09. Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika Jaehwan sangat menyukai semua hal tentang musik, berbeda dengan Uzma, ia sangat menyukai menulis. Baginya, menulis adalah sebuah kebutuhan, dimana ia bisa menyalurkan segala emosinya dengan himpunan kata yang disusunnya.

Tepatnya Uzma sangat menyukai menulis cerita. Melalui karakter yang dibuatnya dalam sebuah cerita, ia bisa dengan bebas menyalurkan emosi-emosi yang tengah dirasakannya, tersampaikan bebas kepada dunia, tanpa diketahui oleh orang lain selain hanya sekedar cerita itu sendiri. Ini sungguh menyenangkan, setidaknya bisa membuatnya sedikit merasa lega dengan beban yang tengah dirasakan. Menulis adalah satu bentuk curhatannya yang dikreasikan sedemikian rupa.

Seperti sekarang, lewat karakter Wardah, emosinya banyak tersalurkan. Uzma membuat sebuah konsep cerita yang mirip dengan kisah hidupnya saat ini secara implisit. Kisah di mana sosok wardah harus tetap tegar dengan pernikahan hasil perjodohan, di mana ia harus bertahan dalam rumah tangga dengan sosok suami yang tidak mempunyai tujuan berumahtangga yang sama dengannya.

Menurut Uzma, konsep barusan sungguh mirip dengan jalan hidupnya dengan Jaehwan, bahkan bisa dikatakan justru kembar walau ia mengusung latar belakang keluarga dan karir yang berbeda. Bisa ibaratkan kembar bukan identik.

Dalam cerita yang dibuatnya, dikonsepkan dengan ending Wardah akhirnya bisa mendapatkan tujuan berumah tangga yang sama dengan suaminya. Ternyata suaminya selama ini sudah terbesit berubah hanya saja banyak rintangan yang harus dihadapi agar bisa sungguh mantap dan istiqomah. Akhir kisah yang tidak muluk-muluk, tapi Uzma suka. Itulah yang diharapkannya untuk jalan hidupnya sendiri bersama Jaehwan. Tidak muluk-muluk, hanya menginginkan ketenangan batin saja bersama Jaehwan disertai terus mencoba dekat dengan-Nya.

Novel yang tengah digarapnya memanglah curhatannya secara implisit. Curhatan berisi keluh kesah dan sebuah harapan besar di masa depan perihal hidup yang tengah dijalaninya. Curhatannya; bagaimana rumit perasaannya menikah dengan sosok Jaehwan. Sosok yang dulu sangat diidolakannya, justru beralih menjadi sosok yang tak diinginkannya masuk dalam mahligai pernikahan.

Namun, sekuat tenaga harus tetap bertahan. Layaknya tekad yang dipatrikan dalam diri Wardah. Berteman slogan; Menikah adalah ibadah. Itu yang membuat Wardah kuat. Pun sama. Inilah yang membuat Uzma tetap tegar dan mencoba bertahan hidup dengan Jaehwan; bahwa menikah adalah ibadah, berbakti kepada suami akan menjadi ladang pahala untuknya.

"Minum air putih dulu sebelum kau meminum jus buah itu, Yeobo," ucap Jaehwan yang tetiba datang ke rooftop rumah, duduk di kursi kosong hadapan Uzma yang tengah fokus dengan laptop di meja, terteman jus mangga kemasan.

"Iya, nanti. Aku sudah membawa jus mangga kesukaanku," sahut Uzma setelah mengangkat dagu, menatap Jaehwan di hadapan. Tak luput mengurvakan bibir kenyalnya.

Kedua netra sipit Jaehwan memutar, menatap sebotol jus mangga kemasan di samping laptop Uzma, menggantinya dengan sebotol air mineral dingin yang ia bawa.

"Jangan terlalu sering meminum jus kemasan, Yeobo. Itu tidak baik untuk tubuhmu. Minum air putih yang cukup, ya?" ucap Jaehwan dengan sebotal jus mangga yang kini berada di sebelah tangannya.

"Baik, Suamiku. Tapi aku--" jawab Uzma seraya sebelah tangannya beringsut meraih botol jus mangga yang tinggal separuh di tangan Jaehwan.

"Ini sudah menjadi jatahku," sela Jaehwan yang langsung menyingkirkan ke samping botol jus mangga di tangannya agar Uzma sulit menjangkau. Membuka tutup botol. Menenggaknya perlahan.

"Ya!" cicit Uzma dengan menahan getir akan laku Jaehwan yang malah merampas sisa jus mangganya, mengamat pilu bagaimana cairan oren itu lolos dengan mulus ke kerongkongan Jaehwan dengan bukti irama jakun yang naik turun.

Sisa jus mangga Uzma habis sudah. Jaehwan menutup botol yang sudah kosong dan meletakkan di meja depannya lagi. "Jatahmu itu, Yeobo," ungkapnya kemudian seraya netra sipitnya menyorot ke arah sebotol air mineral dingin di samping laptop Uzma.

Kedua kelereng mata cokelat tua Uzma memutar ke arah botol air mineral di samping laptopnya dengan aura getir yang masih singgah. "Sehari ini aku sudah minum air putih satu gelas, Yeobo," keluhnya.

"Ini sudah siang. Baru satu gelas? Itu tidak cukup," interupsi Jaehwan. Poni rambut hitamnya terberingsut lambaian angin yang nakal.

"Segelasnya penuh. Volumenya hampir 360 mili liter," sangkal Uzma. Untuk ukuran kebiasaan dirinya yang tidak suka air putih, untuk jangka pagi hingga siang itu sudah banyak.

"Tetap saja tidak cukup. Ayo minum." Jaehwan tetap saja menyanggah. Pasalnya, ia paham sekali akan pola hidup Uzma yang sulit untuk minum air putih, padahal air putih adalah kebutuhan pokok tubuh.

"Nanti saja. Aku belum haus," dalih Uzma, nyengir.

"Jangan berbohong. Tadi juga mau minum. Mengambil botol jus mangga di tanganku," sudut Jaehwan.

Uzma nyengir lagi.

"Aku tidak ingin istriku sakit," ungkap Jaehwan seraya meraih botol air mineral, membuka tutupnya. "Ayo diminum," lanjutnya, menyodorkan botol air mineral yang sudah terbuka itu.

Menatap malas uluran tangan Jaehwan, Uzma sempat cemberut, tapi mengambil botol air mineral itu juga, menenggaknya perlahan.

Jaehwan mengurvakan bibir melihat sikap Uzma yang akhirnya minum air putih juga hingga beberapa tenggak, habis seperempat botol.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau mendadak kembali? Padahal barusan kau tergesa sekali untuk pergi?" alih topik Uzma setelah meletakkan botol air mineralnya di tempat semula. Terheran karena barusan Jaehwan pergi dengan sangat terburu-buru, katanya ada acara syuting bersama semua member Dazzle di Lotte Duty Free dan kesiangan.

"Ponselku tertinggal di kamar dan saat membuka kulkas untuk mengambil minuman, aku sudah menemukan jus mangga kemasanan di sana berkurang satu," jawab Jaehwan.

"Jadi kau ke sini hanya untuk mengingatkanku minum air putih?" selidik Uzma.

"Iya," singkat Jaehwan. "Minum air putih yang cukup, ya?" lanjutnya.

Uzma mengangguk pelan. "Mianhae," ucapnya seraya tangannya saling memegang ujung bawah cuping telinganya yang terbalut kerudung motif monokrom.

Jika sudah mendapati pemandangan pinta maaf Uzma yang sangat khas itu yang tampak bocah, Jaehwan gemas. Lelaki bongsor ini beringsut menjangkau kepala Uzma, menepuk-nepuknya pelan dengan sebelah tangannya.

Uzma mengurvakan bibir. Tindakan Jaehwan menepuk kepalanya juga sangatlah khas. Ia amat menyukainya.

"Aku berangkat, ya? Aku semakin telat, Yeobo. Kau tahu, Bora pasti akan mengomeliku habis-habisan," ucap Jaehwan setelah menyudahi menakali kepala Uzma.

Uzma mengangguk. "Hati-hati di jalan," sahutnya dengan Jaehwan yang mulai mengangkat pantatnya.

"Iya, kau juga hati-hati dengan tubuhmu. Tetap minum air putih yang cukup sekalipun alarm otomatis ini tidak ada di sampingmu," perintah Jaehwan.

Uzma mendengkus akan perintah Jaehwan itu, tapi juga geli di letak Jaehwan yang menganggap dirinya sendiri "alarm otomatis" untuknya yang selalu mengingatkannya minum air putih yang cukup. Ia juga bersyukur sekali karena itu menandakan Jaehwan sangat peduli kepadanya. Kelihatannya memang hal remeh, tapi bukankah lewat hal remeh sesuatu juga bisa menjadi besar. Layaknya kurang minum air putih yang cukup, tampak remeh, tapi nyatanya jika sudah fatal bisa menyebabkan sesuatu yang besar; tekanan darah menurun, kulit kering, bahkan hingga sakit batu ginjal dan infeksi saluran kencing.

"Aku pergi, Yeobo," ucap Jaehwan dengan nada bass khasnya yang sudah beringsut dari kursi, beralih ke arah Uzma. Menyempatkan mengecup kening jenong Uzma sebelum enyah dari rooftop.

"Hmm," sahut Uzma singkat. Bibir kenyalnya mengulas senyum. Kemudian, bola matanya mengikuti alur Jaehwan melangkah meninggalkan rooftop.

'Suamiku memang begitu perhatian,' batin Uzma dengan kedua pipinya menghangat.

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro