Hari 2 - Tuan Benjamin (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


LAPTOP, ponsel pintar, secangkir kopi, dan bunga sedap malam segar menatapnya balik dari atas meja. Leda sedang menikmati paginya dengan sebuah pikiran yang coba dilerainya dalam jurnal cloud storage besutan Google.

Gadis itu belum tidur dari semalam. Selain merangkum harinya dengan sang 'tunangan', Leda juga menjalankan sesuatu yang lain. Pekerjaannya. Agenda rahasia yang tidak sepenuhnya rahasia. Leda hanya malas saja kalau mengungkit keahliannya, pasti Benjamin akan memandang sebelah mata.

Seumur hidup, Leda tidak pernah berpikiran dirinya akan diikat dalam sebuah perjodohan—terlebih lagi yang bohong-bohongan. Ah, tidak. Ini bukan perjodohan. Ini hanya membantu kerabat teman.

Namanya Benjamin, dari keluarga Cokro. Sebenarnya marga yang sama dengan mamanya Lisa, sahabat masa kecil yang paling encer otaknya—secara, mereka kan sepupuan. Tapi ah, ini bukan tentang Lisa. Ini tentang Benjamin.

Dua hari mengenal Benjamin, Leda bisa berkesimpulan rata berdasarkan pengamatannya: high maintenance, mahal, eksklusif, kota. Semua hal-hal yang bersangkut wajar dengan klan Cokro itu.

Benjamin seringkali skeptis ketika mendapati suguhan makanan yang agak sedikit ... ndeso. Kemarin pagi, Bi' Khos menyajikan nasi jagung sayur kacang panjang dan ikan asin. Leda sempat khawatir Benjamin akan menolak, dan benar saja, dia ogah makan. Tapi dengan satu tawaran jitu, Leda berhasil membujuknya menyicip menu sederhana itu.

Sorenya, ketika mereka kembali dari survey pengenalan desa, Leda menyiapkan menu yang simpel-simpel saja, lalapan tempe dengan sambal terasi. Lagi, Benjamin skeptis, namun tak ayal melahap juga. Leda curiga lelaki itu kelaparan setelah diajak berkeliling desa.

Malamnya, menu makan mereka adalah mie instan dengan telur yang direbus, tak lupa cincangan sawi dan potongan cabai. Mungkin yang terakhir ini Benjamin agak akrab, toh mie instan itu menu sejuta umat Indonesia, sehingga dia tidak banyak protes saat menghabiskan porsi mangkuknya. Malam itu Leda juga belajar bahwa Benjamin agak tidak toleran pada rasa pedas.

Leda sempat sharing dengan Lisa dan tunangannya yang chef itu kemarin, berkaitan tentang nutrience science alias ilmu gizi—yang uniknya juga berkaitan dengan psikologi—bahwa eating habit atau kebiasaan makan seseorang itu erat sekali kaitannya dengan gaya hidup orang tersebut.

Seperti mendapat pencerahan, Leda langsung tau harus mulai dari mana.

Dari perkara makanan, Leda coba menerka kesehatan, selera, hingga kebiasaan Benjamin. Terlalu niat? Hm, mungkin. Tapi kalau boleh jujur, Leda melakukan ini semua out of curiosity—karena kepo.

Pasalnya, kesan pertama saat Leda melihat Benjamin itu ... yah, nggak jauh-jauh dari opini di atas tadi. Mahal, eksklusif, dan formal. Walaupun dia agak tidak cocok mengenakan kemeja bapak-bapak (yang Leda curiga adalah pinjaman milik Om Moel), tapi tampang Benjamin dan cara dia bersikap, berbicara, dan menatap sama sekali tidak menunjukkan kesan kebapakan yang terpancar dari sekadar kemejanya itu. Benjamin itu ... bukan orang sembarangan.

Terlepas dari statusnya yang merupakan calon pewaris tahta—yang jujur saja, Leda nggak peduli sama sekali, sebab gadis itu agak ogah berurusan dengan orang-orang yang punya kuasa—Benjamin seperti menyimpan rapat-rapat apa saja yang ada di kepalanya, dicerna dan dipilah agar tidak sembarangan keluar dari mulutnya, sehingga turut membuat perangainya tampak teratur dan terbatas.

Siapa coba yang tidak penasaran dengan manusia seperti itu? Rahasia apa kira-kira yang disimpan Benjamin di balik keteraturan dan batasannya itu?

"Masih sibuk?"

Teguran itu membuat Leda terperanjat. Benjamin sudah berdiri di belakangnya, dengan kaus katun lengan pendek dan celana khaki selutut.

Leda dengan panik segera meng-Alt-Tab gawainya, menggeser jendela barisan paragraf Google Docs ke program Microsoft yang menampilan kolom-kolom mencurigakan. Judul di atas dokumen itu tertulis 'Monthly Night Sky Observation Log – April 2018'.

Waduh! Leda membatin sambil buru-buru menutup laptopnya. Semoga Benjamin belum sempat mengintip.

"Eeee ... udah kok." Leda membereskan gawainya dengan cepat, mengalihkan perhatian serta kecurigaan yang mungkin timbul jika dia lama-lama berkutat dengan teknologi itu.

"Hah?" Benjamin terlihat bingung atas jawaban Leda.

"Udah selesai sibuknya. Yuk ah, kamu udah siap?" Gadis itu lantas bergegas bangkit.

"Itu barusan apa?" tanya Benjamin seraya menunjuk laptop. Ah, mampus!

"Eng ... kerjaanku." Leda menjawab dengan gugup.

"Kamu punya pekerjaan?" Nada bicara Benjamin benar-benar seperti meremehkannya.

Sialan! umpat Leda dalam hati.

Menelan pahitnya celetukan sang bhekal, gadis itu lantas menjawab dengan senyuman. "Entahlah. Yang jelas, di sini kamu punya kerjaan yang lebih penting, iya 'kan? Yuk ah, kita berangkat."

Benjamin mengangkat bahu dan berjalan mendahului Leda, menuruni teras rumah menuju halaman.

Diam-diam Leda mencatat dalam benaknya. Benjo, sedikit narsistik dan gampang terdistraksi—sangat mudah memusatkan perhatian jika itu menyangkut kepentingannya sendiri.

Senyum terhias di wajah berbentuk hati gadis itu.

Tunggu aja ya, Tuan Benjamin, aku akan memecahkan cangkangmu, menjadikan kamu manusia yang lebih manusiawi!

🌟

"Tunggu-tunggu, ada yang ketinggalan!"

Benjamin menggeram tatkala kalimat lantang itu keluar dari mulut Leda. Mereka sudah berjalan dua ratus meter meninggalkan halaman Rumah Atas.

Sebelum sempat lelaki itu merespons apapun, Leda telah berlari kecil ke arah kediaman mereka. Tak berapa lama kemudian, gadis itu kembali dengan sebuah ember yang tampak berisi air.

"Apa itu?" refleks Benjamin bertanya.

"Ikan. Buat ngasih makan generasi produktif paling fakir di negara kita—mahasiswa." Leda menjawab sambil berjalan dengan percaya diri, memimpin mendahului Benjamin. Gadis itu tampak sedikit tergopoh karena beban ember beserta ikan-ikan di dalamnya. Benjamin sempat mengintip sekilas. Terdapat Lele yang bergulat dengan padatnya.

Lelaki itu lantas coba mengingat-ingat. Ah, Om Moel. Pamannya itu adalah juragan ikan, khususnya Lele. Pasti dia yang memberi cendera mata tersebut untuk Leda sekeluarga.

Mereka lantas melanjutkan perjalan. Tujuan mereka adalah posko KKN mahasiswa Universitas Damarwulan yang sedang melakukan praktik di desa tersebut. Seperti permintaan Benjamin kemarin, yang gamblang mengutarakan keinginan untuk mengunjungi rumah huni para agent of change itu, dimana Leda tentu saja menuruti tanpa berpikir panjang. Toh sudah tugasnya untuk membantu Tuan Benjamin.

"Assalamualaikum, spada! Haloo ... anybody home?" Leda dengan lantang mengucapkan salam ketika mereka tiba di sebuah rumah, tepat berseberangan dengan kantor desa.

Pagar rumah itu bercat biru muda, dengan halaman berpaving dan atap tinggi menjulang. Sebuah banner membentang di atas jendelanya.

'Posko KKN Universitas Damarwulan
Kelompok 114 - Desa Pandalungan'

Benjamin mengerutkan kening memandangi tata eksterior bangunan yang tak ada seninya sama sekali itu. Ini tempatnya?

"'Kumsalam, eh ... ada Mbak Li!" Seorang gadis berambut panjang dengan pakaian tidur babydoll menjawab. Perawakan gadis itu masih tampak muda, tidak lagi remaja namun belum genap dewasa. Benjamin langsung berasumsi dia adalah salah satu mahasiswa yang praktik KKN. Ah, Benjamin tidak mau repot-repot peduli—atau sekadar kenal.

Sialnya, si gadis babydoll malah melabuhkan pandangan ke arah Benjamin. Matanya terbelalak lebar, setengah kagum.

"Hai Rida. Alif ada?" Leda menyebutkan nama-nama yang asing di telinga Benjamin.

"Lagi balik ke kampus, Mbak, ikut demo. Ini siapa, Mbak?" Dengan lancangnya gadis yang dipanggil Rida itu menunjuk Benjamin. Ck, mahasiswi jaman sekarang, manner-nya bocor.

"Oh, ini—"

"ITU BHEKAL-MU BEB??" Suara bernada mendayu timbul dari ambang pintu. Ketika Benjamin melihat dari mana datangnya, tampak sesosok pemuda tanggung dengan rambut gondrong seleher yang ditahan dengan bando kuning.

"Tatah!" Leda memekik. "Eh, eh, kenalin ... semuanya, ini Ben. Ben, ini Rida sama Fatah, biasa dipanggil Tatah, sih. Oh, iya! Ini ada oleh-oleh buat kalian ...."

Leda menyerahkan ember ikan Lele ke arah mereka, yang dengan tanggap disambut oleh Rida, sementara Fatah—alias Tatah—mulai asyik meneliti Benjamin.

"SUMPELOH?! Omaygat Beb, gans bats! Ai seneng deh Yu akhirnya laku~ Sukses lah ya move on dari Mas Bule ituh?"

Tatah langsung bergegas menyalami Leda, sementara Benjamin diam termangu di tempatnya berdiri—bingung antara harus bersalaman juga, atau mengabaikan makhluk yang sepertinya memiliki gender hybrid ini.

"Heh, Fatah! Tahan dulu mulut kamu deh. Nggak enak tau bahas-bahas mantan di depan tunangan sah begitu!" Rida menegur rekannya seketika, membuat Tatah mengatup mulut sambil mendesis, 'sori'.

"Astaga, santai aja lagi. Ben-nya juga santai kok. Iya kan, Sayang?"

Perkataan Leda membuat Benjamin tersedak napasnya sendiri. Lelaki itu bergidik ngeri atas panggilan asing tersebut. Melihat reaksi sang bhekal, Leda sontak menahan tawa.

"Eeeee gituya? Yaudah bagus deh. Eh-eh, masuk dulu yuk, Beb!" Tatah mempersilakan Leda dan Benjamin masuk ke dalam bangunan rumah yang berfungsi sebagai posko KKN itu.

Mereka lantas menuruti ajakan Tatah, sementara Rida sudah menghilang ke arah dapur—bersama dengan ember ikan lele.

Benjamin mengekori Leda dengan tekun, sesekali mengedarkan pandangan ke arah gerombolan mahasiswa yang duduk, rebahan, dan bersandar di atas kasur spons yang digelar di ruang tengah. Satu, dua, tiga ... lima. Lima orang jumlah mereka, semuanya laki-laki, dan kesemuanya memegang gawai yang terlentang vertikal di hadapan mereka, sesekali berkomunikasi dan tak jarang juga meneriakkan kata makian tanggung seperti 'cuk' dan 'jing'. Benjamin mengernyitkan dahi, sambil menebak jika kerumunan mahasiswa itu sedang bermain game online.

"Itu cowok-cowok lagi pada mabar Beb, agak berisik emang. Gapapa 'kan?" Tatah mengoceh sembari menunjuk gerombolan mahasiswa itu dengan kepalanya, seketika mengonfirmasi dugaan Benjamin. Leda mengangguk paham, sementara Benjamin tak memberi respons apa-apa.

Saat mereka baru duduk di ruang tamu—yang tergabung dalam ruang tengah, ruang TV, sekaligus ruang 'tidur' karena terdapat beberapa kasur spons bertebaran—seorang perempuan keluar dari arah dapur. Mahasiswi, berambut pendek dicat cokelat, dengan badan yang sedikit buntal.

"Mami!" sambut Leda sambil mengulurkan lengan ke arah gadis itu.

Benjamin mengernyit, masih kuliah kok dipanggil Mami?

"Ini Ami, Ben, Wakordes kelompok KKN desa ini. Dia juga yang jadi 'ibu rumah tangga' di sini, seksi masak, belanja, keuangan, sama kebersihan. Ya 'kan, Mi?" cerocos Leda ke arah Benjamin seraya tak lepas menyalami Ami.

"Wakordes?" tanya Benjamin yang tidak mengerti kata itu.

"Wakil koordinator desa, Mas. Salam kenal, ya." Ami menjelaskan kebingungan Benjamin tanpa diminta. Sepertinya perempuan ini adalah mahasiswa paling dewasa diantara teman-temannya.

"Kalau gitu, kamu wakilnya? Berarti ada ketuanya, dong? Apa tadi sebutannya—koordinator desa, ya? Kordes?" tebak Benjamin membuka bahasan. Dia malas membuang-buang waktu. Dicobanya menggiring kunjungan ini seefektif mungkin dengan tujuan utamanya.

"Iya, bener. Kordes kita itu si Alif, tapi sekarang orangnya lagi balik ke kampus. Mas-nya ada perlu sama Alif, ya?" jawab Ami.

Alif, ulang Benjamin. Dia sudah mendengar nama itu dua kali. Hmm, kalau tidak salah, tadi si cewek babydoll menyebutkan kalau si Alif ini sedang ikut demo?

"Oh, iya ... jadi Kordes kalian Alif, ya? Berarti tadi ada Fatah, ini Ami, terus yang cewek satu lagi ...." Si babydoll tadi. Ah, sial. Benjamin paling malas kalau harus mengingat nama banyak orang secara bersamaan.

"Rida," sambung Leda. "Yang nerima ember ikan tadi, inget 'kan?"

Benjamin mengangguk, padahal dia sudah agak lupa.

"Oh, ikan itu dari Mbak Leda, ya? Makasih loh ya, Mbak," celetuk Ami menyahuti.

"Bagi-bagi rejeki, Mi. Itu ikan dikasih calon mertuaku. Buanyak banget! Kamu bisa masaknya 'kan?" jawab Leda.

Benjamin diam-diam mencibir mendengar Leda merujuk Om Moel dengan sebutan 'calon mertua'. Dan juga, Benjamin mulai malas kalau percakapannya digiring menjadi basa-basi-busuk macam ini, mengobrol yang tak ada esensi.

"Iya, ikannya lagi dibersihin tuh sama Rida, habis ini aku masakin. Makan siang di sini ya, Mbak? Sekalian ngerayain Mbak Leda akhirnya taken. By the way selamat ya, Mbak, udah tunangan sama Mas-nya," ucap Ami yang disahuti anggukan bersemangat Leda.

Benjamin menggeram dalam hati. Dia sudah malas berlama-lama di tempat ini. Tujuan utamanya adalah mencari seseorang untuk membantu misinya, dan kemungkinan orang itu adalah si Alif, Kordes atau ketua kelompok KKN yang nihil keberadaannya hari itu. Kalau boleh memilih, Benjamin lebih ingin kembali pulang dan memikirkan cara lain selain menghabiskan waktu di sini. Dia malas bersosialisasi.

"Eh Beb, sori nih Ai mo nanya ... Yu kaga hamidun 'kan? Tetiba tunangan begini, kaget dong Ai ...." Celetukan dari Tatah membuat Benjamin semakin merundung saja. Mood-nya terjun bebas seiring Leda tertawa dan malah bercanda dengan mahasiswa melambai itu.

🌟

Matahari mulai meninggi ketika Riva dan 'Mami' menyuguhkan pecek lele untuk makan siang mereka—lele yang digoreng dengan bumbu dan disandingkan bersama sayur lalapan dan sambal.

"Monggo (silakan), Mas, Mbak Leda ...." Ami melambaikan telapak tangannya, tanda mempersilakan.

Leda dengan sigap langsung mengambil piring, dan menyerok nasi untuk kemudian diberikannya pada Benjamin. Oh, rupanya Leda sedang berperan sebagai kekasih yang berbakti. Benjamin menerima piring dari Leda dengan senyum samar, setengah mencibir, seakan berkata; belajar akting di mana kamu?

Leda sendiri tak ambil pusing, membalas senyum sang bhekal dengan tulus, sembari menyendok salah satu ikan lele untuk ditaruh di piring Benjamin.

Baru saja ikan goreng itu menyentuh nasi, Benjamin tiba-tiba menjauhkan piring di tangannya dan menyelipkan wajah ke belakang punggung Leda.

"Hachim!" Benjamin mengusap hidungnya yang berair. Bersin tanpa aba-aba itu sukses membuat Leda berjengit kaget.

"Ayam-ayam!" pekik Tatah.

"Ben? Kamu nggak papa?" tanya Leda.

"Mas-nya kenapa? Bumbu lelenya terlalu nyegrak ya?" sahut Ami.

Menanggapi semua itu, Benjamin hanya menggeleng. "Cuma bersin aja kok," ucapnya. "Not a big deal, nggak papa."

Leda memandangi Benjamin yang mulai menarik-narik napas basah di hidungnya. Diam-diam gadis itu bertanya, apakah Benjamin alergi lele? Atau alergi debu mikro yang tak tampak bertebaran di posko ini? Hm, nanti Leda akan memastikan.

"Yaudah yuk, dimakan!" ajak Rida yang datang dengan teko air putih.

Kalimat Rida barusan bagaikan komando bagi seisi posko—Benjamin, Leda, dan mahasiswa-mahasiswa kelaparan—untuk mulai menyantap siang. Tak disangka, ternyata Benjamin menikmati hangatnya nasi putih yang berpadu dengan lele goreng tersebut. Walaupun kata orang ikan ini pemakan tahi, tapi ternyata rasanya lumayan gurih juga.

Berbeda dengan ajaran keluarga Cokro yang mengharamkan berbicara saat makan, suasana di ruang tengah rumah posko ini mulai riuh rendah dengan obrolan. Demikian, Benjamin tetap terbawa kebiasaan bertatakrama, fokus makan tanpa berbicara.

"Oh iya, Mbak Li belum cerita, ini Mas Ben-nya kerja di mana toh? Udah punya kerjaan tetap, kan?" celetuk Rida tanpa aba-aba. Pertanyaan itu membuat Benjamin hampir tersedak.

🌟

[2144 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro