Hari 10 - Broken Bone

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"AARRRGGHHH!" Benjamin mengerang saat Mbah Tum menggulir jemari ringkihnya di ujung jadi kaki Benjamin.

"Nduk, tulung pendhetaken lisahipun (tolong ambilkan minyak lagi)," ucap Mbah Tum sembari menyerahkan mangkuk kecil ke arah Leda.

Beberapa saat kemudian, Leda kembali sambil menyempatkan diri berbisik di telinga Benjamin, "Kamu kenapa, sih, mirip banget sama sepupu kamu, hobi nabrakin diri pas naik motor."

Benjamin Cokro, yang masih meringis menahan sakit, menyempatkan diri tertawa atas ocehan Leda.

"Kamu itu yang kenapa, udah tau orang baru belajar malah disuruh gas-gas-gas terus—aduh! Arrrghh!" Benjamin bisa merasakan kelingking jari kakinya bergeser ke tempat semula.

Semua terjadi begitu cepat. Siang kemarin, Benjamin harus rela mencelat dari atas Supra merah agar tidak menabrak tandem roller yang terparkir di sisi jalan proyek.

Beruntung bukan alat berat yang menyambut hantamannya, tetapi bebatuan dan sesemakan tajam. Ah, apa itu bisa disebut beruntung? Entahlah.

Yang jelas, pasca kejadian naas itu, Benjamin harus rela digotong oleh bapak-bapak warga Pandalungan untuk kembali ke Rumah Atas.

"Kayaknya ini udah takdir, deh," ucap Leda saat itu. "Kamu sengaja dibolehin jatuh terus cidera tulang begini, karena Tuhan tau Mbahku itu ahli pijit sangkal putung. Takdir ini, Ben. Takdir!"

Benjamin hanya bisa menggelengkan kepala. Takdir atau sial, sama saja. Benjamin seorang yang harus menanggung sakitnya.

Kini, di atas kasur kapuk pink garis putih, lelaki itu harus memasrahkan kakinya tunduk pada kuasa Mbah Tum.

Ajaibnya, Mbah Tum yang berumur hampir satu abad itu tampak awas dan hidup di depan cedera kaki Benjamin. Saat nenek tua itu membalurkan minyak, menyentuh bagian kulit yang memutih akibat benjolan tulang yang tak pada tempatnya, Mbah Tum tampak begitu ... ahli.

Melihat Benjamin yang meringis menahan ngilu, Leda yang duduk di sisi lelaki itu mendekatkan diri untuk berbisik di telinganya.

"Kayaknya, jadi sangkal putung ini 'tuh Ikigai-nya Mbah Tum, deh. Dia merasa hidup dan berguna ketika bisa mengobati sesama, makanya dia jadi lebih ... aware, ketika memijat orang. Cuma yah, gitu ... nggak tiap hari ada orang kecekluk (keseleo). Kamu beruntung tulangmu cuma geser, nggak patah."

Benjamin mengernyitkan kening, setengah karena rasa sakit, setengah lagi karena tidak mengerti apa yang barusan diucapkan oleh Leda.

"Ikigai apa?" ulang Benjamin.

"Itu loh, konsep hidup orang Jepang. Apa ya, a person's sense of purpose, a reason for living. Tujuan hidup."

"Hmmmh—aduduh. Oke."

Benjamin merasa Leda sedang berfilosofis di saat yang tak tepat. Gadis itu memang penuh kejutan; yang batu lah, bintang lah, sekarang ini pula—konsep hidup jejepangan. Padat sekali sepertinya, isi kepala Leda itu.

Beberapa menit dipijat oleh Mbah Tum terasa bagai selamanya bagi Benjamin. Lelaki itu merasa seluruh tubuhnya merinding, namun itu belum seberapa karena pada saat Mbah Tum mereposisi kelingkingnya yang melenceng itu ....

Krak.

"AAAAAARGGG!"

"Sini!" Leda dengan sigap meraih tangan Benjamin, membiarkan lelaki itu meremas genggamannya dengan sekuat tenaga.

"Sakit, ya?" tanya Leda kemudian. Benjamin hanya mengangguk sambil menghela napas berat.

"Sampun (sudah), Bud." Mbah Tum berucap dengan bahasa kromo inggil-nya. Ah, dia memanggil Benjamin dengan nama yang salah lagi.

"Nggih (iya), Mbah. Matur nuwun (terima kasih)." Leda menjawab sambil pelan-pelan melepaskan tangan Benjamin. Kali ini gadis itu beralih pada Mbah Tum, membantu nenek buyutnya itu berdiri.

"Sudah ya, Ben, proses persalinannya. Hehe. Kamu istirahat dulu aja bentar."

Sempat-sempatnya Leda bercanda. Dan lucunya, Benjamin sempat-sempatnya terkekeh juga. Sejak kapan candaan Leda jadi terdengar lucu begitu di telinga Benjamin? Ah, ini aneh.

🌟

Matahari sudah menjorok ke arah barat ketika Benjamin membuka matanya yang sempat terpejam. Kesadaran perlahan pulih seiring suara-suara obrolan memasuki telinganya.

Ada suara Leda, sedang berbicara dengan ... Alif?

Kening Benjamin berkerut sejenak sebelum ia membuka mata. Lelaki itu masih terbaring di kasur kapuk, di ruang tengah, yang berseberangan langsung dengan ruang tamu.

Benjamin bisa melihat dua sosok sumber suara itu—Leda dan Alif, ditemani beberapa mahasiswa berseragam KKN—sedang duduk di kursi.

"Hey, kalian?" Sapaan parau Benjamin membuat Leda menoleh.

"Kamu udah bangun?" tanya gadis itu sembari bangkit, bergegas menuju tempat Benjamin mendudukkan diri dan menyuguhinya air putih dalam gelas kaca.

Benjamin meneguk air pemberian Leda sebelum berusaha bangkit, yang tentu saja, dibantu dengan tangkas oleh sang 'tunangan'. Leda memapah Benjamin menuju ruang tamu.

"Gimana kakinya, Mas?" Ami, yang duduk di sisi Alif, bertanya.

"Udah dibenerin sama si Mbah. Kayaknya butuh istirahat bentar aja. Oh iya, Alif—" Benjamin langsung mengalihkan perhatiannya pada sang Kordes. "—gimana tadi, proyeknya?"

"Aman kok, Mas. Semua berjalan sesuai rencana. Siang tadi kita sudah selesai bersihkan genangan air di lubang jalannya, dan udah ada beberapa yang diisi sama batu split untuk base-nya. Besok kita mulai pakai cold mix asphalt dan tandem roller untuk benerin jalan."

Alif melaporkan sisa kegiatan hari itu dengan wajah sedikit iba. Sesekali diliriknya kaki Benjamin yang sedikit bengkak hingga ke betis.

"Bagus. Kalau begitu, besok saya ikut ke proyek lagi—"

"Mana bisa!" Leda memotong kalimat Benjamin. "Kata Mbah Tum, kamu harus istirahat lagi. Paling cepet lusa baru boleh jalan. Kamu mau itu kakimu jadi bengkok karena healing nggak bener?!"

Baru kali ini Benjamin mendengar Leda meninggikan nada suaranya. Ruang tamu itu langsung sunyi seketika. Anak-anak mahasiswa KKN tidak ada yang berani bersuara.

"Ehmm ... oke," ucap Alif akhirnya. "Kita masih bisa jalan terus kok, Mbak, tanpa Mas Ben-nya. Biar Mas Ben istirahat total saja dulu, serahkan semuanya pada saya."

"Kamu bisa sendiri, Lif?" tanya Benjamin sambil mencondongkan tubuh ke arah pemuda itu. Benjamin beranggapan, dirinya juga perlu dilibatkan dalam proses ini.

"Iya, Mas. Biar saya saja. Ada sesuatu juga yang perlu saya kroscek," jawab Alif mantap.

"Tapi, Lif—"

"Sudah, Mas, nggak apa-apa. Nanti saya laporkan ke Mas Ben semuanya, apa saja yang saya temukan di ... perusahaan yang memberi kita sponsor ini." Alif berdeham, jelas dia menyimpan curiga.

"Mas Ben tenang saja. Percaya sama saya," lanjut pemuda itu.

Benjamin hanya bisa menghela napas dan mengangguk. Ini baru pertama kalinya Benjamin tidak memegang kuasa.

Ah, apa dia benar-benar harus melepaskan bocah bernama Alif itu?

🌟

Malam meneduhi Rumah Atas dengan balutan awan. Bulan tidak kelihatan.

Leda sedang menata bebatuan di atas meja kamar Benjamin dengan barisan angelite, brucite, kyanite, dan agate yang kesemuanya berwarna biru. Gadis itu percaya, biru membawa kesembuhan kilat bagi tulang Benjamin, sekaligus meredakan inflamasi alias pembengkakan.

"Harus banget pakai batu-batuan lagi, ya?" oceh Benjamin yang sedang merebahkan diri di atas kasur. Jangan tanya sesusah-payah apa Leda membantu lelaki itu naik ke tempat tidur.

"Pancaran kalsium," jawab Leda dengan senyum.

Benjamin mendengkuskan tawa. "Kamu aneh. Percaya yang begini-beginian. Tadi juga, apa? Ikigai?"

Leda mengangguk dengan penuh minat.

"Aku suka percaya sama hal-hal aneh karena itu ngebuat hidup lebih berwarna. Nggak salah, kan?" kilahnya.

"Iya, iya." Benjamin pasrah. Entah kenapa kali ini ocehan Leda tidak terdengar se-tak-masuk-akal biasanya. Seperti ada pemahaman tersendiri dalam diri Benjamin, bahwa Leda memang seperti itu. Dia mulai mengerti.

Cewek ini aneh, tapi sebenernya baik juga. Entah mengapa benak Benjamin menyimpulkan demikian.

Diperhatikannya Leda yang tersenyum puas akan susunan batu-batunya. Gadis itu lantas mengambil sesuatu dari atas lantai—baskom air hangat.

"Buka baju kamu," perintah Leda sembari mengambil handuk kecil dari salah satu laci di meja sisi ranjang.

"Apa?!" Benjamin membelalakkan matanya.

"Hari ini kamu belum mandi lagi, kan? Tadi kamu lupa, udah kerja rodi bersihin jalan, debu-debuan dan panas-panasan?"

Mendengar argumen Leda, tiba-tiba saja Benjamin sadar betapa lengket tubuhnya akan keringat yang mulai mengering. Lelaki itu mengerang.

"Iya, tapi nggak harus—" Benjamin tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Leda dengan sigap menarik ujung kaos lelaki itu, berusaha menariknya ke atas.

"Heh, kamu gila?!" pekik Benjamin.

"Loh ... bukannya sekarang kamu udah nggak masalah kalau disentuh-sentuh?" balas Leda.

"Ya tapi kan ada batasan!" bentak Benjamin.

Leda langsung bungkam seketika.

"Maaf, saya nggak maksud ...."

"I get it, kok. Kalau kamu nggak nyaman, nggak papa. Aku cuman mau bantu aja." Leda menghela napas, namun tetap merendam handuk kecil dalam baskom air hangat.

Benjamin menelan ludah, berusaha meredam rasa bersalah.

"Kamu bisa sendiri?" Leda bertanya setelah memeras handuk hangat itu.

"Saya ...." Benjamin melihat tubuhnya sendiri, kakinya, yang terbujur memanjang di atas kasur.

Kaki kanannya terasa kaku, namun dia masih bisa menggerakkan bagian atas tubuhnya. Tangannya tidak apa-apa. Dia bisa saja mengelap tubuhnya sendiri, yang saat ini terasa lengket bukan main, termasuk bagian punggung yang sudah pasti tidak bisa dijangkaunya.

Benjamin berpikir sejenak. Harusnya nggak apa-apa. Toh badan atas doang. Dan juga, ini emergency. Gue tadi hampir mati.

"Saya butuh bantuan kamu," lirih lelaki itu akhirnya.

Leda mengangguk mengerti, dan membelakangi Benjamin seketika sambil berkata, "Kamu bisa buka baju kamu sendiri, kan? Buka aja, aku nggak liat. Malu."

Benjamin terkekeh sambil menanggalkan kaosnya.

"Udah, nih."

Leda berbalik dan buru-buru menyibukkan diri pada handuk dan baskom. Tak berapa lama, gadis itu mendekatkan handuk basah hangat ke arah Benjamin, siap mengelap.

"Emmm ... tangan dulu kali, ya?" gumam Leda.

Benjamin bisa merasakan kegugupan gadis itu. Sambil menahan tawa, lelaki itu mencoba taktik mengalihkan perhatian Leda.

"Boleh. Coba sambil ceritain lagi tadi, Ikigai itu apa?" Benjamin menyerahkan satu lengannya.

Leda langsung menyambut dengan senyum yang dipendam sedikit bara. Apa Benjamin tidak salah lihat? Sepertinya pipi gadis itu sedikit merona.

"Jadi, Ikigai itu asalnya dari kata 'iki' yang artinya kehidupan, dan 'gai' yang berarti nilai, sehingga Ikigai dapat diartikan sebagai alasan kita hidup. Kalau kasusnya Mbah Tum itu, ya mungkin alasan dia hidup adalah untuk jadi ahli sangkal putung. Kalau aku, jadi Agen Cuaca ...." Dan ocehan Leda mulai mengalir.

Benjamin hanya diam memperhatikan, menikmati sentuhan hangat handuk yang berpadu dengan telapak tangan Leda. Rasanya menenangkan.

Suasana begitu damai bagi Benjamin, rasanya dunianya tersedot pada momen itu, bersama Leda, yang entah sejak kapan kehadirannya terasa agak ... beda.

Namun kedamaian Benjamin harus terusik tatkala lelaki itu sayup-sayup mendengar suara lain, sedikit menyaru karena Leda masih asik mengoceh, namun tak salah lagi ....

"Assalamualaikum!" Terdengar salam samar yang berasal dari depan rumah. Benjamin menajamkan telinga.

"Kamu dengar itu, Lee?" ucapnya.

"Denger apa?" tanya Leda.

"Kayak ada yang ngucap salam gitu. Ada tamu, ya?"

Mereka berdua bungkam untuk memperhatikan. Hanya ada suara jangkrik dari halaman rumah yang menjawab kesunyian.

"Perasaan kamu aja, kali. Nah, tadi sampai mana? Oh iya, katanya, orang barat me-romantisasi-kan Ikigai itu jadi sesuatu yang 'wah' banget, padahal orang Jepang-nya biasa aja ...."

Benjamin mengatup mulut, merelakan Leda melanjutkan ocehannya.

"... terus, menurut aku, sih, Ikigai itu konsep yang lumayan efektif untuk jadi motivasi hidup, bikin kita ngerasa berarti ngejalanin kehidupan sehari-hari, dan ...."

"Leda?" Suara asing memanggil dari ambang pintu kamar Benjamin.

Duo sejoli itu menoleh bersamaan. Di sana, berdiri seorang lelaki paruh baya dengan tubuh tinggi jangkung, rambut cepak, badan kurus dan berkacamata, lurus memandangi Benjamin—yang sedang bertelanjang dada—dan Leda, yang pada detik itu juga menjatuhkan handuk basah dalam genggamannya.

"Ayah?!" pekik gadis itu.

🌟

[1751 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro