Hari 5 - Hari Kartini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


BENJAMIN tidak akan pernah terbiasa bangun dengan pemandangan pertama yang dilihat adalah langit-langit kamar ini. Penampakan plafon datar dengan hiasan jamur—atau entah bekas bocoran hujan—di sudut-sudutnya selalu sukses membuat lelaki itu bergidik. Beruntung bau embun sekaligus rerumputan yang menyusup dari jendela bisa sedikit menenangkannya. Bau seperti ini tidak akan bisa dia temui di Jakarta.

Tok-tok-tok.

Ketukan daun pintu kamar Benjamin yang tidak sepenuhnya tertutup itu mengalihkan pikirannya. Sepagi ini, siapa yang berani mengganggu seorang Benjamin Cokro kalau bukan partner sekaligus tunangan bohong-bohongannya—Leda.

"Masuk," ucap Benjamin seraya berguling bangkit dari ranjangnya. Lelaki itu sudah lima menit terjaga, namun badannya belum bergerak ke mana-mana.

"Kok belum siap-siap?" tanya Leda yang melihat Benjamin baru meraih handuk di salah satu hanger.

"Ini lagi mau siap-siap," elak lelaki itu sambil berjalan melewati Leda. Gadis itu hanya bisa mengikuti Benjamin dengan ekor matanya. Protes juga percuma, rasanya bukan awal yang tepat jika harus memulai hari berdebat dengan si Tuan Keras Kepala.

Berbeda dengan Benjamin yang masih sibuk gebyar-gebyur di dalam kamar mandi, Leda sudah tampak segar dan siap berangkat dengan paduan celana kain pendek dan kemeja oversize di tubuhnya.

Tujuan mereka hari ini sedikit berbeda, namun tetap berujung di tempat yang sama: posko KKN Universitas Damarwulan.

Leda akan membantu mahasiswa KKN dalam agenda pawai hari Kartini, berbekal kamera analog tua dan beberapa roll film, gadis itu sudah resmi menjadi seksi dokumentasi.

Sementara Benjamin, tentu saja, akan bertemu si kordes Alif untuk menjalankan misinya.

"Hey, ayo. Kok malah bengong?" Benjamin mengangetkan Leda yang berdiri membelakanginya—lebih tepatnya, berdiri membelakangi pintu depan. Gadis itu langsung berbalik dan memamerkan senyum di wajah hatinya.

"Hai. Ayok!" ucapnya dengan nada yang terlampau tinggi.

Meskipun Benjamin bisa melihat lurus menembus senyum palsu Leda—seperti biasa—namun hari ini gadis itu terlihat sangat excited. Rasanya, senyumnya beda. Kali ini terlihat lebih ... lepas.

Benjamin curiga, mungkin sebenarnya Leda menanti-nantikan keramaian seperti ini—sesuatu yang sedikit berbeda, yang mewarnai hari-hari sepi hidup di pelosok desa. Lelaki itu curiga, bahwa sebenarnya Leda adalah gadis yang kesepian.

🌟

Jalanan ramai dengan warga desa yang berjejer, menonton marching band ala-ala SDN 01 Pandalungan, diikuti murid-murid SD yang berdandan dengan kostum berbagai profesi; dokter, perawat, polisi, tentara, petani, dan (sepertinya) presiden, diakhiri dengan gerombolan murid TK yang berkostum pakaian daerah didampingi orangtua mereka yang—lucunya—ikut berdandan dengan kebaya.

Setiap pergantian barisan pawai itu, terdapat mahasiswa berseragam jaket KKN yang memegang tali rafia sebagai pembatas baris.

Di sela-sela hiruk-pikuk itu, terdapat Leda yang sigap dengan kamera analog di tangan, sibuk mengabadikan momen dari berbagai sudut.

Berlarian ke sana ke mari, Leda tak putus cekikikan dan tersenyum, sesekali bertukar canda dengan mahasiswa KKN yang curi-curi pose candid.

Dasar anak muda jaman sekarang, cemooh Benjamin dalam hati, namun tak ayal tersenyum juga melihat tunangannya sebahagia itu.

Benjamin sendiri mulai tertarik ketika mendapati sosok Alif, sang koordinator desa yang tampak sibuk memberikan komando via walkie talkie-nya. Pemuda itulah tujuan utama Benjamin mau berdiri panas-panasan di pinggir jalan, di depan balai desa begini.

Sepertinya rencana Benjamin harus sedikit ter-delay, tatkala hari itu Alif disibukkan dengan acara pawai karnaval ini sehingga tidak bisa langsung melayani Benjamin dan segudang keperluannya.

Ini di luar perhitungan Benjamin. Lelaki itu tidak menyangka bahwa Alif akan sebegitu penting perannya sehingga menjadi sulit ditemui—khususnya pada hari sibuk ini.

Biasanya, saat menjabat COO di Cokro Group, Benjamin selalu menjadi pihak yang dicari dan sukar ditemui, berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini.

"Kamu baik-baik saja, Benjamin?" Sapaan suara lelaki dewasa membuat Benjamin tersadar dari pikirannya. Pawai sudah berlalu, kini dia berdiri di depan balai desa sementara masa penonton bubar perlahan.

"Eh, iya, baik ... Pak—Lek." Benjamin tidak tau pasti harus memanggil apa pada Pak Adi, paman Leda yang sekaligus menjabat sebagai kepala desa itu. Benjamin sering mendengar orang-orang sekitar memanggilnya 'Lek', Leda juga memanggilnya demikian. Jika Benjamin tak salah ingat, 'Lek' itu artinya kurang lebih seperti 'paman'.

"Kok nggak bareng Leda?" Pak Adi berjalan semakin dekat menghampiri Benjamin.

"Oh, eh ... nggak, Pak Lek. Dia jadi seksi dokumentasi, saya tunggu sini aja. Nanti kita janjian ketemu di sini lagi kok," papar Benjamin seringkas mungkin.

Pak Adi mengangguk paham. "Hmmmm ... dia nggak nyusahin kamu kan, Benjamin?" tanya sang kepala desa tiba-tiba.

"Enggak kok, Pak. Sama sekali nggak nyusahin," ucap Benjamin. Entah itu bohong atau tidak, yang jelas Benjamin refleks mengeluarkan jawaban default tersebut.

"Hmmm bagus kalau begitu. Proyek kamu sendiri, bagaimana? Saya dengar kamu akan kolaborasi dengan salah satu prokernya anak KKN, benar?" lanjut Pak Adi.

"Oh, eh ... iya, Pak, benar ...."

Pak Adi merangkul pundak Benjamin dengan satu tangan, gestur hangat seakan mereka dua lelaki yang sudah lama kenal.

"Nah, itu, bagaimana? Apa kamu menemui kendala, Ben? Kamu bisa cerita sama saya ...."

Dengan demikian, tergiringlah Benjamin masuk ke dalam balai desa, lebih tepatnya ke ruangan Pak Adi—ruang kades.

🌟

"Cepet, Lif, kamu harus cepet! Ben itu paling nggak suka dibikin nunggu!"

Leda menggiring tubuh kurus pemuda tanggung yang berpakaian jaket seragam KKN itu—Alif, sang kordes yang harus 'tersandera' bahkan sebelum sempat mengevaluasi kinerja anggotanya pasca pawai karnaval Hari Kartini. Untungnya ada Ami, wakil koordinator desa yang sigap memimpin evaluasi menggantikan Alif.

Pemuda itu tampak pasrah digamit Leda menuju Balai Desa—tempat di mana Leda menyuruh Benjamin menunggu. Rencananya, selepas menjemput sang tunangan di Balai Desa, mereka akan bertolak langsung kembali ke posko KKN untuk membahas secara mendetail rencana proker Benjamin-Alif.

Sesampainya di teras balai, Leda dikejutkan dengan Benjamin yang berjalan keluar kantor desa, beriringan dengan pamannya, Pak Adi, sang kepala desa. Mereka tampaknya baru saja selesai membicarakan sesuatu. Leda menyipitkan mata melihat mereka.

"Nah, ini dia Dek Li-nya sudah datang. Oh, sama Nak Alif juga toh ...." Pak Adi menyambut mereka dengan senyum mengembang.

"Iya, Lek. Ini, si Ben katanya tadi mau ketemu Alif, kan? Sana, sana." Leda mendorong tubuh Alif ke arah Benjamin. "Kalian duluan aja, aku mau ada perlu sama Pak Lek-ku," lanjut gadis itu.

Maka berpisahlah dia dengan Benjamin-Alif yang, sesuai rencana, berjalan ke posko KKN. Kini Leda berhadap-hadapan dengan Pak Adi.

"Lek ngomong apa sama Ben, barusan?" tanya gadis itu tanpa buang waktu.

Pak Adi tampak santai, hanya mengangkat bahu dengan ringan. "Yah ... begitu-begitu saja. Dari pada dia nunggu kamu sendirian, Lek ajak saja dia masuk ke dalam. Kita ngobrol, biasalah ... basa-basi."

"Ben paling nggak suka basa-basi, Lek." Leda memicingkan mata. "Pasti kalian ngomongin sesuatu. Ngomongin aku, kan?" ucap Leda sambil melipat lengan di dada.

"Hahaha, kamu ini ... pe-de sekali," tawa Pak Adi.

"Emangnya salah?" tuntut Leda.

"Ya nggak juga sih ...." Pak Adi merangkul pundak keponakannya, setengah menenangkan. "Memang, tadi kita sempat membahas proyek dia dulu, tapi belakangan juga ada sedikit omongan tentang kamu. Yah, itu karena dia yang mulai, sih."

Leda menaikkan alis. "B--Ben yang mulai? Dia ... nanya-nanya tentang aku?"

Pak Adi mengangguk. "Sepertinya dia lumayan penasaran sama kamu, Dek."

"Dia nanya apa aja? Lek ngasi tau dia apa aja?!" tanya Leda dengan nada terlampau nyaring. Pak Adi terkekeh tipis.

"Kamu itu yang ngomong apa sama dia, Dek ... orang baru kenal kok kamu kata-katai begitu."

"Maksud Lek?" bingung Leda.

"Kamu bilang dia angkuh, sombong, egois, apa lagi itu ya ...."

"Aku kan cuma berkata jujur, Lek!" Leda mendenguskan napas. "Dia memang orangnya begitu, kok. Hayo, Lek nggak usah denial, Lek juga ngerasa, kan?"

"Ya tapi kan nggak harus kamu omongkan di depan mukanya begitu toh, Dek." Pak Adi meremas bahu Leda yang sedang dirangkulnya.

"Aku begitu biar dia mau introspeksi, Lek ... kalau semua orang takut sama dia, terus siapa yang akan dia dengarkan? Siapa yang berani koreksi kalau dia bikin kesalahan?" ujar Leda polos.

"Memangnya kamu nggak takut sama dia, Dek? Nggak sungkan, tau dia siapa?" tanya Pak Adi kemudian.

Leda menjawab dengan gelengan kepala.

"Hmmm ... ya sudah. Tapi nggak sopan bilang kejelekan orang terang-terangan begitu, Dek. Kamu hutang permintaan maaf sama dia. Lek yakin, ayahmu pasti juga setuju. Dia ngga akan suka lihat anak gadisnya jadi nakal begini. Ya kan?"

Keponakan Pak Adi itu tertawa lepas mendengar kalimat pamannya. "Lek! Aku ini bukan anak kecil, ah!"

"Hahahaha!" Pak Adi lanjut tertawa.

"Seriusan ih, Lek. Dia memangnya tanya apa sih tentang aku? Masa itu aja—dia nge-rant tentang manner-ku yang ceplas-ceplos ngomongin sikap buruk dia?" Tampaknya Leda masih belum puas.

"Yaa, begitulah. Dia tanya-tanya asal-usul kamu, dulu kamu kuliah di mana, kenapa sekarang bisa ada di sini—"

"APA?!" Leda membelalakkan mata. "Lek nggak cerita ... semuanya, kan?"

Pak Adi menggeleng sambil tersenyum. "Tenang saja, Dek, Lek-mu ini tau mana bagian yang menjadi privasi dan mana yang pantas diceritakan. Apa yang Lek anggap sensitif bagi kamu, Lek biarkan kamu saja yang menceritakannya sendiri sama tunanganmu itu."

Leda membuang napas yang sempat ditahannya.

"Tapi kamu harus minta maaf sama Ben, ya? Soal perkataanmu yang nggak mengenakkan itu." Kali ini nada bicara Pak Adi terdengar tegas.

Leda memandang pamannya sedetik. Dalam kepalanya telah berkecamuk pertimbangan mengesalkan; jika dia minta maaf atas perkataannya, maka itu sama saja membiarkan Benjamin semakin menang dan tak tersentuh. Namun jika dia tak menuruti pamannya, dia akan dinilai sebagai anak tak punya sopan santun.

"Iya deh, Lek," ucap Leda akhirnya.

Gadis itu lantas berpisah dengan Pak Adi, melangkah menuju posko KKN demi menyusul Benjamin.

🌟

"Jadi seperti yang saya bilang kemarin, saya belum tau pasti penyebab retaknya aspal di jalan utama desa ini apa—tapi saya paham kerusakannya dan bagaimana cara memperbaikinya. Yah, walaupun hanya sebatas teori, sih. Intinya, patching. Teknik penambalan aspal yang saya jelaskan kemarin."

Alif membuka diskusinya siang itu dengan Benjamin di ruang tamu rumah posko KKN, ditemani setoples keripik singkong dan air mineral gelas yang dicoblos sedotan plastik.

"Kamu tau caranya ... teknik patching itu tadi?" tanya Benjamin skeptis.

Alif mengangguk percaya diri. "Tau. Cuma agak ribet di proposal sama perizinannya. Oh iya, sama budgeting juga, masalah uang."

Benjamin mengurungkan gerakan menyeruput air mineralnya. Matanya terpaku pada Alif.

"Masalah itu, tenang saja," ucap Benjamin yakin. "Saya kan sudah bilang, saya akan bantu."

Kali ini Alif yang terpaku memandangi wajah Benjamin. Pemuda itu tampak berpikir.

"Mas, mohon maaf, kalau boleh tau ... dana yang akan digunakan untuk proker ini dari mana, ya? Nggak mungkin dong, kalau dari kantong pribadi Mas Ben. Saya cuma mau mastiin aja kalau proyek ini 'tuh nggak akan dimanfaatkan untuk ... yang tidak-tidak."

"Apa?" Benjamin terkejut seketika. "Maksudnya apa, Alif?"

Pemuda yang menjabat ketua kelompok KKN itu berdeham pelan. "Begini, Mas Ben. Saya itu sangat menentang adanya ketidakjujuran seperti praktik korupsi dan, ehm ... money laundry. Itulah sebabnya saya menganjurkan proker-proker yang dijalankan kelompok saya untuk tidak menggunakan dana bantuan desa, sebab, ya itu ... rawan akan modus pencucian uang."

Benjamin mendengkus pelan. Tak disangkanya pemuda yang dinilainya arogan dan naif tempo hari ini rupanya cukup idealis. Bagus juga, calon penerus bangsa yang berpendirian.

"Kamu nggak perlu khawatir, Alif. Saya bisa menjamin kalau dana ini bukan black money," ucap Benjamin dengan yakin.

"Lalu? Boleh saya tau asal dananya dari mana?" tuntut Alif.

"Itu ... anggap saja dari sponsor." Benjamin mulai memutar otak. Rasanya agak sulit mengelabui bocah ini, walaupun dalam konteks kebaikan.

"Sponsor apa? Bappenas?" Alif masih pantang menyerah.

Benjamin kini menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Selama ini, Benjamin tidak pernah memusingkan masalah pendanaan. Perannya di Cokro Group sebatas menjalankan proyek yang sudah direncanakan dengan rapi oleh orang-orang profesional. Tak disangkanya masalah tetek bengek yang biasa dia sepelekan dan serahkan pada orang lain—mungkin dari divisi finance—seperti ini malah akan menggigitnya balik.

"Bukan, sih ...." Benjamin kehabisan kata-kata, sementara Alif semakin memicingkan mata. Pemuda itu mulai curiga.

"ASSALAMUALAIKUM! Halooo ... Ben? Alif?" Pintu depan menggebrak terbuka dengan Leda meneriakkan salam dari baliknya.

Benjamin dan Alif sontak menoleh bersamaan.

"Nah, di sini kalian!" Leda tersenyum pada mereka.

Tanpa sadar, Benjamin menghela napas lega. Kehadiran Leda yang mendadak itu berhasil mengalihkan ketegangan di ruang tamu posko.

"Kamu dari mana aja?" Benjamin coba mengalihkan pembicaraan pada eksistensi Leda.

"Tadi habis ngobrol bentar sama Lek-ku. Oh iya, gimana-gimana, kalian lagi bahas proker, kan? Sampai mana nih?"

Sialan, maki Benjamin dalam hati. Leda dengan gamblang mengarahkan topik kembali ke hal yang ia hindari.

"Barusan kita lagi bahas pendanaan, Mbak," jawab Alif to the point. Benjamin meringis tertahan.

"Oh ya? Wah, itu ...." Leda mengarahkan pandangannya pada Benjamin. Matanya terlihat ragu. Sepertinya Leda tau.

"Begini, Alif," sela Benjamin hati-hati. "Masalah yang tadi, sponsor, memang belum fix akan bersumber dari mana. Tapi saya jamin, Lif, dananya aman dan nggak aneh-aneh. Saya akan jabarkan sumbernya setransparan mungkin. Toh nanti kita akan menggarap laporannya bersama, kan? Nah, kamu bisa kroscek sendiri di situ. Gimana?"

Benjamin menahan napas setelah mengeluarkan tawaran itu. Kata-kata, ya, hanya potongan kata tanpa bukti konkret. Lelaki itu berdoa semoga bocah kordes itu percaya.

"Hmmm ... oke," putus Alif sambil tersenyum tipis. "Saya serahkan sama Mas Ben. Tapi jujur saja ya, Mas, ini kok rasanya kayak jadi panitia acara kampus abal-abal yang bakalan pontang-panting kesulitan nyari sponsor, ya? Ha-ha-ha."

Tawa merendahkan lolos dari bibir pemuda itu, sementara Benjamin berusaha menelan pahitnya suara Alif dengan meneguk air mineral dalam genggamannya.

🌟

Sore menjelang di Rumah Atas. Benjamin tampak berjalan mondar-mandir dari ruang tengah ke ruang tamu, wajahnya tertekuk. Resah.

Leda yang baru saja memandikan nenek buyutnya, Mbah Tum, berjalan menuntun beriringan dari kamar mandi. Pandangan gadis itu sekilas menangkap gelagat tunangannya yang sedikit aneh.

"Ben? Kamu nggak papa?" tanya Leda selewat. Dia masih harus mengeringkan rambut perak Mbah Tum dengan handuk.

"Hm," jawab benjamin tak acuh. Dalam kepala lelaki itu, rentetan kalimat pertimbangan memantul tak tentu.

Sialan. Sialan. Sialan. Gue mulai dari mana, coba? Yang jelas, proyek ini butuh duit sama bantuan third party—pemborong—kalau mau kelar cepet. Sialnya, gue nggak pegang HP, gimana caranya gue bisa ngontak pemborong? Di tempat antah-berantah gini ... arghh! Bodo ah, sediain duit aja dulu. Ada dana, semua lancar!

Benjamin mengacak rambutnya dengan kasar. Dia merasa terjebak, bingung, dan stuck sebab biasanya dia menyerahkan segala urusan seperti ini kepada ... Petra, sahabat sekaligus tangan kanan yang saat ini ingin dia potong lepas dari tubuhnya.

Ditambah lagi, perkara uang mengingatkan lelaki itu pada lembar rupiah yang mendekam di saku jaketnya, belum tersentuh sama sekali sebab itu adalah pemberian dari Saras. Sialan! maki Benjamin sekali lagi. Kenapa juga harus kepikiran Petra sepaket sama Saras?

"Hey." Leda mencolek sisi wajah Benjamin, menenggelamkan telunjuk lentiknya di pipi lelaki itu. Benjamin—yang terkejut—refleks mengelak seketika.

"Apa-apaan?!" hardiknya.

"Kamu stres," vonis Leda. "Liat tuh, alis kamu mengkerut jadi satu. Mikirin apa sih?"

Benjamin membuang muka. "Uang," gumamnya.

"Hah?" Leda maju satu langkah. "Anak konglomerat kayak kamu masih stres mikirin uang? Kok bisa? Jangan-jangan ... kamu beneran dibuang ya sama keluarga kamu?"

"Ngaco!" elak Benjamin. "Ini uang untuk project saya sama Alif."

Kalimat penjelasan itu berhasil membuat Leda mengangguk paham.

"Ooh, gitu. Terus, gimana? Udah nemu solusi?" Gadis itu bertanya sambil beranjak duduk di salah satu kursi ruang tamu.

"Hmmm, biasanya sudah ada orang yang mengurus masalah ini. Saya nggak pernah turun tangan sama hal-hal yang begini ... remeh." Benjamin menggeleng pasrah.

Leda tampak mengerutkan kening, namun tak ayal bangkit juga dari duduknya. Rupanya gadis itu meraih sesuatu di atas meja—smartphone miliknya.

"Ini. Kamu butuh ngehubungin orang-orang kamu, kan?" tawar Leda. Mata gadis itu diam-diam menyipit, meneliti kebimbangan yang tergambar jelas di raut wajah Benjamin. Gadis itu sedang menilai sang tunangan.

Perlahan, tangan Benjamin terulur. Smartphone tipis itu terasa dingin di tangannya, sementara otaknya berpikir keras.

Apa gue harus banget ngontak orang dari grup? Tapi siapa? Nggak mungkin kan Petra. Mungkin ... Gita? Atau Om Moel? Arghh, nggak, nggak.

"Nggak perlu," tolak Benjamin melepas ponsel Leda. "Sepertinya saya harus cari solusi sendiri."

Mata Leda membulat. Tak disangkanya Yang Mulia Benjamin menolak cara mudah untuk menyelesaikan masalah.

"Okay, jadi? Apa rencana kamu?" ucap Leda sambil mengantongi smartphone-nya.

Benjamin tampak berpikir selama beberapa detik. Ingatannya terpacu akan briefing singkat bersama Gita, Lisa dan (mantan) orang-orang terdekatnya—Petra dan Saras—sebelum berangkat. Mereka sempat membahas ada apa saja di Desa Pandalungan, mulai dari iklim, sosiokultural, hingga ... ah! Fasilitas ekonomi!

"Lee, kamu tau ATM?" ujar Benjamin tiba-tiba.

"ATM? Tau lah! Buat narik uang tunai, kan?"

"Saya butuh." Benjamin berkata sungguh-sungguh.

Leda berkedip sesaat. "Em, yah ... ada sih, tapi ATM yang paling dekat itu di Pandalungan Kota, 19 kilometer dari sini. Gimana?"

"Oke, antar saya."

🌟

[2684 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro