dengan itu, Bi' Khos kembali. Tak lama kemudian, sebakul nasi jagung bersanding dengan sayur kacang panjang dan ikan asin tersaji di meja ruang tamu. Sambal terasi menyusul kemudian, bersamaan dengan air putih untuk dua 'pengantin baru' itu.

"Sana, dimakan," titah Bi' Khos sebelum undur diri. Benjamin memandang hidangan itu dengan tatapan miring, sementara Leda langsung tancap gas mengambil piring.

"Kamu nggak makan?" tanya Leda sesaat setelah mendapati gelagat Benjamin yang tak berminat. Lelaki itu hanya membalas dengan mata tak berselera.

"Apa perlu dibujuk nih, biar mau makan? Kamu butuh energi buat ngejalanin riset-risetmu itu lhoo." Leda menyendok sayur kacang panjang sambil melanjutkan monolognya. Benjamin sama sekali tak berniat menimpali.

"Tell you what; kalau kamu sarapan sekarang, aku bakal ngebawa kamu keliling desa dan nunjukin area-area potensial yang bakal ngebantu riset kamu. Gimana? Deal?"

Gadis itu menatap mata Benjamin lurus-lurus, membuat lelaki itu berpikir sesaat, sebelum akhirnya menyerah dan meraih piring.

Leda tersenyum penuh kemenangan, sementara Benjamin menelan pahit-pahit egonya.

Lelaki itu berkesimpulan bahwa satu, dia merasa gagasan Leda lumayan masuk akal juga. Untuk menjalankan mandat sang Eyang, Benjamin harus kenal medan perang.

Dua, dia tidak tau harus memulai dari mana. Satu-satunya orang yang dia tau bisa membantunya saat ini memang hanya Leda. Dan terakhir, dia mulai merasa perutnya keroncongan. Meskipun hidangan ini tampak meragukan, tapi Benjamin tidak ingin mati kelaparan.

Akhirnya, Benjamin menghabiskan sepiring penuh menu sarapan super sederhana itu dengan lahap. Diluar dugaan, nasi hangat yang dipadu dengan gurih serpihan jagung dan asin-legit ikan tipis itu membuat Benjamin ketagihan, menyuap sendok demi sendok.

"Gimana? Enak kan?" Leda bertanya dengan senyum sumringah, seakan menang atas pertarungan tak kasat mata antara nasi jagung dan ego Benjamin.

"Lumayan," gumam Benjamin tak sepenuhnya rela melepas pujian.

Leda semakin lebar tersenyum. "Well, kalau udah selesai, kita harus buru-buru cabut nih. Ada banyak tempat yang harus kamu datangi."

🌟

[1856 Words]


*Cong / Kacong : panggilan sayang untuk anak laki-laki dalam bahasa Madura.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro