Hari 2 - Tuan Benjamin (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

a / n

Seperti yang kutulis di bagian Prakata, bahwa nggak ada intensi sedikitpun untuk menjatuhkan instansi manapun dalam cerita ini.

Apa yang aku tulis adalah elaborasi dari perasaan dan pikiran tokoh fiksiku, sehingga nggak sepenuhnya bisa dianggap faktual. Oke?

🌟

"OH iya, Mbak Li belum cerita, ini Mas Ben-nya kerja di mana toh? Udah punya kerjaan tetap, kan?" Rida bertanya.

"Hush! Rid!" tegur Ami.

"Sori, Mi, aku cuma mau mastiin kalau Mbak Li bakal dinafkahin aja kok. Kan sayang, perempuan pinter jebolan Princeton begini kalau dapet cowok pengangguran, ya jadi kebanting ...." Rida membela dirinya sendiri. Ami tampak gemas ingin meremas mulut temannya itu.

Sementara itu, Benjamin mulai panik. Dia benar-benar tidak menyangka kalau topik pembicaraan pada siang itu akan tertuju padanya.

Pasalnya, Benjamin enggan mengumbar identitas aslinya. Pertama, Eyang Kakung sempat memperingatkan bahwa misi ini adalah tentangnya—tentang Benjamin, sehingga ia tidak diperkenankan membawa-bawa nama Cokro Group. Kedua, mengetahui identitas aslinya sama saja membongkar bangkai yang berusaha dikuburnya dalam-dalam, yaitu pertunangan palsunya bersama Leda. Kalau ini sampai terkuak, bukan hanya nama Benjamin saja yang tercemar, tetapi juga nama keluarga Cokro. Ah, sial!

"Ben ini kerja di Bappenas, semacam konselor pembangunan gitu! Masih probation sih, belum jadi staf tetapnya. Belum sah jadi PNS, hehe." Leda berkata dengan lugas tanpa ada keraguan sedikitpun. Kali ini Benjamin benar-benar tersedak.

Bappenas? Badan Perencanaan Pembangunan Nasional? batin Benjamin. Lelaki itu tak habis pikir jika Leda akan membual tentang profesinya seringan itu.

Sialan! Bisa-bisanya gue dibilang calon PNS di Bappenas! Ah, andai Leda tau mereka itu orang-orang gabut yang kerja buat Menteri Pembangunan, tapi boro-boro bangun apa-apa! Proyek sama mereka aja banyak yang nyandet, birokrasi mampet, dibikin belibet! rutuk Benjamin dalam hati. Lelaki itu paham betul kinerja pegawai negeri bawahan kementrian itu.

Dengan pengalaman tak sedapnya bersama proyek-proyek Bappenas selama berkecimpung di Cokro Group, pantas saja Benjamin merasa tak sudi dibilang bekerja di Bappenas. Walaupun mungkin tidak semua PNS adalah pemalas, dan tidak semua orang yang bekerja di Bappenas itu tidak becus, tapi tetap saja. Benjamin tidak rela, meskipun konteksnya hanya bualan mulut Leda semata.

Ditambah lagi, Leda menyebutkan profesinya sebagai ... apa tadi? Konselor pembangunan? Apa-apaan? Apakah barusan Leda sedang bercanda, atau serius mengada-ada? Tidak ada pekerjaan yang lebih ngawur, apa? Kenapa nggak sekalian saja jadi arsitek tiang listrik? Atau insinyur batu bara? Hah, konyol!

"Ooh, jadi Mas Ben ini calon PNS, toh?" ucap Rida dengan polosnya, menelan mentah-mentah dusta itu. Benjamin tersenyum kecut.

"Ya ... kira-kira seperti itu," jawab Benjamin setengah hati. Dia sama sekali tidak setuju dengan plot karangan Leda ini.

"Kerjanya ngapain aja mas, di Bappenas?" Kali ini Ami yang angkat bicara.

Benjamin terdiam seketika. Dirinya menimbang-nimbang harus menjawab bagaimana; ketidakbecusannya sebagai anggota Bappenas dalam mengeksekusi proyek kah? Keterlambatannya setiap kali ada meeting wajib kah? Atau, molornya pengerjaan laporan setiap kali proyek selesai?

Karena itulah yang kerap kali Benjamin temui pada delegasi Bappenas di Cokro Group.

Haruskah dia spill itu semua?

"Jadi Ben ini kerjanya riset lapangan gitu, buat nentuin lokasi yang pas untuk dijadikan proyek pembangunan." Leda menjelaskan profesi khayalan itu tanpa persetujuan Benjamin, membuat lelaki itu mengerutkan kening tanda tak setuju.

"Oh, berarti sama kayak yu dong, Beb? Kan waktu pertama kita proses pengenalan desa, yu yang bantu kita-kita buat riset lokasi. 'Ner gak guys?" Tatah menyahut sembari melahap ekor lele. Teman-teman Tatah mengangguk hampir bersamaan.

"Nah ya itu, karena kerjaan kita mirip-mirip, makanya kita nyambung banget kalo ngobrol! Ha-ha-ha," umbar Leda dengan jumawa.

Nyambung dari mananya? cibir Benjamin dalam hati.

"Kalo gitu bener dong, bakal cocok sama Alif juga!" sambung Rida tiba-tiba.

"Eh, iyaya, Alif kan jurusan Teknik Sipil? Oh, jadi ini si Mas-nya ada perlu sama Alif menyangkut pekerjaan di Bappenas kah?" sahut Ami, kembali mengarahkan perhatian mereka pada Benjamin.

"BENER!" Lagi-lagi, Leda yang menyahut. "Kita—eh, Ben butuh ngobrol-ngobrol sama Alif tentang prospek di desa ini! Kebetulan, dia butuh ... emm ... insight, buat Bappenas di Kabupaten, sekaligus kalo hoki, kita bisa ajuin desa ini buat jadi proyek mereka selanjutnya. Ciamik, kan?" Gadis itu menjelaskan dengan berapi-api, lengkap dengan acungan dua jempol tangan secara bersamaan.

"Waaaahh! Cucok meong itu Beb!" respons Tatah seketika.

"Bagus dong, Mbak, pas juga itu si Alif belum ada Proker sampai sekarang. Mungkin nanti setelah ngobrol sama Mas-nya, dia bisa dapet inspirasi," ucap Ami.

Benjamin diam-diam mencondongkan tubuh ke arah Leda, setengah berbisik di telinganya. "Proker, maksudnya program kerja?" desis lelaki itu.

"Ho'oh," balas Leda, juga berbisik. "OKEY! Kalo gitu ini kita setuju, ya, semuanya? Besok-besok kalo si Alif udah balik ke sini, kalian wajib kabarin aku!" pekik Leda kemudian.

"Okey Beb~" sahut Tatah.

"Siap, Mbak Li!" ucap Rida sembari melempar jempol kanannya.

Persetujuan orang-orang yang seakan melangkahi Benjamin itu sukses membuat lelaki itu terpekur sejenak. Lele dan nasi jadi tak menggugah selera lagi.

Benjamin mulai berpikir dalam, meredam konflik batin yang perlahan timbul dalam benaknya: apa dia bisa percaya Leda yang dengan mudah mengumbar kebohongan?

Benjamin menghela napas. Entah mengapa sejak insiden Petra-Saras, Benjamin jadi alergi dengan ketidakjujuran.

🌟

Sore turun di Desa Pandalungan.

Benjamin memijat pelipisnya yang sedikit pening, sementara Leda sedang asyik unboxing kotak-kotak seserahan yang dibawakan oleh keluarga Moelyadi kemarin lusa.

Sesekali Benjamin memperhatikan, bahwa hampir di setiap kotak berpita merah marun itu terdapat benda-benda 'tersembunyi' yang agak ... absurd. Bagaikan barang selundupan di balik hadiah hantaran yang kelihatan normal. Seperti contoh, sepaket body care dari The Body Shop itu ternyata menyembunyikan binokular di bawah kain satin yang menutupinya. Atau, botol-botol SK-II itu ternyata menyembunyikan semacam peta berbentuk bundar, bagai lempengan kompas yang terdapat angka-angka dan garis-garis di sekelilingnya.

Sejujurnya, Benjamin ingin tahu, apa sih yang diselundupkan keluarga Lisa itu kepada 'tunangan' Benjamin ini? Namun, rasa gengsi lelaki itu lebih besar sehingga tak sepotong pertanyaan pun keluar dari mulutnya. Benjamin hanya memperhatikan Leda diam-diam.

HACHIM!

Lagi-lagi Benjamin bersin. Ini adalah yang ketiga kalinya sejak lelaki itu tiba di Rumah Atas, sekembalinya dari rumah posko KKN.

"Ben? Kamu nggak papa? Dari tadi kamu bersin terus. Hidungmu beler gak?" tanya Leda yang dengan sigap langsung menyingkirkan kotak-kotak hantarannya, untuk kemudian bangkit dan berjalan ke arah Benjamin.

"Entahlah, nggak tau ini kenapa kok tiba-tiba ... ha-haaa—HACHIEEMM!!" Benjamin menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Kamu alergi lele?" tanya Leda.

"Nggak." Benjamin menggeleng.

"Alergi debu? Atau alergi dingin? Apa bunga—"

"I'm fine, Lee," potong Benjamin. "Mungkin cuma—haaa ... HACHHIIMM!!!"

"Oke, oke. Kayaknya kamu mulai nggak sehat. Tunggu sini bentar," instruksi Leda sembari gadis itu buru-buru berjalan keluar rumah.

Benjamin memijit pangkal hidungnya. Potongan kata 'nggak sehat' yang keluar dari mulut Leda barusan otomatis memantik pikirannya untuk mem-flashback beberapa kegiatannya selama di Pandalungan. Ngapain saja dia? Apa saja yang dia makan?

Sayur pedas masakan Bibi Leda itu, tempe, ikan lele ... apa, ya? Benjamin berusaha mengingat-ingat. Gerakan memijitnya berhenti ketika mendadak Benjamin ingat sesuatu. Kemarin, di hari pertama ia menetap di desa ini, Leda mengajaknya berkeliling dan ....

Gue minum air mentah, sesal Benjamin dalam hati. Seraya mendesah kesal, Benjamin bangkit dan berjalan menuju kamarnya, sepenuhnya mengindahkan perintah Leda untuk 'tunggu sini bentar'.

Lelaki itu mendadak ingin merebahkan diri di kasur.

🌟

"Loh, kok ilang?" bingung Leda ketika mendapati Benjamin tak lagi berada di tempatnya semula.

Gadis itu baru saja kembali dari halaman depan, kini menggenggam beberapa batang tumbuhan berdaun runcing yang dipetik beserta ranting-rantingnya.

Dengan bibir mengerucut, Leda mulai mengeksplorasi setiap ruangan yang ada di Rumah Atas. Tidak banyak, hanya dapur, kamar mandi, ruang TV (dengan televisi tabung yang gambarnya sudah dihiasi 'semut' kriyep-kriyep), kamarnya sendiri dan kamar Mbah Tum—di mana sang nenek buyut sedang terlelap dengan badang terbaring menyamping.

Entah mengapa Leda malah terpikir belakangan untuk mengecek kamar Benjamin, yang tentu saja, merupakan jackpot karena Benjamin berada di sana, sedang berbaring di kasurnya, mata terpejam dengan badan terlentang. Lelaki angkuh itu terlihat damai.

Leda tersenyum tipis memperhatikan 'mempelai'-nya itu.

Dengan kacamata yang ditanggalkan, wajah tak mengeryit dan mulut tak mencetuskan kata-kata tajam, ternyata penampakan Benjamin lumayan juga. Hampir bisa dikatakan tampan, Leda mengakui.

Gadis itu perlahan menutup pintu, membawa dahan dedaunan dalam genggamannya menuju dapur, dan memberikan Benjamin sedikit waktu damai sebelum Leda harus mengganggunya lagi nanti.

🌟

Pernahkah kamu merasakan tidur yang dangkal?

Ketika matamu terpejam, pikiranmu melayang, kesadaranmu larung ke dalam gelap, namun entah bagaimana, telingamu masih bisa menangkap dengar apa yang ada di sekelilingmu—televisi, orang mengobrol, bahkan lagu yang diputar—dan mengkonversikan itu ke dalam adegan mimpi.

Seperti ... kamu sudah tidur, tetapi telinga dan otakmu masih nyala.

Begitulah yang dirasakan Benjamin. Dia mendengar sayup-sayup gumaman lagu, nada, lirik, yang tadinya 'hm-hm-hm' saja, perlahan menajam dan menjelma menjadi kata-kata yang masuk ke dalam pendengarannya.

"L'espoir est un plat bien trop vite consommé ... à sauter les repas je suis habitué ...."
(Hope is a dish eaten too quickly ... I'm accustomed to skipping meals ....)

Pelafalan itu asing, Benjamin tidak bisa memahami lagu aneh yang sedang mengalun memasuki telinganya itu.

"... ah jeux si amer, je ne peux réussir ... car rien n'est gratuit dans la vie ...."
(... as for us, I'm bitter, I want to succeed ... because there's nothing free in life ....)

Benjamin mengerutkan kening, berusaha mencerna dari mana bahasa itu berasal. Nyanyian yang tak pernah didengar oleh lelaki itu sebelumnya, dengan suara yang hangat, sedikit sengau dan ... Benjamin tau suara siapa! Ini, Leda?

Lelaki itu menajamkan telinganya, namun kata-kata dalam lirik lagu sudah berubah menjadi 'Pa dada-dam, pa-dadadam da' yang bernada.

Perempuan ini lagi ngapain sih? pikir Benjamin sebelum membuka mata. Benar saja, penampakan Leda yang sedang menunduk di samping ranjang menyambutnya. Gadis itu sedang menata sesuatu, butiran yang berwarna hijau muda, biru, itu ... batu?

"Ngapain kamu?" Sengau suara Benjamin menangkap basah Leda yang berjengit kaget. Benjamin perlahan mendudukkan diri, memincingkan mata pada apa yang sedang dilakukan Leda.

"Eh—Ben? Udah bangun?" Gadis itu malah balik bertanya.

"Kamu barusan nyanyi bahasa apa? Itu bukan mantra jampi-jampi 'kan??" selidik Benjamin.

"Bukan, lah! Itu barusan 'Le Festin'-nya Camille, penyanyi dari Perancis. Kamu nggak tau? Padahal lagu ini pernah jadi soundtrack film animasi tikus yang masak—"

"Kamu bisa bahasa Perancis?" potong Benjamin dengan nada tak percaya.

"Nggak juga. Cuma bisa pelafalan sedikit, karena dulu aku pernah pacaran sama cowok keturunan Perancis, jadi sempet diajarin," jawab Leda.

"Itu apaan?" Benjamin tampak sama sekali tak mendengar sejarah percintaan Leda.

Lelaki itu lebih tertarik akan sesuatu yang menarik perhatiannya, membuatnya menunjuk ke arah meja, di mana kini terdapat sebuah kotak kayu dengan batasan sekat membentuk bunga, berisi bebatuan dengan berbagai macam warna—putih, ungu, merah jambu, hijau-kebiruan, hingga biru-kehijauan. Semua batu itu seukuran kerikil, hampir terlihat transparan, dan tampak bergerigi bagai dipecah langsung dari inti bumi.

"Oh, ini ... fluorite, agate, amethyst, sama tourmaline. Ini batu-batu yang bagus banget untuk nge-boost sistem imun tubuh, cocok buat orang yang mau sakit." Leda mengabsen beberapa batu yang dikeluarkannya dari dalam kotak, menata sedemikian rupa di sudut meja.

Benjamin memiringkan kepala, sepenuhnya tak mengerti kalimat alien yang baru saja keluar dari mulut Leda. Dia tidak paham kenapa Leda bisa percaya bebatuan bisa memberi efek pada imunitas tubuh. Di mana logikanya?

Belum sempat lelaki itu bertanya lebih jauh, Leda sudah menyodorkan benda lain lagi ke depan wajahnya—sebuah cangkir, dengan cairan berwarna tembaga yang mengepulkan asap hangat di atasnya.

"Apa ini?" tanya Benjamin.

"Teh campur melaleuca cajuputi, alias tumbuhan kayu putih. Minum," instruksi Leda setelah menjelaskan secara singkat.

Benjamin meraih cangkir itu dengan ragu. Dihidunya aroma yang menguar dari cangkir. Hmmm, baunya kayak teh herbal, vonis Benjamin.

Dengan satu tarikan napas, lelaki itu memberanikan diri meneguk teh buatan Leda, dan ....

"Pfffttt! Puehh!" Benjamin menjauhkan bibir cangkir. "Kok rasa tehnya pedas?!" hardiknya.

Leda malah terlihat bingung. "Loh, kamu nggak suka? Aneh banget, padahal sepupu kamu doyan loh minum teh kayu putih."

Benjamin buru-buru menaruh gelas teh aneh itu di atas meja.

"Lisa, maksud kamu?" Benjamin menggeleng. "Jadi kamu yang ngajarin dia ngoplos teh sama minyak kayu putih?"

Leda tampak terkejut mendengarnya.

"Hah? Kok minyaknya? Tunggu—Lisa nyampur teh sama minyak kayu putih? Minyak yang dijual di toko-toko itu?? Bukan daunnya?! Itu sih gila!"

Benjamin tampak mengingat-ingat sejenak sebelum akhirnya mengangkat kedua bahu.

"Kamu tau sendirilah dia memang titisan ilmuwan gila, suka eksperimen yang aneh-aneh. Dia malah pernah nyampur teh sama minyak tawon. Untung nggak keracunan."

"Minyak tawon? HAHAHA." Leda terbahak. "Syukurlah dia dapet calon yang kerjanya jadi chef, setidaknya kita nggak perlu khawatir Lisa keracunan makanan beneran."

Benjamin menggeleng. Topik pembahasan tentang sepupunya yang unik itu sukses membuat suasana sedikit mencair, sebab kini Benjamin lebih berani menatap Leda sebelum kemudian melontarkan komentar, "Tapi kayaknya kamu lebih gila, deh. Sampe percaya batu-batuan segala."

"Lisa juga percaya kok! Buktinya dia pernah dikasih cincin moonstone sama pacarnya itu," bela Leda.

Benjamin memutar mata. "Tetep aja. Sepupuku masih cukup waras untuk nggak koleksi batu akik mentah sampai sekotak penuh begini."

Leda tersenyum. "Kamu tau nggak, Ben, kalau ini 'tuh bukan batu-batu biasa?"

"Mulai lagi deh ...," gumam Benjamin sambil menghela napas.

"Ih, serius! Aku percaya, batu-batu ini punya nyawa. Mereka bisa bantu menghubungkan kita sama semesta. Semuanya itu berkaitan, Ben, nggak cuma kita, hewan, sama tumbuhan aja yang hidup. Batu, udara, perabotan, bahkan bintang-bintang, mereka juga! You see what I mean, right?"

Benjamin menggeleng dengan pasti. Jujur saja, dia sama sekali tidak memikirkan bahwa Leda benar-benar serius akan perkataannya barusan. Terlalu delusional. Terlalu gila.

"Makasih untuk dongengnya—dan tehnya juga, tapi sekarang aku mau istirahat. Enough nonsense for me today. Good night."

Leda memandang pasrah ke arah Benjamin yang kini sudah kembali merebahkan diri. Sepertinya gadis itu sudah mulai terbiasa dengan hal semacam ini dari Benjamin—ketika pemikiran dan kata-katanya dimentahkan.

"Selamat malam, Tuan Benjamin," ucap Leda seraya memaksakan sebuah senyum.

Dalam kepalanya, Leda telah mencatat untuk tidak lagi terlalu terbuka dengan Benjamin, sebab sepertinya Tuan Muda ini tidak akan mau peduli dengan remeh-temeh fakta tentang dirinya.

🌟

[2205 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro