Hari 4 - Project Alif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf ku tak pernah berterus terang
Bukan ku tak mempercayaimu
Namun sebelum ku berganti rupa
Ingin aku menemuimu

Dengan bermandi cahaya bulan
Yang cemerlang di malam yang cerah
Memang telah lama kurasakan
Ingin menolong yang lemah

SOUNDTRACK dengan instrumen super dramatis itu mengiringi pandangan Benjamin yang terpaku pada satu titik. Di sana, di atas atap menara jam raksasa, berdiri seorang gadis berambut ikal pendek, berwajah bentuk hati, dan sebagian siluet wajahnya tertutup bayangan cahaya rembulan.

Benjamin merasa pernah melihat gadis itu. Tapi di mana?

"Benjamin Cokro Moelyadi! Dengan kekuatan bulan, aku akan menghukummu!" Kata-kata itu bergema, dan entah bagaimana Benjamin tau kalimat itu berasal dari sang gadis—si rambut pendek yang sedang nangkring di atas atap, berpose dengan telunjuk terangkat, dan entah sejak kapan pakaiannya bersinar dan mewujudkan rok pendek berlipit dan baju berkerah serta dasi-pita yang tersemat di atas dada.

Benjamin mengerutkan kening. "Ini apa-apaan, sih? Sejak kapan nama gue ada 'Moelyadi'-nya?" Suara benaknya terdengar tanpa dia membuka mulut.

"Kamu sudah berdosa! Menjadi bos yang angkuh, sok, suka nyuruh-nyuruh karyawan, dan nggak mengizinkan Bu Sutris extend cuti melahirkan!" Suara gadis itu kembali menggema.

"Hah?" Benjamin melongo. "Tau apa kamu! Bu Sutris itu sengaja mau manfaatin timing cuti pasca lahiran buat liburan! Mana ada orang melahirkan cutinya sampai empat bulan? Sekalian aja resign!" gondok Benjamin.

Gadis itu tertawa dengan gema yang memantul.

"Ha-ha-ha! Pembelaanmu boleh juga. Tapi ingat, bagaimana kamu memperlakukan Nasa, anak magang yang pendiam itu? Dia cuma salah menerima paket dari kurir, tapi malah kamu semprot sebegitunya! Lalu Kang Iyas, OB kantor yang kamu bentak-bentak karena kurang bersih mengelap meja ruanganmu. Dan juga jangan lupa Pak Aftir Humas, yang sering kamu salahkan dan kamu marah-marahin setiap kali dia mengeluarkan statement yang tidak persis 'plek' sama kata-katamu, padahal intinya sama saja!"

Benjamin menggaruk kepala, sama sekali tidak merasa berdosa. Menurut lelaki itu, dua karyawan pertama yang disebut gadis tadi memang pantas disembur karena tidak becus bekerja. Sementara Pak Aftir, ah ... beda satu-dua kata jangan dianggap remeh! Kalau media salah tafsir, bagaimana? Peran Humas itu teramat penting, kalau tidak sempurna dalam meneruskan kata, Cokro Group bisa habis dilumat media!

"Kamu siapa sih? Kok bisa tau nama-nama mereka?" ucap Benjamin getir. Sejujurnya dia tidak terlalu peduli akan jawaban, dia lebih mengutarakan pertanyaan itu untuk mengejek si gadis ajaib.

"Seluruh dunia juga tau kalau kamu adalah manusia yang memperlakukan orang dengan semena-mena!" balas gadis itu sambil menunjuk ke arah Benjamin. "Sekarang, terimalah akibatnya! HYAAA!!"

Gadis berambut pendek itu terbang ke arah Benjamin. Literally benar-benar terbang!

Dengan kepalan tangan mengacung, siap menghantam wajah Benjamin dalam sekali kedipan mata. Pada milidetik terakhir, Benjamin bisa melihat wajah gadis itu—akhirnya.

Maleda Magnolia, gadis cerewet yang belakangan ini mengisi hari-harinya, lurus menatap mata Benjamin dengan alis terpaut, garang. Wajah itu semakin dekat, dekat, dan dekat ....

TRI-RI-RI-RI-RING!!!

Bunyi jam beker menyelamatkan Benjamin dari mimpi absurnya.

Lelaki itu membuka mata, mengatur napas, dan mengusap kening yang sudah dialiri keringat sebiji timun.

'Kenapa gue malah mimpiin Leda berubah jadi personil Sailor Moon?! ' bingung Benjamin dalam hati, seraya meraih jam beker di atas nakas untuk mematikan deringan. Sudah belasan tahun Benjamin tidak menggunakan alat purba ini. Biasanya dia memanfaatkan fitur alarm dari smartphone. Apa boleh buat. Kini, tanpa gawai pintar itu, Benjamin harus rela hidup semi primitif di pelosok dunia.

Dia menggeliat di atas kasur, meremas wajah, berusaha tidak memikirkan kejadian aneh yang mengawali harinya barusan. Namun sulit.

Kenapa harus Sailor Moon? Itu kan kartun tontonan sepupu perempuannya, Lisa dan Gita, setiap hari minggu ketika mereka berebut remote TV saat masih bocah dulu. Benjamin ingat, dia benci sekali dengan kartun itu. Akibat Sailor Moon, Benjamin sering kali gagal menonton Dragon Ball.

Pun Benjamin juga berusaha untuk tidak memikirkan makna dari mimpi tersebut, namun tetap sulit.

Apa artinya itu tadi, coba? Apakah ini sebuah ketukan dari alam bawah sadar akan 'dosa-dosa'nya selama menjabat sebagai COO? Atau manifestasi dari rasa penasarannya pada Leda yang seperti punya kehidupan rahasia? Sebab Benjamin merasa Leda sebenarnya adalah sosok yang berbeda dari apa yang dia tampilkan di permukaan. Pasti ada sesuatu sama gadis ini yang nggak Benjamin tau.

Ah, lupakan!

Lelaki itu bangkit. Rasa kantuk sama sekali sudah hilang dari matanya. Benjamin mulai sadar akan sesuatu: tubuhnya tak lagi terasa berat. Napasnya juga tidak lagi tersendat mampat. Pagi itu, Benjamin terbangun dengan keadaan sehat sentosa.

"Good morning, Princess. Sudah enakan badannya?" Leda menyambut Benjamin yang baru saja keluar dari kamarnya, handuk mandi tersampir di bahu kiri lelaki itu, sementara Leda sedang menata bebatuan di dekat jendela, 'menjemur' batu-batu ajaibnya di bawah sinar matahari.

"Ya," jawab Benjamin pendek. Dia belum merasa mood untuk menemui gadis itu lagi—setelah tadi 'bertarung' dalam mimpi.

"Pasti karena batu-batuan dari aku manjur nih!" ujar Leda jumawa.

Benjamin langsung menggeleng sambil melanjutkan jalan ke arah kamar mandi. Udah kumat sintingnya, rutuk Benjamin dalam hati.

Namun saat mandi pagi itu, Benjamin mau tak mau bertanya. Tubuhnya yang sepenuhnya sembuh ini, apa memang karena faktor batu ajaib Leda? Atau teh kayu putih yang ternyata berjasa? Atau ... ah, yang paling logis ya memang Benjamin sudah cukup istirahatnya.

Beberapa saat kemudian, Benjamin membuka pintu kamar mandi dengan bertelanjang dada, dihiasi tetesan air yang mengucur pelan dari rambut basahnya. Handuk tersampir melingkari kedua bahu serta punggung, dan tubuh lelaki dewasa itu terlonjak kaget ketika menemui bhekal-nya sudah siaga di depan pintu—lengkap berpakaian 'serius' bak manusia normal lainnya, celana jeans dan jaket.

"Astaga! Kamu mau ke mana?" tanya Benjamin refleks.

"Loh, kita dong yang mau ke mana-mana. Kamu lupa ya, kalau mau ke posko anak KKN lagi hari ini? Si Alif kan udah dateng? You know, juru kunci proyekmu itu," jawab Leda.

Benjamin menghela napas sambil memejamkan mata. Keningnya terlipat. Dia benar-benar lupa.

🌟

Hari itu sedikit beda. Benjamin dan Leda tidak berjalan kaki menyusuri desa untuk tiba ke posko mahasiswa KKN. Hari itu, Leda meminjam motor Supra merah milik pamannya, sang Kepala Desa, Pak Lek Adi. Tentu saja, Leda juga yang mengemudi. Benjamin tidak pernah belajar naik motor seumur hidupnya.

Alasannya perjalanan dadakan itu karena mereka harus melipir terlebih dahulu ke jalan utama perbatasan desa, sepuluh menit berkendara, untuk mampir ke sebuah toserba yang menjual camilan kiloan murah. Lokasinya dekat pasar, dan ternyata lumayan lengkap isinya; beng-beng KW, astor, kuping gajah, lidah kucing, keripik singkong, cookies kering, kerupuk udang, pokoknya segala camilan dari yang asin hingga manis.

Mereka berakhir dengan sekantong besar plastik merah berisi tiga kilo camilan bervariasi. Kata Leda, ini sebagai bentuk oleh-oleh dan tanda terima kasih karena sekelompok mahasiswa itu mau mengabdi selama sebulan setengah di Desa Pandalungan. Kalau menurut Benjamin, ini adalah nepotisme terselubung. Kalau memang niat kerja, ya kerja. Untuk apa ada acara beli-beli snack segala?

Namun demikian, Benjamin menelan saja protesnya, tidak sedikitpun bersuara hingga motor Supra yang sudah copot plat nomornya itu kembali melaju ditarik gas oleh Leda.

Benjamin baru menyadari bahwa jalan utama menuju desa mereka memang hanya satu itu; setapak lurus setelah tikungan dari pasar kecamatan. Jalan yang dilaluinya dengan rombongan mobil Om Moel saat pertama 'melamar' gadis yang sekarang sedang berperan menjadi driver-nya, Leda.

Bebatuan tajam pecahan aspal membuat terjangan motor sedikit oleng, namun Leda kembali bisa menyeimbangkan kendaraan mereka. Benjamin masih bertanya-tanya bagaimana bisa gadis dengan tubuh sekecil ini membonceng dirinya di atas sepeda motor bergigi. Apa kakinya sampai?

"Pegangan, Ben!" perintah Leda saat lubang lebar menganga hampir saja melontarkan mereka. Benjamin menurut tanpa banyak kata. Ternyata naik motor di jalan ini jauh lebih bahaya dari pada naik mobil, pikirnya.

Untungnya jalanan rusak itu berujung juga, menyambungkan mereka pada jalanan tanah yang membawa mereka ke tempat tujuan.

Posko KKN Mahasiswa Universitas Damarwulan masih persis seperti yang Benjamin ingat pada kunjungannya kemarin lusa: absurd, cat biru muda pada pagar dan kusennya lumayan mencolok, dan sepenuhnya aesthetically displeasing.

"Oh my gawt, Beb! Tiap yu kemari, selalu aja bawa-bawa makanan. Deuhh, tau aja sih kita-kita ini selalu laper!" Semburan heboh dari Tatah menyambut kedatangan Leda. Gadis itu membalas ucapan Tatah dengan senyum maklum.

"Sepi banget ni posko, Tah. Yang lainnya pada ke mana?" Leda celingukan begitu mereka dipersilakan memasuki ruang tamu.

Benjamin baru sadar kalau ucapan Leda benar. Sepertinya di posko ini hanya ada Tatah seorang, yang kini bersiap mengenakan jaket seragam KKN-nya setelah meletakkan snack tiga kilo pemberian Leda di atas meja makan.

"Anak-anak lagi ngumpul di balai desa, Beb. Siap-siap bantuin ibu-ibu wali murid, besok kan pada Kartini-an," jelas Tatah dengan singkat. Pemuda setengah matang itu mengenakan bando kuning kebanggaannya sambil menyisir rambut dengan jari di depan cermin, jelas sedang bersiap-siap untuk pergi.

"Wah, iyaya, besok tanggal 21 April. Ada acara apa rencananya, Tah?" Leda penasaran.

"Biasalah, Beb ... karnaval, pawai, gerak jalan. Yah gitu-gitu deh. Eh iya, kalian perlunya sama Alif, khan? Tunggu bentar yaw ...."

Tatah dengan cepat menyelinap ke salah satu kamar dengan pintu terbuka begitu selesai berkaca. Leda dan Benjamin hanya bisa melepasnya dengan tatapan bertanya.

"WOY ALIF! BANGUN LO!! UDAH DITUNGGUIN BEB LEDA TUH BURU!!!"

Hardikan lantang itu menggelegar dari kamar tempat Tatah masuk tadi. Benjamin terperangah seketika. Inikah suara asli dari Fatah?

Keriuhan tersebut berakhir dengan Tatah yang melenggang keluar dari dalam kamar, tersenyum penuh kemenangan, diikuti seorang pemuda rambut acak-acakan yang sedang mengucek mata. Wajah pemuda itu terlihat sangat mengantuk.

"Mbak Leda?" sapa suara parau pemuda itu. Matanya berkedip tanda beradaptasi dengan cahaya.

"Hey, Alif. Cuci muka dulu gih," sambut Leda ke arah pemuda itu. Detik berikutnya pemuda yang disebut bernama Alif itu berjalan meninggalkan ruangan, sepertinya menuju kamar mandi.

"Itu orangnya?" bisik Benjamin.

Leda mengangguk sebagai jawaban.

"Yaudah deh Beb, ai tinggal cabut dulu ya, mau nyusul anak-anak ke balai desa," pamit Tatah seraya mengawasi Alif dengan pandangan mengikuti, seakan memastikan temannya itu tidak akan kabur.

"Oke. Semoga lancar ya, acaranya. Besok kalau sempat, aku sama Ben bakal bantu-bantu," ucap Leda, membawa-bawa nama Benjamin di luar persetujuannya.

"Okidiw~ Byeee~" Tatah mengedipkan satu mata ke arah Leda, lalu melayangkan kiss-bye menggelikan pada Benjamin. Lelaki itu menahan gidikan ngeri. Leda cekikikan melihat wajah Benjamin yang masam.

"So, Alif ...." Kini perhatian Leda tertuju pada target utama mereka. "Kenalin, ini Ben. Tunangan aku."

Telinga Benjamin tidak akan pernah terbiasa atas gelar itu, terlebih lagi kali ini Leda sekaligus membelai lengan kanannya seakan mereka benar-benar pasangan bahagia. Benjamin menahan diri untuk tidak menepis sentuhan Leda.

"Halo, saya Benjamin," ucap lelaki itu seraya mengulurkan tangan.

"Alif," jawab pemuda itu pendek. Walaupun beberapa saat lalu pemuda itu terlihat mengantuk, namun saat ini matanya telah awas meneliti Benjamin. Sepertinya dia tidak mudah percaya pada orang baru.

"Kamu ... kuliah jurusan Teknik, kan?" Benjamin memulai basa-basi yang tidak sepenuhnya busuk. Dia langsung menyinggung prodi pemuda itu, sengaja menyetir arah pembicaraann agar tak jauh-jauh dari misinya.

"Ya, Teknik Sipil. Mas sendiri, konselor magang di Bappenas, kan?" balas Alif, mengindikasikan teman-temannya telah bercerita sedikit selepas kunjungan Benjamin-Leda tempo hari.

"Betul," jawab Benjamin dengan tenang. "Kamu ... sudah tau kan, tujuan saya ke sini?" pancing lelaki itu.

Tepat seperti dugaan, Alif mengangguk. "Mas Ben mau riset, kan?" ucapnya mengonfirmasi.

"Iya," jawab Benjamin penuh semangat, setengah lega karena usahanya sejauh ini tidak sia-sia. "Kamu sudah ada rancangan program kerja?" lanjut Benjamin langsung to the point.

Alif terkekeh sejenak. "Yah ... gimana ya, Mas. Saya jadi Kordes agak sibuk, ditambah kegiatan di area kampus lumayan makan waktu, jadi sampai sekarang belum ada proker yang jalan."

Benjamin tampak kecewa. "Kenapa gitu? Program kerja KKN kan nggak sesulit itu, toh?" ucap Benjamin pedas.

Alif jelas tampak tersinggung, namun pemuda itu sukses menyembunyikan gejolak emosinya dengan tawa tipis.

"Mas pasti mikir proker saya bakalan standar ala-ala KKN mager gaji buta; mengeruk tempat pembuangan akhir, bangun gapura 'selamat datang', atau bahkan kalau sedikit ambisius, WC umum. Nggak, Mas. Saya cuma akan KKN sekali seumur hidup. Proker saya harus yang benar-benar bermanfaat, yang bisa dipakai semua orang, dan nggak lekang dimakan waktu."

Benjamin mendengarkan sembari berpikir, jika proker yang disebut sama Alif semua itu dianggap 'standar', maka dia mau yang bagaimana? Membangun gedung kantor desa? Memperbarui sistem irigasi? Hmm, benar-benar mahasiswa yang ... ambisius.

Senyum masih menghiasi wajah Alif ketika pemuda itu melanjutkan. "Saya yakin Mas Ben bisa paham, kalau sesuatu yang hebat tidak datang dari proses yang cepat dan instan."

Benjamin mengangguk. "Lantas, kamu mau proker yang seperti apa?"
Sebenarnya, Benjamin sedikit penasaran akan proker apa yang ideal menurut Alif.

"Belum tau." Alif mengangkat bahu. Polos, jujur, dan tanpa malu. Wajah pemuda itu tersenyum. Ah, selain ambisius, ternyata bocah ini juga impulsif dan sedikit naif. Benjamin menahan tawa.

"Heran ya mahasiswa sekarang, sok perfeksionis pilih-pilih proyek. Kenapa harus mempersulit diri sendiri, coba?" gumam Benjamin sambil mendekatkan diri ke telinga Leda, namun tak ayal ucapan itu menohok telinga Alif. 

"Maksudnya?" Nada bicara Alif meninggi, menandakan perkataan Benjamin barusan sukses menohok hati. Rupanya belati kedua yang keluar dari mulut Benjamin telah berhasil meruntuhkan topeng senyum Alif.

"Eh-eh, santai, santai!" Leda menengahi dengan panik. "M-maksud si Ben 'tuh ... kenapa kita ngga cari proker yang simpel-simpel aja? Sori—simpel tapi efektif! Lagipula kan waktu kamu KKN tinggal tiga minggu lagi, ya 'kan Lif? Belum bikin proposalnya, dan perencanaan biaya sama lain-lainnya. Kalau terlalu besar, takutnya nggak akan sempat. Bener kan, Sayang?"

Ah, si Sailor Moon sedang menengahi konflik rupanya, pikir Benjamin seketika. Namun pikiran itu pecah ketika didengarnya Alif bersuara.

"Saya rasa ... itu nggak sepenuhnya salah juga."

Baik Benjamin maupun Leda menoleh bersamaan, jelas terkejut. Mereka berdua tetap bungkam, memberi Alif kesempatan untuk melanjutkan.

"Mbak Leda benar, saya memang kehabisan waktu. Tapi itu bukan berarti saya bisa sembrono." Mata pemuda itu melirik Benjamin sekilas, sebelum menghela napas dan lanjut berkata. "Sejujurnya, ada satu proker yang jadi plan B saya: memperbaiki jalan utama desa sepanjang 300 meter yang sekarang keadaannya rusak parah—padahal jalan tersebut merupakan jalur utama yang melintasi Balai Desa, musala, dan sekolah SD-TK. Pasti Mas Ben dan Mbak Leda pernah melewati jalan yang saya maksud."

Benjamin ingat sekali jalan yang dimaksud oleh Alif. Jalanan yang dilaluinya dengan mobil Raka dan keluarga Om Moel, sekaligus jalan yang membuatnya hampir terpental saat dibonceng Leda pagi hari itu.

"Nah, sependek pengetahuan saya, struktur jalanan aspal bisa rusak karena beberapa sebab; agregat aspal di atas tanah timbunan yang belum padat, faktor alam seperti air dan bencana, atau bahkan sekadar dimakan waktu. Dalam kasus desa ini, saya belum tau jelas penyebabnya apa, tapi itu mungkin bisa kita cari tau sambil jalan. Yang jelas, solusi untuk mengatasi jalanan aspal yang sudah retak adalah dengan cara patching, atau memotong dan mengambil sebagian agregat aspal yang rusak, kemudian diganti dengan agregat aspal yang baru. Simpelnya, ditambal."

Rasanya Benjamin bisa mendengar bunyi 'ting' dari dalam kepalanya. Lampu hijau! Bocah ambisius yang naif ini ternyata cukup punya potensi untuk diajak kerja sama. Detik itu juga, senyum Benjamin merekah.

"Kamu tau itu semua dari ... kuliah?" Leda bertanya polos.

"Kurang lebih begitu, Mbak." Pandangan Alif kini menuju ke Benjamin. "Jadi, gimana menurut pendapat Mas Ben? Apakah project saya yang simpel ini cukup layak untuk diteliti oleh seorang konselor Bappenas?"

Ada celekitan pedas sarkastik yang tersirat dalam kalimat itu, namun Benjamin kepalang senang untuk menanggapi dengan sinis. Dalam benaknya, Benjamin bersorak, riang sekaligus lega. Misi dari Eyang Kakung kini mulai terlihat hilalnya.

"Ya! Emmm—maksudnya, ya, iya. Layak, layak sekali untuk saya angkat. Sejujurnya, project semacam inilah yang saya cari. Saya bisa bantu kamu dengan semua yang kamu butuhkan, seperti pembiayaan, atau kalau butuh resource berupa bahan atau jasa, itu saya bisa bantu. Tapi, saya mohon kamu perbolehkan saya untuk membuat laporan atas proker ini. Bagaimana?" tawar Benjamin sembari mengulurkan telapak tangan, siap menerima jabatan.

Alif mengangkat bahu. "Saya nggak nolak atas bantuan apapun. Dan saya juga bakal butuh laporannya kok, Mas. Nggak masalah, kita bisa berbagi data, asal Mas Ben benar-benar ikut andil dalam proker saya."

Pemuda itu lantas menyambut jabatan tangan Benjamin.

Alif, si mahasiswa Teknik Sipil itu tidak akan tau betapa jabatan tangan itu berarti bagi seorang Benjamin Cokro. Lelaki itu tak putus tersenyum sampai akhirnya jabatan tangan mereka lepas, dan tanpa menunggu jeda sedetikpun, Benjamin langsung bertanya:

"Jadi, kapan kita mulai?"

🌟

[2642 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro