Hari 3 - Titik Cahaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PAGI ini Benjamin bangkit dari kasur dengan keadaan satu hidung mampet. Pernapasannya tersendat. Tenggorokannya serak. Lidahnya pahit.

Permulaan hari yang tidak prima itu sukses membuat mood Benjamin mendung. Bukan saja fisik yang kena, tapi mental juga.

Pasalnya, Benjamin merasa terlalu dini untuk tumbang. Baru dua hari penuh dia menginjakkan kaki di Desa Pandalungan, dan dia sama sekali belum ada progres apa pun mengenai misinya.

Sial, umpat Benjamin sambil meraih beberapa lembar tisu yang langsung ditempelkan ke hidung. Satu-satunya harapan dia mendapat masukan yang logis mengenai misinya adalah dengan bertemu mahasiswa bernama Alif.

Kalau bukan karena cewek gila itu nyuruh-nyuruh gue minum air mentah, ngga akan tuh gue sekarang ... "Hachim!" Benjamin kembali mengusap hidung dengan tisu. Benar-benar sial.

Kepalanya berputar saat berjalan menuju ruang tamu, sengaja menghindari area dapur, sebab saat ini Leda sedang sibuk berkutat mempersiapkan sarapan.

Benjamin merenggangkan tubuh setibanya dia di teras kayu. Mungkin udara segar pagi Pandalungan bisa membuat Benjamin merasa lebih baik.

"Budi, sampun wungu (sudah bangun)? Kenging punapa ketingal lesu (kenapa terlihat lemas sekali)?" Suara parau Mbah Tum hampir membuat Benjamin terlonjak. Nenek buyut Leda tersebut tampak duduk manis di kursi goyang tepi teras.

"Mbah," sapa Benjamin. Dia tak sepenuhnya paham apa yang barusan dikatakan Mbah Tum, tapi dia yakin nenek tua itu kira-kira menanyakan kabarnya. Apa gue kelihatan sekacau itu?

"Su-sugeng enjing...." Benjamin mengucapkan sepotong kata kromo inggil yang dia tau dari ajaran Eyang Kakung-nya: 'selamat pagi'.

Benjamin merasa aneh. Mungkin karena ini kali pertama lelaki itu benar-benar berinteraksi dengan Mbah Tum, mungkin juga karena tembok bahasa yang menjadi pembatas kukuh komunikasi mereka sukses membuat percakapan ini lepas tak menemukan arah.

Mbah Tum lantas menaikkan tangan kanannya, seakan hendak meraih Benjamin.

Ragu-ragu, lelaki itu mendekat, membiarkan sang nenek buyut meraih satu tangannya. Mbah Tum menggenggam punggung tangan Benjamin tanpa kekuatan berarti. Lelaki itu bisa merasakan kulit kisut dan keriput Mbah Tum, hangat dan sedikit bergetar.

Apakah semua manusia bisa menjadi selemah ini jika sudah tua? Benjamin membayangkan. Pikirannya tertuju pada Eyang Kakung, pada pakdenya, omnya, dan papanya. Akankah mereka menjadi seringkih Mbah Tum ketika senja usia menjemput?

"Saya bukan Pak Budi, Mbah. Saya Ben," bisik Benjamin sembari menunduk dekat telinga Mbah Tum. Dia tak yakin wanita tua itu paham apa yang dikatakannya, tapi yang jelas Mbah Tum merespons dengan tepukan di punggung tangannya. Yah, setidaknya Benjamin telah berusaha menjelaskan.

Lelaki itu lantas tersenyum, menyadari betapa interaksi mereka sangatlah simpel. Tak ada kata yang benar-benar dimengerti, tak ada sentuhan yang berapi-api, hanya dua manusia beda usia yang menikmati pagi. Benjamin merasakan dadanya menghangat. Rasa ini familier, tapi sudah lama sekali tak ia rasakan. Matrilineal love—cinta dari sosok ibu.

"OOOYYY! Cong! Hoy, Ben ... Benjamin!" Panggilan itu terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Benjamin memincingkan mata demi melihat Bi' Khos berjalan dengan membawa keranjang rajut besar, menyeberangi halaman Rumah Atas yang selebar lapangan.

Aneh, masih jauh kok sudah panggil-panggil. Apa memang kebiasaan orang-orang desa begitu?

"Pagi, Bi'," sapa Benjamin ketika Bi' Khos sudah berada dalam jarak dengar yang wajar.

Wanita paruh baya itu memasuki teras dengan wajah cerah, semringah meskipun peluh menetes tipis dari dahinya. Perjalanan menuju Rumah Atas memang cukup memakan tenaga.

"He, kata Dek Li kamu sakit ya, Cong?" Bi' Khos langsung menembak tanpa basa-basi. "Mana itu jebbhing (anak gadis), mak 'dak ngurusi kamu ... HEE! DEK! ASSALAMUALAIKUM!!" Bi' Khos berteriak ke arah pintu masuk ruang tamu, membuat Benjamin mengernyit karena telinganya belum siap.

Apa teriak-teriak juga jadi kebiasaan orang sini? Benjamin bertanya-tanya.

Diam-diam Benjamin memperhatikan Mbah Tum yang tampak tidak terganggu sama sekali dengan bisingnya teriakan Bi' Khos. Mbah Tum malah tersenyum ramah saat melihat sosok wanita paruh baya tersebut, walaupun tanpa kata, seakan menandakan jika nenek tua itu kenal dan familier dengan sosok sang bibi.

"Wa'alaikum salam ...." Terdengar jawaban sayup-sayup dari dalam rumah. Benjamin bisa melihat Bi' Khos tersenyum puas karena kini kedatangannya telah diketahui oleh seisi penghuni Rumah Atas.

"He, ini!" Bi' Khos segera menyodorkan keranjang rajutnya ketika langkah Leda mulai terdengar dekat.

"Apa ini, Bi'?" tanya Leda sambil melongokkan kepala, tampak sedikit terkejut melihat Benjamin dan Mbah Tum berdiri berdampingan di teras rumah.

"Sayur itu, Dek, dimasak biar bhekal kamu sehat. Ni, ya, kamu tu lek ada bhekal sakit kok dak diopeni (dirawat)! Jen sakek rowah degik (makin sakit itu nanti)! Wes, dak bole ke mana-mana ini si Benjamin-nya. Suru di ruma saja da, ya. Dak bole keluar-keluar!" Bi' Khos mengultimatum Leda yang tersenyum lebar mendengar itu semua.

"Siap, Bi'!" jawab Leda sambil memberi hormat dengan telapak tangan.

"Nganu apa kamu, Dek? Masak nasi? Boh, suda siang ini mak baru masak kamu! Dekremah (gimana sih)? He, ayo sini tak bantu." Bi' Khos nyerocos dengan cepat sembari menerobos masuk ke dalam rumah. Leda mengikuti dari belakang dengan senyum lebar terplester di wajahnya.

Jam tujuh pagi dibilang 'siang'? Benjamin refleks membatin setelah mendengar ocehan Bi' Khos. Lelaki itu melepas kepergian Leda dan bibinya ke dalam rumah dengan pandangan sekilas.

🌟

Sarapan pagi itu terasa lebih hambar dari biasanya.

Bukan, bukan karena Bi' Khos kurang memasukkan garam pada sayur beningnya, bukan pula karena Leda lupa memandikan tempe dalam rendaman bumbu sebelum menggorengnya. Ini semua akibat lidah Benjamin yang sedikit mati rasa. Dan jujur saja, dia juga agak tidak berselera karena memikirkan misinya yang terancam mandek di tempat, sebab Bi' Khos mengultimatum Benjamin untuk istirahat total.

"Lee, seriusan! Saya masih bisa jalan dan ... please—nggak perlu ngeliatin sebegitunya bisa kan? Saya cuma mau ke posko KKN untuk nanyain apa si Alif itu udah datang atau belum," ucap Benjamin, berusaha meyakinkan Leda untuk kesekian kalinya pagi itu.

Bi' Khos telah berpulang ke huniannya, meninggalkan Benjamin yang desperate menikung Leda agar membelot dari perintah bibinya.

"Ya, ya, ya! Mau sampai mulut kamu berbusa juga aku nggak akan biarin kamu pergi dari rumah ini. Lagian nih ya, Alif tuh belum balik tau! Dan anak-anak KKN lain juga lagi pada nggak di posko kok. Mereka lagi rapat di balai desa untuk acara karnaval hari Kartini." Leda menjelaskan sambil bermain ponsel. Gadis itu merebahkan diri di kursi ruang tamu, dengan kaki terangkat menghalangi pintu. Tujuannya jelas: menghadang Benjamin agar tidak kabur.

"Tau dari mana?" tanya Benjamin skeptis.

"Ini, dari grup WA," jawab Leda santai sambil melambaikan ponselnya.

"Loh, ada yang begituan?" 

"Kamu kira karena ini di desa, kita jadi gaptek semua, gitu? Well ... rata-rata iya sih, cuma kan ini mahasiswa pada dari kota semua, jadi ya pasti udah melek teknologi lah."

"Ya, ya. Maksudku, kok bisa kamu masuk ke grup mereka?"

"Oh, iya. Aku udah langganan jadi 'jembatan' penghubung antara anak KKN sama warga desa dari dulu. Udah berapa periode ya ...."

"Hmh. Oke." Benjamin tak lagi mendengarkan perkataan Leda. Dia sudah mendapatkan informasi yang ia butuhkan: Alif masih belum kembali ke Pandalungan.

Baiklah. Sepertinya tak ada pilihan lain. Benjamin memang harus menunggu.

🌟

Semburat cahaya sore yang menyusup melalui jendela kamar membuat Benjamin mengernyitkan kening. Lelaki itu terbangun dari tidur siangnya tanpa bermimpi. Sebagai seorang light sleeper, Benjamin dapat terganggu dengan distraksi sekecil biasan mentari.

Selimut rajut yang membungkus tubuh Benjamin terasa berat, seakan sang kasur dan selimut sedang bekerja sama untuk menahan tubuhnya di atas ranjang. Lelaki itu sendiri tidak keberatan. Karena entah sejak kapan, kombo kasur-selimut dan juga bantal yang menopang kepalanya itu menjadi lebih nyaman dari biasanya.

Meskipun terjaga, lelaki itu masih berbaring sambil memejamkan mata. Tidur siangnya kali ini lumayan fulfilling. Empat jam terlelap. Setengah menit penuh Benjamin menikmati kesadarannya yang parlahan pulih. Dia merasa tubuhnya lumayan membaik.

Saat akhirnya mengerjap terbuka, dan hal pertama yang dilihatnya adalah pantulan cahaya, membias dari transparansi kehijauan batu fluorite yang bergeletakan di atas meja.

Benda selanjutnya yang menarik perhatian Benjamin adalah cangkir teh yang mengeluarkan uap tipis, tanda masih hangat. Teh ini baru.

Leda masuk ke kamar gue tanpa ijin lagi? Pikir Benjamin. Dia mulai merasa kesal akan gelagat gadis yang sama sekali tak mengindahkan privasi itu.

Benjamin meraih cangkir teh, menimbang-nimbang sedetik apa harus menghirup isinya atau tidak. Kemarin dia telah menolak mentah-mentah menghabiskan teh kayu putih buatan Leda. Apa hari ini dia akan di-prank dengan teh rasa pedas lagi?

"Minum aja, itu teh biasa kok." Suara Leda mengagetkannya. Benjamin mengangkat wajah dah benar saja, gadis itu sudah berdiri di ambang pintu.

"Kamu ... kebiasaan nerobos masuk kamar orang tanpa izin, ya?" ucap Benjamin tak habis pikir.

Bukannya menjawab, Leda hanya mengangkat bahu, lantas berlalu. Aneh. Biasanya gadis itu selalu ceria dan welcome terhadap Benjamin, bahkan ketika kalimat yang dilontarkan lelaki itu terkesan mencibir atau menghina sekalipun. Kenapa sekarang gadis itu jadi acuh?

Perginya Leda membuat Benjamin tertantang untuk membuktikan ucapan gadis itu. Diraihnya cangkir teh, dan dari hirupan pertama Benjamin sudah bisa memastikan. Ya. Ini teh biasa.

Benjamin menyesap isi gelas. Lumayan juga, nggak terlalu manis, pikir lelaki itu sambil menelan teguk demi teguk teh hangat buatan 'tunangan'nya.

Tepat setelah meneguk habis isi gelas teh normal itu, Benjamin memikirkan gelagat Leda yang agak aneh barusan. Gadis itu terasa agak ... berjarak.

Setengah ragu, Benjamin berinisiatif untuk menemui Leda, memperbaiki apapun yang bisa saja menjadi bibit konflik di antara mereka, sekaligus memperingatkan gadis itu agar tidak sembarangan masuk ke kamarnya lagi.

Entah kenapa saat itu perkataan Om Moel menggema dalam kepalanya; Leda adalah partnernya di sini.

Dengan langkah kaki yang terasa ringan, Benjamin keluar dari kamarnya.

Leda ternyata berada di teras rumah, duduk di kursi kayu dan menghadap halaman landai yang membentang, perpaduan desa dan hutan yang berseberangan membuat suasana sore itu begitu permai. Ah, Benjamin baru sadar—mau pagi, siang, bahkan sore juga, suasana di tempat ini selalu damai.

Leda tidak menyadari kehadiran Benjamin yang melangkah perlahan di punggungnya. Diam-diam lelaki itu memperhatikan. Leda sedang memegang ponselnya secara vertikal, mendekatkan ke mulut seakan gawai itu adalah mikrofon recorder, dan berbicara pada udara. Di depan Leda, laptop menyala dengan layar Microsoft Excel yang siaga, bersebelahan dengan secangkir kopi dan buku tebal yang terbuka.

Benjamin menajamkan telinga.

"... Kamis, 19 April 2018. Report dari base Rumah Atas. Pandalungan mendung, dengan prakiraan chance hujan nggak lebih dari 15 persen sampai malam nanti. Emmm ... ada sedikit anomali. Hari ini area Rumah Atas berkabut, suhu nggak lebih dari 22 derajat Celcius. Dingin, harus sedia jaket. Berasa kayak pagi terus sepanjang hari, padahal sebentar lagi udah gelap ...."

Leda berbicara sendiri. Ah, tidak. Gadis itu berbicara dengan gawainya—merekam suara? Benjamin mengerutkan kening, menebak-nebak apa yang dilakukan Leda sebenarnya.

"... usia bulan malam ini: 3 hari 23 jam. Waxing crescent, fase bulan sabit dengan penampakan cahaya 14 persen. Emmm ... Ayah mungkin nggak bisa lihat dari Jakarta, tapi yah gitu. Next full moon bakal jatuh di 29 April. Oh iya, Ayah kapan pulang? Nggak mau lihat full moon dari sini? Eh, Ayah udah makan? Hari ini makan apa aja?"

Mendengar monolog yang semakin lama semakin aneh itu, Benjamin tak bisa menahan diri untuk tidak membuka mulutnya.

"Ngapain kamu?"

"Eh?!" Leda refleks berbalik cepat, dan dengan sigap mematikan layar ponsel. "Engg—ngopi, nih." Leda tergagap sembari meraih cangkir kopi di sisinya, buru-buru menyesap kafein itu.

"Ngopi? Sore gini?" Benjamin mengerutkan kening.

"Iya, kopi bagus buat jantung dan peredaran darah." Leda menjelaskan cepat dengan ekor mata yang jelalatan, tak mampu menatap Benjamin. Gelagat gadis itu bagaikan seorang pencuri yang baru ketahuan basah sedang beraksi.

"Hm." Benjamin menyipitkan mata. Ditunjuknya gawai Leda di atas meja. "Itu barusan kamu ngapain? Laporan ke siapa?"

Leda terdiam. Dengan pasrah berpadu panik, gadis itu menjawab."Itu ... bos aku."

"Kamu punya bos?" Benjamin tak percaya.

"Iya ..." Leda tampak ragu. "Bos aku itu ayahku. Ayahku adalah bosku. Udah mirip judul sinetron belum? Hehe," papar Leda diakhiri tawa garing. Usahanya untuk melucu tak membuat Benjamin menggerakkan otot wajah semilimeter pun.

Lelaki itu malah semakin mendesak. "Wait ... jadi kamu kerja untuk ayah kamu?" Benjamin duduk di kursi kosong sebelah Leda. "Memangnya profesi kalian apa, sih?" tuntut lelaki itu.

"Kenapa kamu mau tau?" Leda balas bertanya.

"Memangnya nggak boleh tau pekerjaan tunanganku sendiri?" sarkas lelaki itu.

"Yah ... nggak papa, sih." Gadis itu semakin menghindari pandangan Benjamin.

"So?" Benjamin kembali menuntut.

Kali ini, Leda pasrah total. Gadis itu menyerah. Kalau soal konfrontasi, Benjamin Cokro memang paling ahli. "Itu ... gini deh, aku bakal cerita, tapi kamu ikut aku sekarang. I'll show you."

Sekonyong-konyong, Leda bangkit dari duduknya, melipat laptop dan buku, meringkus gawai dan kopi dalam gerakan luwes. Benjamin terkejut melihatnya.

"What?! Tunggu, ini mau ke mana? Leda, saya perlu bicara sama kamu!"

Terlambat, gadis itu telah bangkit dan bergegas menyimpan barang-barangnya ke dalam rumah.

"Udah, ikut aja! Kamu kelihatannya udah sehat juga. Badan kamu udah mendingan, kan? Bisa jalan cepat, kan? Kalau mau ngomong, nanti aja waktu di jalan atau pas udah sampai TKP. Yuk, Ben, buruan! Keburu hilang momennya." Leda berderap kembali untuk menarik sikut Benjamin.

"Iya tapi ... ini kita mau ngapain?" Benjamin pasrah lengan kausnya ditarik Leda.

"Ngejar matahari!" jawab Leda pasti sembari menunjuk halaman lepas.

"HAH???" Benjamin tak mampu menahan keterkejutannya.

🌟

Sore mulai matang, langit ranum dengan warna merah. Dua sejoli itu berlari menembus halaman, berjejeran meringsak sesemakan menerobos hutan.

Tak lama, napas Leda mulai terengah dan wajahnya mulai memucat. Benjamin menahan lengan gadis itu ketika dia tak berhenti berlari.

"Heh! Ingat darah rendah kamu! Saya nggak mau kamu pingsan lagi dan saya harus gotong-gotong balik, ya!" ancam lelaki itu.

"Bentar lagi sampai kok! Ayo, itu ...." Leda menunjuk sebuah tanah lapang. Benjamin tak menyadari bahwa di tengah hutan—yang kini sudah tidak terlalu rindang—terdapat lahan kosong seperti ini. Rumput gajah tumbuh subur, berseberangan dengan tembok pagar pemukiman warga. Inikah sisi lain bukit Rumah Atas?

"Ben! We made it, kita masih belum terlambat ternyata! Sini-sini," panggil Leda yang sudah berada 20 meter di depan Benjamin, menunjuk sedikit ke langit Utara, ke arah bulan sabit yang tampak mengintip malu-malu di lembayung langit sore. Matahari hendak tenggelam di arah Barat, dan Leda kembali melambaikan tangan tanda Benjamin harus segera mendekat.

"Lihat, itu, cahaya kecil di sebelah kanan matahari. Itu Venus," papar Leda ketika Benjamin tiba di sebelahnya.

"Planet Venus? Kok kecil gitu. Itu bukannya bintang, ya?" ucap Benjamin sambil mengernyitkan kening. Pasalnya, titik cahaya itu bundar dan berpendar sayup, persis seperti bintang random di langit. Benarkah itu Venus? Bukannya planet nggak memancarkan cahaya sendiri?

"Nope. Itu planet di tata surya kita." Leda bersikukuh, membuat Benjamin melipat tangan di dada, merasa tertantang.

"Kok kelihatan terang? Bukannya planet lebih kecil dari bintang? Dan planet itu nggak punya cahaya sendiri, kan?" ujar Benjamin percaya diri.

"Iya, tapi kan mereka lebih dekat? Jadi ya lebih kelihatan terang dan jelas. Besides, Venus ini jatuhnya sama kayak bulan ..." Leda menunjuk titik cahaya sabit di sisi atas langit. "... dia cuma mantulin cahaya matahari." Kali ini Leda menunjuk bola api jingga yang hendak lengser dari singgahsananya.

Langit padam perlahan, begitu juga dengan hasrat berdebat Benjamin, seiring lelaki itu mendengarkan Leda yang mengocehkan penjelasan.

"Coba deh kamu perhatiin. Itu, matahari kita yang bentar lagi bakal tenggelam, adalah sumber dari terangnya itu ..." Leda menunjuk titik Venus. "... dan itu juga." Leda kembali menunjuk bulan sabit.

"Can you imagine? Betapa penting dan powerful-nya matahari kita itu, bisa ngasih cahaya ke benda-benda langit yang jaraknya berjuta-juta kilometer." Leda mulai hanyut dalam pikirannya sendiri, dan tampaknya kali ini, Benjamin juga ikut larut.

"Kamu mau kayak gitu, Ben?" tanya Leda tiba-tiba.

"Hm?" 

"Jadi penting dan powerful kayak matahari?"

Pertanyaan itu membuat sang Cokro terdiam sesaat.

"Entahlah ...." Benjamin benar-benar tak tah=u harus menjawab apa. Diberi pertanyaan filosofis begini, logikanya belum siap untuk menjawab, sebab selama ini, setiap jawaban yang keluar dari mulut Benjamin selalu dipertimbangkan masak-masak sebelum disahkan menjadi label atas penilaian dirinya.

Leda memandangi langit selama beberapa detik seraya menghela napas. Wajah gadis itu tampak damai. Sepertinya Leda sudah menerima kenyataan bahwa Benjamin tidak akan menjawab pertanyaannya dalam waktu dekat ini.

"So, tadi kamu bilang mau ngomong sama aku? Mau ngomongin apa?" tuntut Leda seketika.

Benjamin mengerjapkan mata. Hampir saja lelaki itu lupa akan tujuannya menyapa Leda—untuk berbicara; pelanggaran privasi, sikap Leda yang agak menjarak, dan pemangkasan bibit konflik yang tak perlu, merupakan topik yang utama yang ada di pikiran Benjamin sore itu. Yah, setidaknya sore tadi.

"Um, itu ...." Benjamin berpikir sebentar, mengkurasi kata yang efektif demi menyampaikan maksudnya. Privasi, jarak, konflik. Oke ....

"Leda, tolong jangan sembarangan masuk kamar saya lagi."

Gadis itu membulatkan mata. Keterkejutan terpampang jelas di wajah bentuk hatinya.

"O ... kay? Kamu cuma mau ngomong itu?" gumam Leda kemudian. Pandangannya kembali berlari ke arah langit, seakan tak rela momen bersama bintang-planet-bulan-nya terinterupsi oleh konfrontasi Benjamin.

"Dan, em ... kalau ada masalah, tolong bicara dengan saya. Up front, langsung. Saya tidak gemar menebak-nebak pikiran orang lain, termasuk kamu, partner saya. So, for the time being, saya minta mulai saat ini kita bicara dengan terbuka jika salah ada salah satu di antara kita yang berbuat ... tidak menyenangkan. Oke?"

Leda memandang langsung ke arah manik mata Benjamin. "Itu kah yang sedang kamu lakukan sekarang? Bicara terbuka?"

"Yah ... I guess, ya." Benjamin mengangguk. "Barusan saya memberi contoh. Kamu nerobos masuk kamar saya, itu sama dengan perbuatan tidak menyenangkan. Jadi, jangan lakukan lagi."

Leda mengangguk dalam diam. Tampaknya gadis itu mengerti. Kini perhatiannya tak lagi terpecah pada fenomena barisan benda langit.

Bagus, pikir Benjamin. She took the bait.

"Nah, sekarang bagaimana dengan kamu? Apa belakangan ini ada sikap saya yang tidak mengenakkan?" pancing Benjamin.

Kali ini Leda tampak berpikir sungguh-sungguh. Butuh beberapa detik sebelum gadis itu akhirnya mengangguk. Awalnya pelan, lalu semakin yakin. "Ada," katanya.

"O—oh ya?" Benjamin terkejut akan kelugasan gadis itu. Ada? Ada yang salah sama sikap gue? pikirnya setengah tak terima.

"Kayaknya," jawab Leda. Melihat Benjamin mematung tanda menunggu lanjutan kata, gadis itu akhirnya memuka mulut.

"Kamu ... hmm, arogan, angkuh, sombong, egois, nggak mikirin orang lain, nggak peduli sama keadaan sekitar, cuma mikirin kepentingan sendiri—"

"Wait, what?!" sela Benjamin.

"Nggak mau kalah, nggak bisa salah," lanjut Leda.

"Ini kamu serius?" tanya Benjamin.

Leda mengangguk yakin. "Yap. Aku bisa baca itu semua dalam sekali pandang. Anyway, makasih udah kasi kesempatan untuk ngeluarin semua unek-unek itu. It feels good. Good talk." Leda menepuk sisi lengan Benjami.

"Tunggu-tunggu, maksudnya tadi—"

Drrrttt ... drrttt ... NINU-NINU-TIRIRING!

Ringtone berisik berpadu dengan getaran ponsel dalam saku Leda sukses memutus kalimat Benjamin. Gadis itu buru-buru mengambil gawainya, tanpa ragu menerima panggilan masuk itu di depan Benjamin.

"Ya, halo Tah?" Suara hangat Leda mengudara.

Sementara gadis itu menerima telepon, Benjamin mengembus napas kesal.

Apa itu barusan? Nge-rant? Mengeluarkan unek-unek? Kenapa kok kesannya Benjamin jadi tidak terima, ya? Secara, Leda kan baru mengenalnya beberapa hari saja. Apa katanya tadi—arogan, egois, nggak bisa salah? Bagaimana orang bisa asal menilai begitu saja?

"BEN! ADA KABAR BAIK!!" pekik Leda sedetik setelah menjauhkan ponsel dari wajah, menandakan panggilan itu usai. Benjamin menjawab dengan satu pandangan lurus ke wajah gadis itu.

"Alif udah balik dari kampus! Itu loh, Kordes yang anak Teknik itu, yang kita cari kapan hari itu. Masih inget kan?" ucap Leda.

Benjamin mengangguk perlahan. Alif, kunci keberhasilan misi dari Eyang Kakungnya. Bagaimana lelaki itu bisa lupa?

Masalahnya, bagaimana juga Benjamin bisa melupakan kata-kata Leda barusan? Cercaan yang bukan makian, bukan juga hinaan, tapi kenapa kok ... menyebalkan?

Benjamin hanya bisa menghela napas memandangi langit sore yang mulai gelap, berhias tiga titik cahaya, sembari meleparkan pandangan menerawang tanpa benar-benar paham apa korelasi antara gadis yang sedang berdiri di sampingnya itu dengan semua perkara ke-langit-an ini.

🌟

[3183 Words]

Begini kira-kira penampakan tiga benda langit, sumber titik cahaya yang lagi nemenin sorenya Ben dan Leda, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro