Hari 1 - Nama Leda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PANAS kentang-kentang. Sebuah istilah baru yang diajarkan Leda pada Benjamin, menggambarkan keadaan cuaca siang ini—tengah hari, ketika mentari sedang getol-getolnya memanggang ubun-ubun mereka. Tapi aneh, entah kenapa suhu siang itu tak begitu menyengat dibandingkan Jakarta. Ah, iya ... dataran tinggi.

Leda tengah mengajak Benjamin berjalan keliling desa. Gadis itu menunjukkan letak balai desa, yang pada saat itu sepi karena para perangkat dan petinggi desa sedang ada acara di kelurahan, dilanjutkan dengan letak sekolah-sekolah di sana, tempat ibadah, hingga lokasi PDAM yang menurut Benjamin sungguh absurd sekali. Ditambah lagi, mereka sempat melewati jalan utama yang rusak parah sehingga membuat Benjamin harus berjalan menerabas rerumputan jika tidak ingin kakinya terantuk bebatuan aspal. Parah.

Untuk apa coba Leda menunjukkan ini semua?

Lelaki itu menghentikan langkah kakinya ketika Leda mulai merintas masuk ke dalam hutan, berbatas tumbuhan kopi dan kakao di sela-sela pohon karet yang tinggi menjulang.

"Leda, tunggu." Benjamin menegaskan suaranya, sukses membuat Leda menghentikan langkahnya yang sudah setengah menjejaki semak belukar.

"Ya?"

"Nggak."

"Hah?" Leda membalikkan badan, kali ini menghadap Benjamin dengan pandangan penuh tanya.

"Nggak, Leda. I'm not going in there. Kita mau ke mana lagi, sih? Ada apa di dalam hutan situ?"

Leda mulai menjabarkan dengan sabar. "Ada pusat komoditas desa ini; perkebunan. Kopi, kakao, sama karet tumbuh di hutan ini. Oh, dan ada juga ladang tebu, tapi itu di seberang hutan sih, jadi kalau kita jalan terus nembus—"

"Okay, stop. Nggak, kita nggak perlu ke situ. Saya nggak perlu ke situ," potong Benjamin dengan nada tegas.

Leda lantas menekuk bibirnya yang berbentuk kerucut. "Kenapa gitu?"

Benjamin terpaku seketika. "Kamu nggak paham sama sekali tentang bidang yang digeluti sama Cokro Group, ya?" tanya lelaki itu dengan nada menyindir.

Melihat Leda yang malah menggeleng dengan polosnya, Benjamin lantas menghela napas.

"Fokus yang harus saya tuju itu infrastruktur, Leda, bukan perkebunan. Ini nggak membantu sama sekali. I think we're done here." Lelaki itu baru melangkah beberapa meter sebelum akhirnya berhenti. Dengan pahit, dia berbalik badan.

Benjamin tidak tau arah pulang.

Leda yang paham dengan keadaan, sudah melangkah kembali keluar dari hutan. Senyum lebar terplester di wajah hati gadis itu.

"Aku rasa kita belum selesai, Ben." Leda membuka pidato kemenangannya dengan percaya diri. "Kalau kamu mau pulang, silakan. Aku tau kamu nggak ada hape, so no Google Maps for you. Kalau mau pake cara tradisional, boleh tanya-tanya ke orang yang lewat. Tapi seperti yang kamu tau ...." Leda mengangkat bahu dan setengah merentangkan tangan, menoleh ke segala arah dengan setengah badannya. "Nggak ada siapa-siapa di sini."

Leda benar. Jalan itu setapak, sepi. Kanan mereka hutan, kiri mereka jurang mini—memisahkan jalan setapak itu dengan ladang kubis sepanjang mata memandang.

Tak ada tanda-tanda manusia lain selain mereka berdua. Benjamin ingat mereka datang dari arah kanan, tapi dia juga ingat mereka berjalan jauh sekali, dan setelah itu ... Benjamin tak ingat ke arah mana lagi. Sial.

"I'm not playing your game, Leda. Saya tau kamu juga harus pulang," ujar Benjamin sambil memasukkan tangan ke saku celana. Sejujurnya, dia tidak paham apa yang diinginkan oleh gadis itu.

"Memang. Jadi, kamu mau pulang sendiri? Atau bareng aku?"

Benjamin mengernyit skeptis. Leda masih tersenyum, kali ini mulai berjalan ke arah kiri—arah berlawanan dari tempat mereka datang tadi.

"Kamu mau ke mana? Itu bukan arah pulang."

"Ini jalan pintas!" balas Leda sambil terus berjalan. Benjamin menggeram, sebelum akhirnya mengikuti gadis itu. Lebih baik pasrah pada kegilaan Leda, ketimbang tersesat di desa pelosok bumi seperti ini.

🌟

Leda menunjuk ke satu pohon. "Itu pinus, bukan cemara. Mereka memang mirip, makanya banyak orang yang susah ngebedain. Kamu tau bedanya nggak, Ben?"

"Nggak tau dan nggak peduli. Seriously, Lee, ini kita muter nggak sih? Jauh banget dari awal—"

"Runjung pohon cemara itu lebih halus, sementara daun pinus bentuknya mirip jarum ...."

Aaarrggghhh! Benjamin menggeram frustasi. Dia lelah. Sudah berjam-jam mereka beranjak dari hutan sesat tadi, dan sepertinya Leda sengaja menyesatkan diri, tak lupa dilengkapi dengan celotehanya tentang jenis tumbuh-tumbuhan yang tak berhenti sedari tadi. Benjamin tentu sudah menulikan telinga sejak potongan kata pertama.

"Sebenernya kita ke mana sih, Leda?!" Nada tinggi dari kalimat itu membuat sang gadis terpanggil jadi terjingkat sekejap, kaget.

"Pulang, kan?" jawabnya polos.

"So? Kenapa kita nggak sampai-sampai dari tadi??"

"Sabar dong, Ben. Aku kan udah bilang, santai, take it easy. Dari tadi aku perhatiin mukamu mencureng (cemberut) terus, jadi yaah aku inisiatif ngehibur kamu dengan jalan-jalan."

"Apa?!" Ngehibur dari mananya?
Benjamin memijit pangkal hidung, berusaha meredakan kepalanya yang tiba-tiba berkedut. "Lee, please, can we just ...."

"Oke, oke. Pulang, iya, pulang. Kita bakal pulang, kali ini bener-bener pulang." Leda menangkap gelagat Benjamin yang sudah mulai habis kesabaran. Gadis itu lantas menunjuk ke arah persawahan.

"Kita potong jalan lewat situ, ya? Di seberang bukit itu udah balik ke pusat desa, dekat rumah Bi' Khos. Kita bakal lebih cepat kalau lewat sana. Oke?" tawar Leda yang disambut anggukan acuh oleh Benjamin. Ke mana saja, asalkan jelas tujuannya.

Selama berjalan beriringan di setapak sawah, Leda kembali nyerocos mengenai tumbuhan. Satu saat, gadis itu menghentikan langkah sejenak seraya telunjuknya mengarah pada gerombolan bunga putih dengan bentuk kelopak layaknya lonceng kecil.

"Liat nih, bunga bakung gunung, alias lily of the valley. Hati-hati, jangan dipegang, itu cantik-cantik gitu tapi beracun loh."

Cantik dan beracun. Entah kenapa pikiran Benjamin terarah ke Saras yang entah sedang apa bersama siapa saat itu. Lelaki itu buru-buru menggeleng.

"Ayo lanjut jalan," ucap Benjamin setengah memerintah.

Kejadian yang hampir sama terulang beberapa menit kemudian, pada belokan pertama mereka di jalan setapak sawah ini. Kali ini jemari Leda menunjuk ke arah sungai.

"Spathiphyllum, bahasa gampangnya sepatu filum, alias peace lily. Ini dia sering tumbuh dekat sungai gitu. Biasanya dia tumbuh menghadap ke arah Utara, di tempat yang agak rimbun dan adem begini, ngehindarin sinar matahari langsung. Kontradiktif banget sih tanaman ini, sukanya deket-deket air tapi bakal mati kalo kebanyakan diairin. Butuh matahari, tapi nggak boleh kebanyakan juga. Aneh, ya?"

Sekilas Leda menoleh pada Benjamin yang tak langsung menjawab. Gadis itu memutuskan untuk berjalan lagi.

Diam-diam, Benjamin memperhatikan sosok Leda dari belakang. Gadis itu melangkah di setapak sawah sambil merentangkan tangan, seakan sedang melewati jembatan tali di sebuah sirkus.

"Iya. Aneh," gumamnya.

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul dalam benaknya.

"Nama kamu ada bunganya juga, 'kan?" Pertanyaan Benjamin barusan sukses membuat Leda menghentikan langkahnya. Tubuh mereka hampir bertabrakan.

"Maksudnya?" tanya Leda dengan alis terangkat. Tepat saat itu, Benjamin baru menyadari betapa bodoh dan absurdnya pertanyaan tadi.

"Errh, maksudnya, nama kamu itu. Ada unsur nama bunga juga, yakan? Magno-something?"

"Ooh, Magnolia," ralat Leda. "Iya, itu nama bunga."

Benjamin mengangguk sambil ber-oooh tanpa suara. "Kenapa 'Magnolia'? Orang tuamu suka tumbuhan?"

"Yaa—kurang lebih. Dan yang terpenting, filosofinya! Magnolia itu bukan bunga sembarangan loh." Leda tampak bersemangat menjawab pertanyaan itu.

"O ya? How come?" Benjamin tak benar-benar niat bertanya. Dia hanya memperhatikan bahwa jika Leda diajak bicara—dan pastinya akan dijawab dengan monolog yang panjang—maka gadis itu akan terus melangkah, tidak berhenti atau menunjuk tumbuhan random lainnya, sehingga Benjamin menyimpulkan itu adalah cara efektif untuk membuat mereka cepat sampai tujuan.

"Magnolias are not delicate flowers, even though they may seem like they are." Leda memulai narasinya sambil kembali melangkah, membawa mereka masuk lebih jauh ke dalam petakan sawah.

Tuh kan, benar.

"Magnolia adalah bunga prasejarah, salah satu tanaman pertama menunjukkan ciri-ciri evolusi primitif, one of the first flowering plants that had ever evolved on Earth. Pernah ditemukan fosil yang yang nunjukin kalo tanaman magnolia setidaknya udah ada sejak 20 sampai 100 juta tahun yang lalu. Coba bayangin, flowers that were created millions of years ago still have the same composition as Magnolias of today. Magnolia yang ada sekarang 'tuh punya komposisi biologis yang sama kayak jutaan tahun lalu! Keren kan?"

Benjamin melongo. Entah kenapa pertanyaan simpel tentang arti nama bisa meluber menjadi sebuah pelajaran biologi yang tak dikehendaki. Sepertinya Leda ini hobi sekali menjelaskan sesuatu yang tidak penting-penting amat.

Lantas sepintas kesadaran mampir di benak Benjamin, tepat ketika lelaki itu menangkap pandangan beberapa petani yang sedang menyiangi ladang padi mereka.

Desa ini sungguh sederhana. Simpel dan tidak berbelit-belit, begitu kira-kira praduga Benjamin terhadap kehidupan di desa—terhadap masyarakatnya. Namun nyatanya, Leda sedikit jauh dari kata simpel. Gadis itu tampak seperti makhluk asing yang sekaligus mengakar pada tempat ini. Kontradiksi berjalan.

"Asalmu dari mana, Leda?" tanya Benjamin, tak pandai menahan rasa penasaran yang tiba-tiba timbul. "Bahasa inggrismu bersih sekali—nggak mungkin kamu besar di sini, kan? At least, kamu pasti pernah ngerantau ke luar negeri. Sekolah kah, atau kuliah?"

Leda menoleh sekilas, senyumnya cair. "Iya, aku pernah kuliah."

"Di mana?"

"Di sana." Leda menunjuk ke arah langit, membuat Benjamin mengerutkan dahi. Dicobanya menebak-nebak maksud gadis ini.

"Di ... luar negeri?"

Leda mengangguk. Benjamin sedikit terkejut karena tebakannya benar.

"Kamu belajar apa? Biologi?"

Gadis itu menggeleng, membuat Benjamin menelan pertanyaannya kembali. Mulai disadarinya bahwa dirinya sudah terlalu banyak bertanya.

Bungkamnya sang Cokro membuat perjalanan mereka membisu selama beberapa detik. Sayangnya Benjamin berada di belakang Leda, sehingga tidak bisa melihat ekspresi wajah gadis itu. Apakah Benjamin telah membuat Leda risih, tidak nyaman? Entahlah.

"Nah! Kita sampai!" pekik Leda tiba-tiba, sukses membuat Benjamin yang setengah melamun langsung menabrak punggung mungil gadis itu. Mereka berdua hampir terjungkal ke arah sungai kalau saja Leda tidak refleks berpegangan pada dahan lengkung sebuah pohon kelapa.

"Aduh—kenapa berhenti?" Benjamin menggeram setengah protes, hanya untuk dijawab dengan sebuah tunjukan oleh Leda, mengarah ke seberang petak sawah, ke pancuran air yang mengalir deras dikelilingi bangunan berdinding rendah yang terbuat dari batu—sumber air terbuka.

"Dan itu adalah ...?"

"Sumber air yang bisa diminum langsung! Duh, tadi kan aku udah cerita. Yuk ah." Leda berjingkat melintasi jalan setapak yang curam, berhati-hati agar tidak tercebur ke dalam petak sawah.

"Kok ...? Saya kira kita mau pulang??" tanya Benjamin yang tak digubris oleh sang tour guide cerewet itu.

Benjamin lagi-lagi pasrah. Kalau boleh jujur, mungkin tadi Leda memang sempat memberitahunya. Tapi toh, Benjamin lupa. Dia tidak begitu mendengarkan. Akhirnya lelaki itu mengekori Leda, menuju sumber mata air tersebut.

"Minum dulu, haus. Ini sejalan sama arah pulang kok. Tuh." Leda menunjuk ke arah barat, di mana matahari sudah mulai turun, namun pandangan Benjamin berlabuh pada sebuah bangunan familiar yang membuat napasnya terembus lega.

Rumah paman-bibi Leda terpampang di sana, tampak di kejauhan. Dan tepat di belakangnya, bukit itu. Dataran meninggi yang membawa mereka ke jalur menuju Rumah Atas.

Dipincingkannya pandangan Benjamin, coba menangkap bangunan putih tempatnya tinggal selama 24 jam terakhir. Rimbunnya pepohonan menuntun matanya berlabuh pada rumah kecil yang tampak samar-samar. Ah, itu dia.

Benjamin lantas mengalihkan perhatiannya kepada sang partner yang meneguk air mentah dengan raut wajah puas. Tanpa sadar, lelaki itu menelan ludahnya sendiri. Kalau diingat-ingat, entah sudah berapa belas kilometer jarak yang dia tempuh hari ini dengan berjalan kaki. Wajar jika dia haus.

"Kamu nggak minum?"

Seakan bisa membaca wajah Benjamin, Leda menegur. "Nggak haus?" lanjutnya.

Setengah ragu, Benjamin mendekati sumber air tersebut. Pancuran air deras dan jernih, tampak segar sekali.

Tapi tunggu, ini kan air mentah, apa benar bisa diminum?

Menggelengkan sisa keraguannya, Benjamin menelungkupkan tangan dan mulai menenggak. Haus telah mengalahkan gengsi.

Selama sisa perjalanan pulang, Leda tak melanjutkan narasinya tentang tumbuhan. Benjamin mengira gadis itu sudah kehabisan stok ocehan. Namun ternyata dia salah.

"Liat tuh, gudang pabrik kopi eks-BUMN yang sekarang udah dikelola sama penduduk desa. Oh iya, kira-kira pabrik ini masuk nggak ya, ke misimu itu?" ucap Leda ketika mereka melewati sebuah bangunan luas.

Bukannya menjawab pertanyaan dari partner-nya, Benjamin malah balik bertanya. "Kenapa, sih?"

Leda mengangkat satu alis. "Hm?"

"Kenapa kamu repot-repot nunjukin hal-hal random yang nggak ada kaitannya sama misiku ini. Kalau misalnya kamu nggak terlalu paham tentang infrastruktur, aku bisa—"

"Survey pengenalan lingkungan desa," potong Leda dengan cepat, membuat Benjamin bungkam seketika. Lelaki itu menunggu Leda melanjutkan kalimatnya.

"Setelah proses itu, akan didapatkan list potensi dan masalah desa, yang selanjutnya akan dikerucutkan menjadi beberapa masalah prioritas, dan dari prioritas masalah tersebut kemudian akan coba dimunculkan solusi. Begitu, 'kan?"

Benjamin terenyuh. Ucapan Leda barusan benar-benar membuatnya speechless.

"Itu ... metode dari mana? Kamu ngarang, ya?" tanya lelaki itu dengan skeptis.

"KKN," jawab Leda ringan.

"Hah??"

"Kuliah Kerja Nyata. Aku sering ditugasin sama Pak Lek buat nganterin anak-anak KKN survey sekaligus pengenalan lingkungan desa." Leda menjelaskan seakan fakta itu bukan masalah besar.

"Tunggu, tunggu. Jadi kamu bilang, desa ini jadi objek untuk mahasiswa KKN?" selidik Benjamin.

Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya.

🌟

[1970 Words]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro