04. Ganjaran Salat Berjamaah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warna jingga membungkus langit Seoul seiring raga mentari yang semakin menumbang di ufuk barat. Saat swastamita itu, angin menghembus syahdu. Kicauan sekawanan burung pun tak urung mengiring dengan sayap mengudara, membentuk formasi V.

"Salat maghrib berjamaah di Masjid Pusat Seoul, yuk, Yusuf-ie."

Suara Zahid, lelaki lajang berumur 36 tahun, membuyarkan lamunan Jaehwan yang tengah merebahkan tubuhnya di sleeper sofa di ruang tengah rumah bergaya industrial, menyebut Jaehwan menggunakan nama Yusuf--sebutan masa kecilnya sebelum debut bersama Dazzle, beralih dikenal dengan nama panggung Jaehwan.

"Salat di masjid?" Jaehwan mengangkat alisnya dengan tubuh masih terbaring miring di sleeper sofa. Kilatan matanya mengaura enggan ke arah adik ibunya yang sudah berdiri tepat di hadapan.

"Seorang idol, boleh saja 'kan salat berjamaah di masjid?" Suara Zahid menginterupsi. Kedua jemari tangannya sibuk mengancing kemeja putih yang tengah dikenakan.

Jawaban Zahid berhasil menohok Jaehwan hingga bungkam sesaat. Masgyul juga akan itu, perihal seolah-olah dirinya tak pernah salat di tempat bernama masjid yang kerap ramai jika waktu salat tiba.

Beringsut duduk. Bibir kenyal Jaehwan menjawab, "Baiklah, Wesamchon."

Gestur tubuh Zahid yang semula kaku, berubah ramah dengan senyum tipis di bibirnya sembari mengancing kemeja putihnya yang belum pula kelar.

"Kau bisa meminjam kemeja atau sweater-ku untuk mengganti pakaianmu itu," ucap Zahid lagi dengan netra sipitnya melirik ke arah kaos oblong Jaehwan.

"Celana jeans-nya juga. Kau bisa menggantinya dengan chino atau jeans-ku yang tidak bolong-bolong. Tinggal pilih saja. Ada beberapa celanaku yang lebih panjang dari yang biasa kupakai," lanjut Zahid setelah kelereng mata cokelatnya menyusur ke arah celana jeans Jaehwan yang bolong-bolong, tak luput menjelaskan jika punya ukuran panjang yang pas dengan kaki Jaehwan yang jelaslah lebih panjang darinya. Pasalnya, tinggi Jaehwan 185 cm, sedangkan dirinya hanya 177 cm.

Jaehwan terasa tertohok lagi perihal celana jeans yang dikenakannya memang tak memadai untuk melakukan salat, karena terdapat style dari ripped jeans-nya yang bolong di atas lutut, membuka auratnya.

"Baik, Wesamchon." Manut sudah.

Zahid segera enyah dari hadapan Jaehwan. Lalu keponakannya itu beringsut juga ke kamarnya untuk mengambil pakaian yang pantas digunakan untuk salat. Memilih hoodie warna putih tulang dengan celana jeans hitam.

Hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan mobil ke Masjid Pusat Seoul dari rumah Zahid. Langit mulai menghitam dengan suara adzan yang berkumandang syahdu oleh muadzin saat mereka berdua sampai.

Memang, jelaslah bukan kali pertamanya Jaehwan mendengar adzan. Ia sudah menjadi sosok muslim dari lahir karena ibunya menjadi mualaf saat dirinya dikandung 4 bulan. Menjadikan pada saat itu juga orang tuanya bercerai karena ayahnya yang tetap menjadi sosok Kristen Protestan. Dan jelaslah ia pula minimal selalu mendengar adzan setiap minggunya ketika dirinya berjamaah salat jumat. Namun, rasanya sekarang berbeda sekali, pasalnya jarang sekali dirinya salat berjamaah salat wajib di masjid, bahkan malah nyaris tak pernah setelah menjadi trainee, apalagi begitu debut menjadi idol.

Jaehwan meneguk ludahnya saat mengambil posisi masuk ke lantai dua, ruang khusus untuk jamaah laki-laki di Masjid Pusat Seoul. Netranya mengedar ke ruang luas di lantai dua dengan beberapa tiang tinggi terpatri, sajadah fasilitas dari masjid tergelar rapi, lalu lalang pejamaah yang mulai bersiap-siap mengambil posisi shaf dengan muka basah segar karena wudhu, sebagian duduk khidmat mendengar gema adzan dengan menggumam kalimat sahutan perbaitnya.

Jaehwan yang sudah dalam keadaan suci--sudah berwudhu sebelum berangkat--mengekori pamannya yang langsung mengambil shaf kosong, duduk di atas sajadah untuk mendengar adzan. Ia segera melakukan hal yang sama dengan pamannya itu.

Setelah salat maghrib, sudah menjadi kebiasaan Zahid mengisi waktu senggang menunggu Isha dengan tadarus al-Quran. Lagi, Jaehwan mengikuti alur pamannya, meraih al-Quran di lemari masjid yang sudah difasilitaskan dari pihak masjid. Duduk bersila di pinggiran dinding dalam lantai dua itu.

Dulu, saat umuran kelas 6 sekolah dasar, ibunya di Busan sudah mulai mengajarinya untuk membuat target khatam membaca al-Quran 30 juz sebulan sekali. Dulu, ia bisa menjalaninya tanpa absen. Namun, sebaliknya dengan kini, bahkan untuk satu juz sebulan saja seperti sudah tak lagi mampu, alih-alih sibuk dengan rutinitasnya menjadi idol yang sangat padat.

'Musik mungkin bisa menenangkan hatimu, Yusuf-ie, tapi tak bisa merubah hidupmu menjadi lebih baik. Jikapun bisa, tak akan pernah bisa seajaib bagaimana cara al-Quran mengubahmu saat membaca ayat demi ayat-Nya.'

Masih dengan menatap sampul al-Quran yang berada dalam pangkuannya, serebrum Jaehwan membawanya dalam memori masa lalu bersama ibunya. Perihal menyinggung musik dengan al-Quran itu, saat di mana dirinya baru saja terpilih menjadi trainee dari agensi History Entertainment.

'Jadi, selalu sempatkan membaca al-Quran, Yusuf-ie, sekalipun kau sudah sibuk sekali menjadi idol di masa depan nanti. Pula selalu jaga salat lima waktu.'

Jaehwan meneguk ludah. Ia usap sampul al-Quran itu dengan sebelah tangan. Nasihat lama ibunya sungguh menohok batin karena ia tak bisa menjalaninya dengan baik. Ia kerap lalai, bukan hanya di letak jarang membaca al-Quran, tetapi pula dengan salat yang menjadi tiang agama.

Lagi. Sebab pekerjaan yang menjadi alasan; sibuk, lelah tak kepalang, pula kadang beberapa event grup-nya yang berbenturan dengan waktu salat, dan jelaslah pergaulan dirinya yang menjadi minoritas.

Belum pula beralih membuka al-Quran untuk membacanya, pikiran Jaehwan teralihkan pada titik akan lalai yang lain; pergaulannya yang semakin liberal, mengikuti arus gaya hidup mayoritas. Yang semakin bertambah masa, justru semakin menjerumuskannya, hingga menjadi sesuatu yang sudah dianggap lumrah untuknya, biasa-biasa saja. Ia sungguh sadar tengah berjalan pada jalan yang kerap menyeleweng, tapi selalu memilih apatis.

Itulah alasan kenapa dirinya menginginkan sosok pendamping hidup dengan pribadi yang taat dan berpengetahuan baik akan agama, selalu ia minta dalam doa-doanya. Adalah untuk cerminan dirinya agar menjadi pendorong berubah ke arah yang seharusnya, mendekat ke arah-Nya lagi.

'Namun, bukankah lelaki yang baik hanya untuk perempuan yang baik? Begitupun sebaliknya?'

Jika mengingat itu, nyali Jaehwan semakin menciut, harapannya mendapatkan sosok pendamping yang baik selalu pudar karena ia merasa jauh dari kata baik itu sendiri. Bahkan ia sungguh merasa kotor. Ia pun sadar jika sosok lelaki adalah yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Maka dari itu, selain finansial, seharusnya dia memiliki tabiat dan wawasan agama yang baik.

Menghempaskan napas dengan netra masih mengarah lamun sampul al-Quran, Jaehwan merasa hatinya semakin menciut saja. Ia tahu, ia sangatlah egois dengan menginginkan sosok perempuan yang bahkan lebih baik pribadinya dari dirinya sendiri. Ia pula sungguh paham, jika egoisnya ini mungkin akan menyakiti sosok perempuan semacam itu jika harapannya benar terjadi di masa depan. Menyakiti karena akhlaknya yang kontras dengan perempuan itu. Sekalipun, sisi hatinya tetap bisa mengelak membela, 'ingin juga berubah lebih baik, mencoba memantaskan seiring berjalannya waktu'.

Sesaat lalu, lamunan Jaehwan pudar dengan ponselnya di saku hoodie menderit. Telepon dari Bora, teman segrupnya.

'Kau di mana, Jaehwan-ah? Jangan lupa, ada jadwal latihan koreografi malam ini.'

Tanpa sapaan "Yoboseyo", Bora langsung meraup cakap demikian.

'Jangan sampai telat.'

Jaehwan mengigit bibir bawahnya. Ia sungguh lupa tentang jadwal latihan koreografi yang sudah aktif lagi setelah tiga hari libur chuseok.

"Aku lagi di Masjid Pusat Seoul. Aku segera kembali, Bora-ya," jawab Jaehwan.

Setelah sambungan telepon mati, Jaehwan beringsut meletakkan al-Quran yang hanya sempat ia pandang dan elus sampulnya. Mendekat ke arah Zahid sebentar, memberitahu perihal ia harus segera pergi karena ada jadwal latihan koreografi. Lalu bergegas enyah dari ruang Masjid Pusat Seoul.

***

Bangunan Masjid Pusat Seoul berada di tengah kota Seoul, diapit oleh jalan antara Sungai Han dan Gunung Namsan.

Hawa angin dingin langsung berhembus ketika Jaehwan baru berhasil keluar dari masjid. Ia menyempatkan menutup kepalanya dengan tudung hoodie-nya, membungkus rambut cokelatnya sebelum akhirnya beringsut berjalan menyusuri banyak balokan tangga untuk turun menuju pelataran luas yang ada.

Dengan beberapa balok tangga yang tersisa, Jaehwan tampak merogoh-rogoh saku hoodie-nya, mengambil masker mulut dengan terus melangkah turun. Mendesah karena tak kunjung mendapatkan. Berpikir pula jika mungkin tertinggal di dalam masjid.

"Joesonghamnida, maskermu terjatuh, Oppa."

Suara itu mengalihkan atensi Jaehwan. Langkah tergesa seseorang itu tertumpu sejajar dengan tubuhnya, radius satu meter. Seorang perempuan, kini tengah mengulurkan masker mulut berbahan kain warna hitam miliknya.

Masih bersikukuh geming, dalam tunduk dalamnya, Jaehwan menyempatkan melirik ke arah uluran tangan perempuan itu, memastikan apakah memang benar masker mulut itu miliknya.

"Tadi maskernya terjatuh saat kau merogohnya di saku hoodie, Oppa," lanjut perempuan di sebelah Jaehwan itu.

Jaehwan mengernyit ketika menyadari suara perempuan di sebelahnya yang terasa tidak asing didengar. Itu berhasil merangsangnya untuk mengangkat kepala tanpa tahu pasti alasan apa, menoleh ke arah perempuan di sampingnya, hingga terpampang jelaslah wajah perempuan itu dalam netra sipitnya.

Jaehwan langsung terpaku ketika tatapan mereka saling menumpu. Gestur tubuhnya seperti diam untuk berkerja aktif, hingga netra sipitnya memperlebar bersamaan dengan manik mata cokelat tua perempuan itu menyorot penuh selidik.

Demi apa, mungkinkah ini ganjaran perihal sesuatu di dunia karena telah salat berjamaah? Ah, barangkali. Sekalipun itu jelaslah asumsi tanpa sumber valid, mengaitkan ganjaran salat berjamaah justru dengan mendadak bisa bertemu seorang perempuan yang bukan mahramnya.

Namun, Jaehwan tidak peduli. Ia terlihat bahagia bisa melihat seorang perempuan yang siang lalu berhasil mengambil banyak perhatiannya hingga melamunkan sedemikian. Merasa sangat beruntung bertemu lagi dengan seorang perempuan berhijab warna nude yang ia tabrak di restoran bulgogi kesukaannya. Ia ingin bisa berlama-lama menatap sosok gadis mungil itu yang kini sudah beralih mengenakan hijab warna navy. Gadis ini sungguh imut, juga terlihat cantik, dan ... menggemaskan.

Sempat-sempatnya Jaehwan menukik senyum hingga memamerkan lesung pipitnya. Ia benar-benar memberikan senyuman terbaik yang dimiliki. Lalu sesaat kemudian, tertawanlah ia dengan sikap canggung harus berbuat apa saat gadis bertubuh mungil di hadapannya mulai menggerakkan bibir kenyal yang lembap, menyuara kaget dengan gumaman yang mampu menghalau lemah udara malam di sekitar.

"Yusuf Oppa ...."

______________

Translate:
Yoboseyo; halo (dalam telepon)
Wesamchon: paman (dari pihak ibu)
Mianhae: maaf (non-formal)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro