Hari 6 - Star Cinema (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SEMBILAN belas kilometer terasa sangat jauh jika ditempuh mengendarai motor tua Supra merah yang hampir rontok bodinya, ditambah plat nomor yang tinggal kerangka, dan pastinya tanpa STNK, efektif membuat perjalanan Benjamin dan Leda menuju Pandalungan Kota semakin aman saja.

Matahari mulai menanjak. Dari jok belakang, Benjamin menyempatkan diri melirik pergelangan tangan, tempat Rolex-nya melingkar dengan tampan.

Jam 09.18, kenapa udah sepanas ini? Apa gue udah mulai kebiasaan sama udara dingin di desa ya? pikir Benjamin setengah mengeluh.

Dipandanginya jalanan ini—perbatasan kabupaten dan desa. Aspal menukik turun, berliuk dengan garis terputus. Sesekali truk pengangkut tebu melintas dengan malas, mulus disalip oleh Leda yang tidak malu-malu menarik gas.

Setengah jam di atas motor, akhirnya pemandangan mulai berubah. Jalanan menjadi lurus, datar, dan dipagari pohon asam yang meliuk di kanan-kiri, gemuk. Pemukiman mulai padat. Pertokoan, pasar, hingga kendaraan dengan plat P berjejalan memenuhi aspal.

Ah, ini dia. Peradaban.

Tidak butuh waktu lama hingga Leda memarkirkan Supra milik pamannya di sudut alun-alun. Sepertinya lapangan yang dikelilingi paving setapak ini merupakan pusat kehidupan di Pandalungan Kota, sebab dengan satu sapuan mata, Benjamin sudah mendapati gedung-gedung penting pemerintahan mengelilingi petak lapangan ini.

Tampak kantor Bupati, kantor pos, kantor polisi, masjid agung, hingga pengadilan agama dan pasar mini—terlihat dari odong-odong dan kolam pancingan ikan plastik yang ramai dikerubungi ana-anak.

Kenapa mereka nggak sekolah? pikir Benjamin. Oh iya, sekarang kan hari Minggu, sadarnya kemudian.

Dalam benaknya, Benjamin diam-diam menyimpulkan—setengah kagum—bahwa alun-alun sebagai pusat kota ini jelas sekali menghidupkan filosofi tata kota yang membagi simbol keimanan, penghukuman, dan pemerintahan. Ini bukan sekadar pusat kota, tapi juga bentuk nyata warisan kebudayaan Pandalungan.

"Itu yang kamu cari." Suara Leda terdengar tepat setelah gadis itu menanggalkan helm cibuk usang. Perhatian Benjamin teralihkan seketika.

Ternyata Leda menunjuk ke satu arah—sudut alun-alun, di mana terdapat kumpulan ATM dengan pintu-dinding kaca transparan. Berbagai nama bank tertera di sana. Bingo.

Benjamin segera merogoh kantongnya, meraih dompet. Namun jemarinya malah menyentuh lembaran familiar, dan otaknya seketika langsung berpacu.

Uang ini ... gue nggak butuh, batin Benjamin.

"Lee, ini buat kamu jajan. Sana, tungguin sekitar sini, jangan jauh-jauh. Saya nggak lama."

Leda terkejut saat menerima uluran tangan Benjamin. Lipatan tebal uang kertas lima puluh ribuan tersodor di hadapannya, layaknya benda itu bukan sesuatu yang berharga.

"Eh, lah? Ini apa?" bingung Leda.

"Terima aja. Saya mau buang sial," tutur Benjamin singkat sambil setengah melemparkan lembaran itu ke dalam genggaman tangan Leda.

"Em—makasih?" gumam Leda yang masih bingung dengan pemberian Benjamin.

Gadis itu hanya bisa merelakan sosok Benjamin yang sudah berjalan menjauh. Tanpa diketahuinya, uang dalam genggaman Leda adalah kesialan yang benar-benar ingin Benjamin buang. Kertas berharga itu merupakan pemberian dari Saras.

"Konglomerat 'tuh emang aneh-aneh, deh, kelakuannya," gumam Leda lebih kepada dirinya sendiri, seraya membuka harta karun yang terlipat kusut di genggamannya. Dalam hati, gadis itu menghitung lembar demi lembar. Sesaat kemudian matanya melebar.

"Buset?! Ini mah hampir sejuta!"

🌟

Kebijakan Bank Indonesia yang membatasi penarikan tunai di setiap ATM dengan nominal maksimal sepuluh juta rupiah—per rekening, per hari, terlepas dari status rekening Benjamin yang merupakan member platinum di berbagai bank—membuat lelaki itu herus rela keluar dari ATM dengan logo biru tua, menyanding ransel yang berisikan rupiah, dengan jumlah maksimal yang bisa ditariknya.

Apa butuh lebih? Benjamin menimbang-nimbang.

Setelah beberapa detik, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk pindah ke ATM sebelah—yang berlogo biru muda—sembari mengambil kartu lain dari dalam dompetnya. Better safe than sorry.

Tak sampai lima menit kemudian, Benjamin selesai.

Lelaki itu tidak mendapati tunangannya di tempat parkir motor mereka. Dengan embusan napas menahan kesal, Benjamin menoleh ke kanan dan kiri, berharap pandangannya bertabrakan dengan sosok Leda yang tiba-tiba menghilang.

Tidak ada.

Benjamin memutuskan mencari di sisi lain alun-alun, di mana terdapat banyak pedagang kaki lima dan gerobak jajanan berjejalan. Benar saja, Leda berada di sisi trotoar tempat penjual telur gulung dan bakso sempol menepi. Benjamin segera menghampiri.

"Saya kan tadi bilang, tunggu di sekitar ATM!" desis Benjamin begitu tiba di sisi Leda.

"Hehehe. Kamu mau telor gulung?" gadis itu nyengir tanpa dosa, menunjuk pesanannya yang sedang dibolak-balik di atas rendaman minyak.

"Nggak. Saya mau kita pulang," ucap Benjamin tegas.

"Lah, buru-buru banget? Entar dulu dong, kapan lagi coba kita jalan-jalan keluar desa begini?" protes Leda tak terima.

Benjamin memicingkan mata. Benarkah dugaannya kemarin, bahwa gadis ini sebenarnya kesepian dan merasa bosan terisolasi di Desa Pandalungan?

"Fine," ucap Benjamin kemudian. Menurut lelaki itu, tidak rugi-rugi amat menuruti kemauan Leda, sekali-sekali. Toh gadis itu sudah berbaik hati mengantarnya jauh-jauh ke sini. Anggap saja ini sebagai reward menyetir motor selama dua jam.

"Yay! Oke, habis ini kita cari makan siang, ya?" pekik Leda girang seraya menerima plastik telur gulung pesanannya dan langsung melahap satu tusuk.

Melihat itu, Benjamin hanya bisa membatin. Cewek ini, lagi ngunyah makanan gitu, bisa-bisanya ngomong mau cari makan lagi?

🌟

Seumur hidup, Benjamin memang pernah mendengar bahwa perputaran rupiah itu 90% ada di Jakarta, yang artinya nilai uang tidak begitu berharga—inflasi di satu titik pusat ibukota.

Sementara di kota-kota terpencil daerah pelosok seperti ini, ternyata uang masih besar nilainya.

Rasanya, pecahan biru lima puluh ribu saja sudah banyak sekali. It's amazing what money can buy—semuanya bisa terbeli di sini. Contohnya saja, Leda membeli gulali berwarna merah jambu itu, harganya 8.500 rupiah. Es teh yang digenggam Benjamin ini, 3.000 rupiah. Mereka menepi untuk membeli mie ayam bakso, 10.000 rupiah permangkok?! Gila. Mana enak pula!

Benjamin tak habis pikir, agenda makan siang dadakan dengan Leda itu tak habis menuntaskan selembar lima puluh ribu. Padahal di Jakarta, bayar parkir mobil saja sudah seharga satu mangkok mie ayam di sini. Gila.

"Itung-itung, ini kamu yang beliin loh!" ucap Leda sebelum menggigit gulalinya.

"Hah? Kapan saya beli itu buat kam— oh ...." Benjamin langsung paham. Leda pasti mengacu pada uang yang 'dibuangnya' tadi. Uang dari Saras.

Kalau dipikir-pikir, seharian ini Benjamin selalu dibayari Leda. Entah itu makan siang mereka, parkir motor, jajan teh, gulali, dan sate telur yang sebagian besar dilahap Benjamin. Intinya, bisa disimpulkan bahwa itu semua bersumber dari uang Saras, dan entah kenapa Benjamin merasa sedikit terganggu. Ini semua begitu ... deceiving, tak etis.

Bukan perbuatan terpuji menggunakan pemberian pasangan untuk dinikmati bersama orang lain.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, tak pernahkah Saras menggunakan barang pemberian Benjamin untuk kepentingannya dengan ... Petra?

Saras memang wanita mandiri yang bisa membeli apa saja dengan uangnya sendiri. Seringnya, Saras malah menolak jika Benjamin hendak memeblikannya ini-itu. 'Aku kerja, aku punya uang,' ucapnya selalu.

Namun, pada satu special occasion, Benjamin ingat pernah membelikan sebatang lipstick yang dicomotnya terburu-buru dari Sephora sebagai hadian anniversary hari jadi mereka. Tidak mustahil jika Saras pernah memoleskan lipstick itu ketika bercumbu dengan ....

"WOY! Benjo, kok malah bengong, sih? Gimana??" Suara Leda yang disertai dengan jentikan jari di depan wajah Benjamin seketika membubarkan konsentrasinya.

Saat ini mereka masih duduk di gerai mie ayam pinggir jalan, baru saja menuntaskan makan siang.

"Hmm, ya? Gi--gimana apanya?" ucap Benjamin terbata.

"Nontonnya!" balas Leda.

"Hah?" Benjamin sama sekali tak mengerti.

"Udah kuduga kamu nggak dengerin. Oke, tadi aku bilang, di deket sini ada bioskop yang gedungnya udah berdiri dari jaman kolonial, yang sekarang dikelola sama Star Cinema. Cuma lima menit naik motor," tutur Leda dalam satu tarikan napas. Benjamin hanya bisa menatap gadis itu dengan satu alis terangkat.

"Ke sana mau, nggak? Kita nonton," ajak Leda akhirnya.

"Nonton ... ya?" Benjamin tampak tak benar-benar memikirkan tawaran itu.

"Iya, ya! Udah yuk, kita jalan sekarang, keburu sore!" Leda menarik tangan Benjamin dengan semangat, sementara entah mengapa Benjamin pasrah saja digiring menuju parkiran.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua kembali menyaru dengan arus raya.

🌟

Leda benar, gedung Star Cinema yang mereka kunjungi adalah eks-bioskop masa kolonial—terlihat dari bangunannya yang beratap tinggi, namun ternyata langit-langit di dalamnya rendah. Ubinnya berwarna abu kehijauan, tiang-tiang dinding tebal menyatu pada arch melengkung di langit-langit, dan juga terdapat tangga melingkar ke lantai dua yang tidak terbuka untuk umum.

Suasana tempat ini membuat Benjamin teringat akan Kota Tua. Bahkan, lelaki itu sempat memperhatikan, stasiun dan bangunan kantor di sekitar alun-alun juga memiliki desain arsitektur serupa. Semuanya bak dicomot langsung dari masa kolonial Belanda.

"Udah jadi kebijakan pemerintah daerah buat mempertahanin bangunan kolonial. Nggak boleh di-demolish, nggak boleh diubah atau direnovasi."

Benjamin menoleh dan mendapati Leda sudah berdiri di belakangnya, membawa sebuket besar popcorn dan soda, masing-masing di satu tangan. Sepertinya gadis itu baru saja menangkap basah Benjamin yang memperhatikan foto-foto lawas hitam-putih yang dibingkai, menampilkan keadaan gedung bioskop di tahun 1920-an.

"Gitu, ya?" respons Benjamin datar.

"Iya. By the way, barusan aku udah beli tiket, nih. Kita nonton A Wrinkle in Time di studio satu, masih delapan menit lagi nunggunya. Duduk situ dulu, yuk?" ajak Leda sembari menunjuk salah satu bangku depan barisan poster.

Tanpa menunggu Benjamin mengiyakan, gadis itu sudah pergi ke tempat tertunjuk.

"A Wrinkle in Time? Film tentang apa itu?" tanya Benjamin setelah duduk di samping Leda.

"Tentang tokoh utama yang nyari ayahnya, ilmuwan, sampe ke dimensi lain," jawab gadis itu seraya memasukkan popcorn ke dalam mulut.

"Oh?" Benjamin mengangkat alis. "Kamu sudah nonton?"

Leda menggeleng. "Barusan aku Googling sinopsisnya."

"Oh." Benjamin berkata datar.

Dan Leda pun lanjut mengunyah popcorn, sementara Benjamin mulai tenggelam dalam pikirannya, meninggalkan gedung bioskop ini, ke jalanan aspal penghubung desa yang rusak parah dan lumayan membahayakan jiwa, secara tidak langsung memikirkan cara mengeksekusi proyeknya—memperbaiki jalan itu.

Tanpa terasa, delapan menit menunggu sudah berlalu. Tepukan di bahu Benjamin menyadarkan lelaki itu untuk bangkit, mengikuti Leda ke studio satu.

Pada menit-menit awal menonton A Wrinkle in Time, Benjamin berkesimpulan bahwa Leda sengaja memilih film ini karena alur ceritanya mirip dengan jalan hidup Leda. Relate, lah, sedikit. Meskipun yang Benjamin tahu—dari Pak Lek Adi—bahwa ayah Leda masih ada, alias hidup, dan hanya bekerja di luar kota, namun entah mengapa Benjamin merasa Leda telah 'kehilangan' ayahnya. Ah, kenapa jadi memikirkan asal-usul Leda? Toh Benjamin tidak begitu peduli.

Kembali fokus menonton, menit-menit berikutnya Benjamin lalui dengan kekecewaan. Rasanya, film ini tidak sesuai ekspektasinya.

Dari judul dan deskripsi Leda, Benjamin mengira film ini adalah sci-fi tentang manipulasi ruang dan waktu yang keren dan menegangkan. Nyatanya, film ini adalah tontonan anak-anak tier rendah garapan Disney.

Benjamin menyayangkan, premis bagus dalam film ini harus dibuang dengan campuran resep imajinasi yang tidak tepat. Apalagi kemunculan Oprah Winfrey sebagai salah satu karakter film yang menurut Benjamin sangat memaksakan.

Terakhir, soundtrack lagu 'Sweet Dreams' yang mengingatkan lelaki itu pada film lain berjudul Sucker Punch yang menurutnya jauh lebih baik daripada sinema abal yang ditontonnya sekarang, juga lumayan mengganggu.

Sialan, hampir dua jam waktu hidup gue kebuang sia-sia nonton film beginian, rutuk Benjamin dalam hati.

Diam-diam, lelaki itu menoleh ke samping, melirik Leda si tersangka pemilih film sial ini.

Tampak gadis itu menguap beberapa kali, menandakan Benjamin bukan satu-satunya manusia yang tidak menikmati tontonan di hadapan mereka.

Cahaya dari layar samar-samar memantul di wajah Leda, dan entah karena jarak mereka yang lumayan dekat, atau Benjamin sudah kepalang muak sehingga enggan sekali memperhatikan layar, yang jelas saat itu mata Benjamin menangkap sesuatu yang berbeda dari wajah Leda.

Detail-detail yang terlewat, yang baru dilihatnya sekarang dari jarak dekat.

Leda mempunyai dagu yang melekuk lumayan tebal, bibir dengan cupid's bow samar, dan hidung yang tergolong bantet dan bundar. Pesek, begitu batin Benjamin.

Perhatian lelaki itu kini beralih pada upper half dari wajah Leda—matanya, yang fokus menatap layar. Alisnya, yang lurus namun sedikit bertekuk paut tanda tak menikmati, tak bisa bohong. Tulang pipinya, yang lumayan menonjol dan—Benjamin tak percaya dia beranggapain seperti ini—lumayan indah, sampai terakhir poni rata yang menutupi kening gadis itu.

Kalau dilihat-lihat, Leda mempunyai wajah yang imut juga. Ah, amit-amit! ralat Benjamin buru-buru.

Kesal akan pikirannya sendiri, lelaki itu berusaha mencari distraksi. Oh, mungkin jika mengajak Leda bicara ....

"Filmnya bagus, ya?" bisik Benjamin, tentu saja dengan nada sarkas.

Leda yang mendengar suara di telinganya otomatis langsung menoleh. Tepat saat itu, tontonan mereka baru saja mencapai klimaks—scene akhir sebelum layar berisi tulisan credits berjalan.

"He-he. Aku nggak terlalu suka, sih. Kayaknya salah pilih, deh." Leda berkata sambil tersenyum lebar, seolah tidak mendeteksi kesinisan nada Benjamin pada kalimat sebelumnya.

"Kalau gitu, kita pulang sekarang?" Tanpa basa-basi Benjamin bangkit. Dia heran kenapa tiba-tiba merasa uring-uringan, seperti harus meninggalkan tempat ini secepatnya—meninggalkan pikirannya yang ngaco tadi, secepatnya.

"Oh, eh ... iya. Ngga kerasa udah sore," ucap Leda sambil mengecek jam di layar ponselnya. "Yuk, pulang."

Mereka pun berjalan beriringan menuju parkiran motor.

Sesaat sebelum Leda menyerahkan helm untuk dikenakan Benjamin, gadis itu berucap, "Ben, hari ini kan aku udah ikut ke mana kamu pergi, nah, gimana kalau gantian? Nanti malam, kamu ikut aku, ya? Mau?"

Benjamin menerima uluran helm itu sembari mengangkat satu alis. "Ke mana?"

"Camping," jawab Leda sambil memutar kunci motor.

"Malam-malam?" Benjamin mulai khawatir.

"Yap," jawab Leda dengan santai, diiringi deru mesin motor yang menyala.

🌟

[2101 Words]

.

.

a / n

Halo! Aku berencana namatin cerita ini nih, bulan ini. Selain karena deadline yang udah mepet, belakangan aku mulai dapet lagi feels-nya cerita ini, hehehe.

Doakan lancar yaa!

Oiya, btw bab ini terinspirasi dari bangunan bioskop di kota asalku, yang jadi inspirasi Pandalungan Kota juga looh.

Dan juga, riset tata kota yang aku aplikasiin di bab ini hasil ajaran Bu Ratna, dosen matkul Sejarah Perkotaan waktu aku kuliah dulu, ngajarin makna tata kota yang bisa aja menyimpan 'sesuatu', yaitu warisan budaya dan sejarah lokal kotanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro