Extra Part (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lama aku mencarimu
Cinta yang selalu kudamba

🌟

Benjamin Cokro tidak ingat kapan dia pernah merasakan kasmaran sedalam ini—setolol, sebodoh, setulus dan semembahagiakan ini.

Pegangan pada kemudi setir digenggam Benjamin semakin erat, saking gemasnya dia memikirkan raut wajah dan senyum gadis yang hendak ditemuinya nanti. Gadis manis dengan wajah berbentuk hati.

Padatnya lalu lintas Jakarta dilewatinya dengan senyum melekat yang tak mau surut, juga debaran jantung yang berdenyut lebih dahsyat dari biasanya. Bahkan pada rapat direksi paling mematikan sekalipun, Benjamin tidak pernah merasa segugup ini.

Ketika mobilnya menepi, matanya berhenti pada sosok gadis berambut pendek yang sudah menunggu di atas terotoar. Hati Benjamin serta merta larung dalan euforia yang familier—perpaduan hormon oksitosin dan serotonin selalu memenuhi otaknya saat bersitatap dengan gadis itu.

"Hey." Suara renyah Leda menyapa.

"Hai..." Benjamin berusaha mengendalikan wibawanya.

"Maaf ya, jadi nyita waktu makan siang kamu." Leda mengunci seatbelt-nya, mengawali cerocosan seraya mobil Benjamin mulai melaju.

"Sumpah Pak Kodir nyebelin banget! Padahal aku udah bilang mau perpanjang kontrakan Ayah sampe tahun depan, eh malah dia lempar ke orang lain duluan tempatnya. Mana nggak bilang-bilang lagi! Emang niat ngusir kali ya? Hadeeeh!"

Benjamin tertawa ringan mendengar omelan Leda. "Dia dendam karena kamu nolak dijodohin sama anaknya tuh."

Leda menunjukkan ekspresi muka hendak muntah, membuat Benjamin tertawa sumbang, sepenuhnya menyembunyikan celekitan nyeri di hatinya ketika membayangkan gadis itu bersanding dengan lelaki lain.

Benjamin berdeham. "Emangnya beneran nggak mau kamu, jadi menantu Pak Kodir? Lumayan loh, punya suami anaknya juragan tanah. Punya banyak kontrakan, kos-kosan, passive income tiap bulan..."

Benjamin masih melanjutkan parade self-harm tadi. Dia melirik ke arah Leda sekilas, penasaran akan respons gadis itu.

Leda tersenyum menggoda. "Itu artinya aku harus ngelepasin CEO yang ganteng tapi galak ini dong? Nggak mau ah!"

Gadis itu sekonyong-konyong mencubit pipi Benjamin, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Sakit yang lega.

Leda pun tertawa. Gelak yang menular, karena Benjamin kini bisa terbahak dengan puas. Sangat puas.

"Eh eh, Ben," panggil Leda ketika tawa mereka sudah reda.

Benjamin yang sedang memindah-mindah saluran radio menyahuti Leda dengan satu gumaman. Pilihan lelaki itu berhenti pada intro lagu pop dengan alunan saksofon yang sopan memasuki telinga.

"Nanti kita langsung ke tempat yang aku WA terakhir itu aja ya? Itu kayaknya yang paling masuk akal dari opsi lainnya. Paling masuk juga ke budget aku sama Ayah, karena kami nggak yakin uang deposit di Pak Kodir bakal cair anytime soon. Okay?"

"Iya, iya." Benjamin mengamini sambil menekan pedal gas lebih dalam.

Dia sudah tidak sabar untuk sampai di tempat tujuannya hari ini. Tidak sabar melihat ekspresi wajah Maleda Magnolia, gadis yang sepenuh jiwa sudah berhasil meluluh lantakkan hatinya, saat mereka tiba nanti.

🌟

"Ben, kayaknya kita nyasar deh..." Leda melongokkan kepala saat mobil mereka memasuki perumahan di bilangan Senopati.

Ini sama sekali beda dengan gambar-gambar yang Leda lihat di aplikasi. Bangunan kontrakan kumuh di dalam gang dekat musala yang menjadi tujuannya itu mustahil sekali akan terselip di sela perumahan elit ini.

"Nggak kok, bener ini." Benjamin menyahut.

"Kamu yakin?"

"Seratus persen. Percaya aja sama sopirmu."

Leda tak mau ambil pusing, juga sama sekali tidak menaruh curiga. Mungkin gang kumuh tempat calon kontrakan barunya itu memang harus melewati perumahan ini. Mungkin ini jalan pintas.

Apa pun itu, Leda berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat sekeliling, ke rumah-rumah megah berhalaman luas, ke lampu taman yang berjejer membelah jalan, ke pohon-pohon rindang yang menangkal teriknya mentari Jakarta.

Mendadak Leda melenguh. Pemandangan ini selalu menyesakkan. Jakarta, selalu membuatnya sesak dengan kesenjangan yang kontras. Kumuh dan gemerlap yang bersandingan, sengatan matahari dan pendingin udara yang hanya dibatasi sebaris tembok baja.

Benak Leda berpacu. Kenapa semuanya tidak bisa sejuk dan setara saja, seperti di desa?

"Lee, kita sampai."

Ucapan Benjamin memutus lamunan Leda yang entah sejak kapan mengudara. Gadis itu menyadari mobil sudah berhenti, dan seketika melemparkan pandangan bertanya pada Benjamin.

"Kok di sini? Ini rumah siapa?"

Pertanyaan Leda berbalas Benjamin yang malah keluar dari pintu mobilnya. Lelaki itu mengitari kendaraan dan membukakan pintu Leda, menyodorkan tangan isyarat Leda harus turun juga.

Gadis itu menurut. Sepenuhnya tak mengerti, dan berusaha sekuat tenaga membaca situasi.

Benjamin menuntunnya memasuki sebuah halaman luas di salah satu rumah bercat putih. Pohon prunus cerasus yang rimbun dengan buah kersen merah ranum memayungi langkah kaki mereka, menyusuri jalan setapak berbatu diapit rumput gajah yang tumbuh segar.

Sesampainya di teras rumah berlantai kayu, Benjamin berhenti. Leda memandanginya, menunggu Benjamin mengetuk pintu seandainya mereka datang sebagai tamu.

Tapi tidak.‌ Alih-alih, Benjamin berlutut dengan satu kaki di hadapan Leda. Matanya menatap lurus dengan senyum yang begitu yakin.

"Maleda Magnolia binti Bapak Budi..."

Benjamin menggenggam kedua tangan‌ Leda, membuat gadis itu terpaku seketika. Di dalam tangannya, Benjamin menyelipkan sebuah kunci.

"Tiga tahun lalu, saya numpang satu atap sama kamu di Desa Pandalungan, dan dalam dua minggu pertama saya kenal kamu, saya sudah menemukan... rumah."

"Ben, ini...?" Leda mulai gelagapan. Dipandanginya Benjamin, yang balas memberinya tatapan mantap.

"Lee." Benjamin melanjutkan. "Setahun belakangan ini, sejak kamu hadir lagi di hidup saya, rasanya hidup saya lengkap." Lelaki itu menelan ludah, seakan berusaha menelan kata-kata pahit yang hendak dikeluarkannya.

"Dan waktu kamu hilang dulu... saya..." Benjamin menggeleng. "Nggak bisa. Saya nggak akan mau lagi, seumur hidup, merasakan itu. Saya nggak sanggup."

Ada jeda mengapung di sana. Jeda antara Leda yang menahan gelombang emosi, juga Benjamin yang mengumpulkan nyali untuk satu kalimat pamungkas di ujung lidah.

"Jadi, Leda, saya mohon... would you be so kind to share the same roof with me again, be my home... till death do us part?"

Leda mulai menangis. "Tah... tapi Ben, kan ini... kok, kamu..." Gadis itu menarik ingus. "Kan tadi rencananya kita mau cari kontrakan buat aku sama Ayah... kenapa malah..."

Benjamin tertawa geli. Dia bangkit dan menggenggam rahang wajah mungil berbentuk hati itu, mengecup bibir tipis Leda dengan tarikan napas yang hangat, lalu menghapus jejak air matanya.

"Iya. Ayah kamu boleh banget tinggal di rumah ini juga. Gimana? Mau ya?"

Leda tergagu seketika. Menolak tawaran Benjamin Cokro adalah sebuah kemustahilan yang akan disesalinya seumur hidup. Leda tau, bahkan tanpa Benjamin meminta, bahwa hatinya sudah dimiliki lelaki itu sejak lama.

"YA! Ya, of course YA! Sejuta kali iya!" Leda menjerit sambil memeluk Benjamin, membiarkan lelaki itu mengangkat tubuhnya hingga terbang sepersekian senti.

"I love you so much, Lee," bisik Benjamin dalam pelukan mereka.

"Diam kamu! I love you much much more, Benjo!"

Leda menangis lagi dalam pelukan itu, membasahi kemeja kerja Benjamin dengan ingus dan air mata.

🌟

[971 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro