Hari 9 - Gotong Royong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"SATU, dua, tiga ... say cheese!"

Benjamin memaksakan senyumnya ketika pagi itu Leda juga 'memaksa'nya untuk ber-selfie bersama. Alasan Leda tampaknya urgen dan sangat penting: dia ingin foto profil WhatsApp-nya diganti dengan wajah mereka berdua, agar orang-orang dari Jaya Nusa Karya dapat mengenali wajah Benjamin berbekal foto itu.

Pasalnya, hari ini mereka semua akan bertemu tatap. Benjamin, Leda, anak-anak kelompok KKN Universitas Damarwulan, serta orang-orang dari perusahaan dengan nama singkat JNK itu.

"Uang sudah siap?" tanya Leda yang menyandang kamera analog gigantisnya.

"Siap, kok. Nih, di dalem sini." Benjamin menunjuk ransel milik Leda yang hari itu berisikan dompet, ponsel Leda, dan juga beberapa barang berharga—dokumen dan kawan-kawannya.

"Nice!" Leda mengacungkan jempol sebelum mereka melangkah keluar dari ruang tamu Rumah Atas.

Benjamin dan Leda berangkat menuju pokso KKN tempat di mana sudah ada sebuah mobil Avanza yang terparkir di halamannya. Pas sekali.

Saat Benjamin dan Leda memasuki ruang tamu, mereka sudah disambut oleh Alif dan Ami yang telah rapi dengan balutan jaket seragam kelompok KKN mereka, serta dua orang yang sejak kemarin baru sekadar kenal nama saja: Vineke dan Pak Hidayat.

"Panggil aja Mbak Vivi sama Pak Dayat," ujar Ami yang menjadi moderator dadakan pagi itu.

"Halo, salam kenal." Leda menyambut dengan semangat, seperti biasa, dan Benjamin menjabat tangan mereka dengan sopan, juga seperti kebiasaannya saat berurusan dengan rekan kerja.

"Jadi gimana, adik-adik, Mbak, Mas ... ini kalau dari proposal dan kontrak perjanjian sudah jelas, ya, kami membantu dengan sumber daya alam, alat mesin, dan sedikit tenaga kerja sampai proyeknya selesai. Mungkin perkiraan beberapa hari sudah kelar ini, Mas, Mbak. Kita bisa langsung pastikan ke TKP saja, sudah ada anak buah saya yang stembay di sana." Pak Dayat merangkum sekaligus menutup ramah-tamah awal mereka.

Benjamin suka melihat etos kerja bapak ini. To the point dan tidak buang-buang waktu.

🌟

Ternyata yang dibilang tenaga kerja sedikit oleh Pak Dayat itu memang benar-benar sedikit; hanya ada dua orang pekerja aja yang mengenakan seragam rompi oranye dengan logo perusahaan JNK itu.

Benjamin sempat mengerutkan kening, bertanya-tanya bagaimana dua tenaga manusia bisa menyelesaikan proyek penambalan jalan sepanjang puluhan meter ini, meskipun dapat juga dilihatnya alat berat yang terparkir tak jauh dari mereka: tandem roller dan juga asphalt cold mix berkarung-karung.

Ada juga bebatuan yang sudah ditumpuk di pinggir jalan, hasil timbunan dari mobil pick up tim Pak Dayat.

Lucunya, Leda yang tertarik dengan bebatuan itu, langsung bertanya pada pekerja JNE berseragam rompi oranye.

"Ini batu split, ya, Pak?" Benjamin mencuri dengar 'tunangan'nya mendatangi salah satu pekerja.

"Iya, Mbak. Itu batu split tiga-per-lima."

Sisanya, Benjamin tak terlalu peduli lagi dengan Leda dan batu-batuan itu sebab beberapa menit setelah mereka tiba dan berkenalan, datang Pak Adi sang kepala desa beserta beberapa warga Pandalungan lainnya—semuanya laki-laki dewasa yang tampak siap dan sigap membantu pengerjaan jalan ini. Ternyata, Alif sudah berinisiasi meminta bantuan warga desa. Benjamin bisa bernapas lega.

Hari pertama itu mereka jalankan sesuai blueprint dalam proposal, yakni membersihkan jalanan aspal yang menjadi proyek mereka, sebab lubang-lubang di aspal itu kini bertransformasi menjadi danau mini karena menampung hujan semalaman.

Tak butuh waktu lama untuk membagi tugas gotong-royong tersebut. Bapak-bapak warga desa dan pekerja JNK kompak membersihkan beberapa lubang pertama dari titik awal jalan raya.

Benjamin, yang tak pernah menyentuh cangkul, ember, atau sapu lidi seumur hidupnya itu harus rela untuk pertama kalinya berkotor-kotor ria, sampai tangannya berhias tanah dan debu.

Ternyata tak sesulit itu. Meskipun job desk mereka rancu, siapa memegang apa, dan harus bagaimana caranya, tapi jelas tujuan mereka padu: membersihkan lubang-lubang di jalan dari genangan air. Spontanitas dan kerja sama antar bapak-bapak teruji sekali pada kegiatan pagi menjelang siang ini.

Hingga akhirnya, saat matahari mulai tinggi, beruntung sekali Leda, Bi' Khos, beberapa ibu-ibu desa dan mahasiswi kelompok KKN berdatangan membawa penyegar bagi pekerja dadakan proyek itu; es teh, kopi, gorengan, dan juga beberapa kotak rokok.

"Nah, ini nih yang ditunggu-tunggu!" Pak Adi selaku kepala desa, dengan celana yang terlipat sebatas betis dan lengan tersingsing, membuka istirahat siang itu dengan satu sahutan ke arah pisang goreng. Benjamin ingat Pak Adi habis memegang cangkul, dan tidak cuci tangan. Ah, tapi biarlah.

"Kopi sama rokoknya, bapak-bapak." Tawaran dari Ami itu disambut anggukan dan lontaran berbagai kata 'terima kasih' dari bapak-bapak warga desa dan juga pekerja JNK. Mereka lantas kompak menyerbu nampan yang dibawa Ami.

Benjamin merasakan keakraban dan kerekatan hubungan orang-orang yang baru pertama kali bertemu di proyek itu begitu cair dan hangat, bahkan pekerja JNK bisa mengobrol dan bercanda dengan bapak-bapak Pandalungan serta mahasiswa. Berbagai lapisan masyarakat ini bertemu dan begitu padu dengan satu tujuan satu yang membuat hati Benjamin terenyuh siang itu; mereka sama-sama ingin membangun jalan demi kelancaran hidup bersama.

"Kok bengong? Kasian itu es tehnya nangis nggak diminum."

Benjamin menoleh dan mendapati Leda sudah duduk di sebelahnya. Gadis itu menggenggam ponsel dengan siaga, sebab sedari tadi dia sudah sigap memotret sana-sini untuk kebutuhan dokumentasi.

"Hahah. Kamu sendiri, kok di sini? Udah bosen foto-foto sama nanya-nanyain jenis batu?" Benjamin balas bertanya sambil menyeruput gelas tehnya. Leda benar, es yang mencair membasahi gelas kaca itu membuat si teh tampak 'menangis'.

"Mmmmm, udah. Aku sengaja ngejauh dari mereka, bapak-bapaknya pada ngerokok. Gak suka baunya. Ini aku juga mau break bentar aja, 'dah mulai pusing berdiri terus panas-panas begini." Leda mengatakan itu sembari menutupi keningnya dengan telapak tangan. Benjamin langsung sadar.

"Oh, iya! Darah rendah kamu! Nggak kumat, kan? Kamu baik-baik aja?" Refleks Benjamin menempelkan punggung tangan kirinya yang kosong ke pelipis Leda, seketika sadar gadis itu sedikit berkeringat dan agak pucat.

"Eh, eh? Sejak kapan kamu jadi perhatian begini?" tanya Leda dengan nada bingung.

Benjamin buru-buru menurunkan tangannya.

"Dan kamu jadi berani pegang-pegang. Itu artinya ...." Leda mendekatkan wajah ke arah Benjamin, dengan mata menyipit tajam. "... aku juga boleh pegang-pegang kamu! Yehehey!"

Gadis itu lantas mencubit pipi Benjamin dengan kekuatan penuh, tidak main-main. Benjamin bisa merasakan otot di sisi wajahnya itu tercenut seketika.

Cewek ini, kecil-kecil tapi ternyata powerful juga, pikir Benjamin sambil mengelus pipinya setelah Leda melepaskan cubitan itu. Ngilu.

"Aw ...." Benjamin hanya bisa mengaduh pasrah. Entah kenapa dia tidak emosi atas kekurang-ajaran Leda yang sekarang ini. Ada yang salah pada dirinya. Ada yang beda.

"Aku nggak papa, kok, Ben. Makasih udah khawatir. Selama nggak berdiri diem kelamaan, atau nggak tiba-tiba bangun dari duduk gini kecepetan, kepalaku nggak akan keliyengan, kok. Aman, Bos!" Leda mengacungkan jempol, seakan laporannya barusan adalah hal penting yang bisa menenangkan kegelisahan Benjamin.

"Baguslah," gumam Benjamin.

"Kamu nggak bosen, Ben, bengong terus gini? Kita cari kegiatan, yuk. Apa kek, gitu." Leda si hiperaktif yang memiliki darah rendah itu mulai berulah. Dasar kontradiktif, pikir Benjamin.

"Mau ngapain?"

"Hmmmm, kamu mau apa? Eh, apa yang belum kamu bisa di dunia ini, yang mau kamu bisa?" todong Leda seketika.

"Errmmm ... mau jadi CEO?" Benjamin bergumam terlampau lirih. Benar juga, itu kan tujuan dia melakukan semua ini. Kenapa dia tidak lugas megatakannya dengan lantang?

"Hah?" Rupanya Leda tidak mendengar gumaman itu.

"M-mau ... apa, ya? Apa sih, yang saya belum bisa?" Benjamin membanting setir.

"Naik motor?" ujar Leda ringan.

Bener juga.

"Kamu mau ngajarin saya naik motor, sekarang?" tanya Benjamin, menekankan nada pada kata terakhirnya.

"Kenapa nggak? Kita lagi pada break, kan? Coba aja dulu, berdiriin motornya, pake jagrak, terus nyalain mesin. Bisa, kok. Gampang!" Leda berucap dengan semangat memuncak.

"Tapi—"

"Ayo!" Leda bangkit dengan terburu-buru, lalu detik kemudian memejamkan mata dan memegang pelipisnya. Wajah gadis itu memucat dengan cepat, pertanda aliran darah ke kepalanya tersurut dengan singkat.

"Ahh ... crap. Lupa," gumam gadis itu menahan pening.

"Kan, kan. Kamu hiperaktif banget, sih." Benjamin turut bangkit dan menepis poni Leda dari keningnya.Wajah pucat Leda balas memandang Benjamin dengan senyuman.

"Aku nggak apa-apa." Benar saja, butuh beberapa saat sebelum gadis itu tertawa, lepas. Rona pipi di wajahnya menandakan aliran darah sudah kembali lancar terpompa. Benjamin entah kenapa merasa super lega.

"Yuk, Ben. Bikin aku seneng. Mau belajar motor, diki~it aja. Ya?" pinta Leda kemudian.

Dengan iringan helaan napas, Benjamin mengangguk. Tidak baik menolak permintaan orang sakit.

🌟

Benjamin dan Leda menepi di sisi jalan yang lumayan tidak rusak, beberapa puluh meter dari pusat proyek pembenahan jalan. Lelaki itu memasang kuda-kuda dengan lengan yang kaku, menyeimbangkan diri di atas motor Supra merah yang masih diamankan dengan jagrak.

"Kalau kamu bisa naik sepedah ontel, kamu pasti bisa naik motor, kok! Teorinya sama; balance." Leda memberikan wejangan sebelum melepaskan pegangannya pada sisi setir motor, melepaskan Benjamin seorang diri.

"Kaki kamu panjang, jadi nyampe aja, kan? Aman, kan?" Leda menoleh ke sisi-sisi motor. Benjamin mengangguk.

Gadis itu benar. Ketika sudah duduk di atas jok motor, dan merasakan kaki bisa memijak jalan, rasanya Benjamin berada di posisi yang in control—memegang kendali. Rasanya jadi ... mudah.

"Jadi ini tinggal saya nyalain aja mesinnya?" tanya lelaki itu.

"Iya. Puter kuncinya, terus pencet itu ... nah, iya, tombol starter. Udah agak bapuk jadi harus kamu pencet keras-keras." Leda memberikan instruksi sambil menunjuk sisi kanan setir.

"Kok nggak bisa?" Benjamin menjalankan suruhan Leda, namun tetap mesin tidak menyala.

"Oh, kayaknya kumat nggak mo nyala. Pakai starter engkol deh, coba."

"Yang mana?" Benjamin memberi ruang pada Leda untuk menurunkan satu pedal kecil di dekat tulang keringnya.

"Itu, injek yang kenceng. Sepenuh tenaga!" Leda menyemangati.

Benjamin menuruti instruksi gadis itu, dan sialnya, pedal kecil yang tampak ringkih itu ternyata sangat sulit untuk dipantik. Alih-alih menyala, badan Supra malah berguncang tanpa tujuan. Benjamin sampai takut kalau motor itu akan ambruk.

"Lee, kayaknya saya nggak bakat." Benjamin berujar setelah lututnya mulai terasa ngilu.

"Sini, sini. Dasar kamu tuan putri." Leda mengambil alih, memposisikan tubuh mungilnya di atas pedal, dan dalam satu pijakan mesin Supra merah terbatuk menyala. Senyum sumringah timbul di wajah Leda.

"See? Gampang, kan?" pekik gadis itu terlampau bahagia. Tampaknya berhasil mengungguli Tuan Benjamin merupakan pencapaian berarti baginya.

"Iya," ungkap Benjamin sambil mengulum senyum. Entah kenapa tawa Leda membuat pipinya membulat otomatis, tertular bahagia.

"Sekarang, tarik gas!" Leda menunjuk tangan kanan Benjamin yang tergenggam.

Brrrmmm!

Motor itu melejit melaju, namun Benjamin buru-buru melonggarkan pedal gas dan menarik rem tangan bersamaan. Jantungnya serasa hampir lepas, lututnya lemas.

"Barusan itu ... bahaya banget." Benjamin menggumam sembari mengatur napasnya. Leda menghampiri tak jauh dari belakang.

"That was good! Next time lebih pelan aja narik gasnya. Pelan, pelan, stabil. Gitu. Coba deh, coba."

"Saya masih agak trauma, Lee."

"Ah, lemah!" Leda langsung naik ke jok belakang, melilitkan lengannya di pinggang Benjamin.

"Ayo, coba, gas lagi. Aku di sini, kasih kamu full support dan nggak akan turun sebelum kamu anterin balik ke lokasi proyek. Barusan aku di-WA sama Mbak Vivi untuk nyamper, nih. Let's go!" Leda menunjuk jalanan lurus di hadapan mereka. Benjamin menelan ludah.

Oke, oke. Nggak baik nolak permintaan orang sakit, rapal lelaki itu dalam hati seraya mulai menarik pedal gas perlahan.

Motor Supra merah itu bergerak, tersendat sedikit, namun terus berjalan. Tuan Cokro dengan cepat bisa beradaptasi, mengendalikan Supra itu dengan kuasa yang baru dia pelajari.

Kepercayaan diri Benjamin meningkat seiring roda motor itu berjalan mendekat, tepat menuju lokasi proyek mereka. Leda, di jok belakang, berseru dan tertawa akan pencapaian Benjamin ini.

"Hahaha! Yehey! Selamat, ya, Benjo~ kamu sudah resmi bisa naik motor!" jerit sang tunangan dari balik punggung Benjamin.

Benjamin sendiri tertawa puas, bangga. Dia acuh akan debu-debu pasir yang menghinggapi wajahnya, terik matahari yang memanggang punggung tangannya, atau bebatuan yang mulai sukses membuat laju motor mereka tersendat.

"Jalannya mulai rusak nih, Lee," lapor Benjamin.

"Ya? Terus? Sikat ajalah!" balas Leda.

Oke, pikir Benjamin. Dia menjalankan motor sesuai permintaan Leda. Semakin dekat lokasi proyek, semakin sulit karena jalanan tidak bekerja sama. Lubang di sana-sini, bebatuan tajam di sisi kanan-kiri. Benjamin merasa dia mulai kehilangan kendali.

"Lee, kayaknya saya harus berhenti ...."

"Terus ajaa!"

"Leda, seriously—"

"Dikit lagi sampai!"

"Tapi ...."

BRRMMM—BRUAKK!!

🌟

[1782 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro